"Kupu Tanpa Sayap" menceritakan perjalanan seorang remaja bernama Samudra Atlanta Dwijendra, yang berusia 17 tahun dan duduk di kelas 3 SMA. Meskipun terlihat seperti remaja biasa, Samudra menyimpan beban berat dalam dirinya. Ia mengidap bipolar dis...
"Kadang, aku merasa seperti terjebak dalam labirin yang tak ada ujungnya. Setiap jalan yang kutempuh hanya membawa aku kembali ke titik yang sama—penuh kebingungan dan ketakutan." – Samudra Atlanta.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Samudra dan ke tiga sahabatnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mama Samudra-Nadira Sanjaya
Senja mulai turun perlahan, dengan warna jingga yang menyelimuti langit, memantulkan bayangan panjang dari setiap benda yang ada di sekitar. Suasana di taman sekolah menjadi sunyi, hanya terdengar suara dedaunan yang bergesekan oleh angin yang berhembus pelan. Beberapa siswa berjalan pulang dengan langkah cepat, namun di sudut taman yang jauh, Samudra masih duduk termenung di bangku panjang, menatap ke arah langit yang semakin gelap.
Hatinya terasa penuh, seperti ada beban berat yang terus menekan tanpa ampun. Matanya yang gelap kini tampak kosong, seolah tak ada energi yang tersisa untuk melawan perasaan itu. Sesekali, ia mengelus tangannya yang dingin, meringis pelan ketika rasa cemas itu datang begitu saja, seperti ombak besar yang datang menenggelamkan.
"Kenapa aku seperti ini?" pikir Samudra dalam hati, mengerutkan keningnya, berusaha untuk memahami dirinya sendiri. Ia bisa merasakan hatinya bergejolak, seolah ada dua kekuatan yang saling bertarung di dalam dirinya. Satu sisi merasa lelah, ingin melepaskan semua rasa yang telah menumpuk. Namun, sisi lainnya terasa takut, takut akan kehilangan kontrol, takut akan kehilangan dirinya.
Sambil menatap ke arah langit yang kelabu, dia merasa seperti dikelilingi oleh kabut tebal. Sesekali, angin yang datang membuat rambutnya bergoyang, namun itu tidak cukup untuk menyegarkan pikirannya yang kalut. Di dalam kepalanya, suara-suara bercampur aduk. Berbagai pertanyaan muncul tanpa henti, tetapi tidak ada jawaban yang memadai.
"Samudra?" suara lembut itu memecah pikirannya. Aurora—gadis galak yang baru saja mereka bertemu tadi di kelas—duduk di sebelahnya tanpa permisi. Wajahnya tampak lebih lembut dari biasanya, meski tidak ada senyum yang muncul. Dia hanya duduk, menatap lurus ke depan, tidak mengindahkan Samudra yang terkejut oleh kedatangannya.
"Lo... lo di sini?" Samudra menoleh sedikit, bingung. Ia tak tahu apa yang membuat Aurora tiba-tiba datang mendekat. Mungkin dia merasa ada yang aneh, atau bisa jadi cuma karena kebetulan.
"Kenapa duduk sendiri?" tanya Aurora, suaranya tidak terlalu keras, tapi cukup untuk menarik perhatian. "Lo keliatan kayak orang yang lagi kejar-kejaran sama bayangan lo sendiri."
Samudra terdiam sejenak, mencerna kata-kata Aurora. Kejar-kejaran dengan bayanganku sendiri... sepertinya itu gambaran yang pas untuk apa yang dia rasakan sekarang. Rasanya ada banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi semuanya terjebak di tenggorokan. Lalu, dengan suara pelan, hampir seperti berbisik, Samudra menjawab, "Gue nggak tahu harus gimana lagi. Kadang, gue merasa nggak bisa kontrol semuanya. Terlalu banyak yang harus dipikirin. Semua jadi kayak gelap, gitu."
Aurora menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Tidak marah, tidak peduli juga. Hanya datar, seperti biasa. "Bipolar?" tanyanya singkat, membuat Samudra terkejut. Dia tidak tahu apakah dia harus merasa nyaman dengan pertanyaan itu atau malah malu.
Samudra menunduk, menggigit bibir bawahnya. "Iya," jawabnya pelan. "Tapi bukan itu masalahnya... Gue nggak ngerti kenapa selalu ada perasaan yang ngendalikan gue. Kadang gue merasa semuanya baik-baik aja, dan tiba-tiba... semuanya hancur lagi."
Aurora terdiam, mungkin mencoba memahami apa yang Samudra rasakan. Setelah beberapa detik, dia menghela napas pelan. "Lo nggak sendiri," katanya, suaranya lembut tapi ada ketegasan di sana. "Maksud gue, lo gak perlu ngehadapin semua ini sendirian. Lo kan punya teman, kan? Jangan takut untuk ngandelin mereka."
Samudra mengangkat kepala, matanya penuh dengan keraguan. "Tapi mereka nggak ngerti. Mereka nggak ngerti perasaan gue yang naik turun. Kadang gue benci diri gue sendiri karena nggak bisa jadi normal."
Aurora menggelengkan kepalanya pelan. "Nggak ada yang normal, Samudra. Semua orang punya masalah masing-masing, cuma bentuknya beda-beda. Lo nggak bisa selalu merasa harus jadi orang yang sempurna, atau malah mikirin tentang perasaan yang nggak bisa lo kontrol. Itu bukan salah lo."
Suasana sejenak hening, hanya terdengar suara angin yang menggerakkan daun-daun. Samudra menatap Aurora, bingung dengan kata-katanya yang tiba-tiba berubah. Gadis galak yang selalu berbicara langsung dan tegas kini seperti berbicara dengan penuh perhatian.
"Lo nggak perlu takut, Samudra," lanjut Aurora, kali ini lebih pelan dan penuh empati. "Apa pun yang lo hadapi, lo bisa lewatin. Semua hal nggak ada yang abadi. Kalau lo perlu teman, gue ada di sini."
Samudra menatapnya, merasa ada kehangatan dalam kata-kata itu. Mungkin Aurora bukan hanya gadis galak yang sering menegur tanpa ampun. Ada sisi lain dari dirinya yang selama ini tersembunyi, dan Samudra baru saja melihatnya.
Dengan sedikit senyum, Samudra mengangguk pelan. "Terima kasih, Aurora. Gue... gue bakal coba. Cuma kadang susah banget untuk nggak merasa hilang."
Aurora hanya mengangguk, dan sejenak mereka duduk bersama, menikmati suasana senja yang semakin meredup. Mungkin, hanya sedikit rasa percaya yang dibutuhkan untuk bisa melewati gelapnya pikiran Samudra.
--- Aku selaku penulis, ingin meminta maaf jika ada kekeliruan nama karena seringg ketukerr bjirrr:(