Part 09

68 6 2
                                    

"Walaupun satu dunia membenciku, selama masih ada bunda aku yakin akan baik-baik saja." -Samudra dan lukanya.

🌊🌊🌊

Ibunya yang sudah tak berdaya hanya bisa bersimpuh di sana, dengan ayahnya yang berdiri di sana dengan keadaan hilang akal. Iya, laki-laki itu mabuk, masih memegang sebotol alkohol yang sudah kosong isinya. Tanpa memperdebatkan apapun lagi dengan pria itu, Samudra langsung menghampiri ibunya yang telah bersimpuh dilantai dengan lengan yang sudah penuh dengan bekas kemerahan.

"Bunda! Bunda ngga apa-apa, kan? Maafin Sam bunda..." Sam menangkup wajah wanita yang terlihat lemah itu. Dengan luka gores di bawah matanya dan juga terlihat bekas tamparan di sana. Dia benar-benar membenci ayahnya yang sudah merusak wajah cantik ibunya. Dia benar-benar marah.

"Samudra jangan nangis, Nak. Bunda nggak apa-apa. Kamu gak boleh sentak Ayah kamu kek gitu, ga baik." Wanita itu berucap dengan nada gemetar sembari tersenyum tulus pada putranya. Namun tidak bagi Sam, hatinya tergores ketika melihat senyum itu. Ibunya masih saja memikirkan keadaan orang yang sudah membuatnya seperti ini. Dan Ibunya adalah alasan mengapa Sam tak pernah melakukan apapun kepada laki-laki tidak berguna itu.

Tak berpikir panjang lagi,
Samudra mulai mengalungkan tangan ibunya itu di lehernya, mengangkat dan kemudian menggendong wanita yang benar-benar terlihat lemas menaiki tangga menuju kamarnya. Membuka pintu ruangan itu dan merebahkan ibunya diatas ranjang. Samudra kembali turun hanya untuk mengambil kotak obat yang tersimpan di laci dapur, sebenarnya dia tak ingin mengambilnya kebawah dan bertemu kembali dengan ayahnya. Namun saat melihat kondisi ibunya yang memprihatinkan itu membuatnya mengenyampingkan ego.

"Dengerin tuh, Bundamu, dasar anak durhaka." Baru saja Samudra menuruni anak tangga, ayahnya langsung saja melontarkan kalimat yang kurang pantas dengan suara yang juga kurang jelas, namun jika kesabarannya hanya setipis kertas, awalnya dia mengelak, tapi sekarang saat hanya dengan kalimat begitu emosinya bisa terpancing, membuat Sam membenarkan ungkapan Juan.

"Gue mungkin anak durhaka, tapi gue bukan laki-laki brengsek kek lo, yang bisanya cuma main perempuan, udah tau punya istri. Ngaca dikit napa, lo udah tua! Bentar lagi dijemput." Sam tak pernah main tangan, tapi percayalah lisan laki-laki itu lebih tajam dari pisau.

"JAGA UCAPAN KAMU SAMA AYAHMU!" Pria yang sedang dalam keadaan mabuk itu berteriak dan menunjuk Samudra dengan tatapan penuh kebencian. Namun Sam hanya mendengus kemudian memasang seringai tipis, sangat tipis hampir tak terlihat.

"Hah? Ayah? Ayah siapa? Gue ngga punya ayah."

"TEMUKAN SAMUDRA ATLANTA!"

"JANGAN SEBUT NAMA GUE! Jangan sebut nama gue dengan mulut kotor lo itu." Sentak Sam tak kalah keras.

"Ayah mana yang nyiksa anak sama istrinya? Lo tau ngga? Gue sama bunda selalu dapet KDRT. Gue bisa laporin lo ke polisi biar lo di penjara, tapi apa?! Bunda selalu ngehalangi gue, segitu cintanya bunda gue sama lo! Tapi apa? Lo malah main perempuan di depannya!"

"LAKUIN! Lakuin aja.. Saya tidak perduli! Kamu tau kenapa..?" Racau pria itu tak jelas, namun Sam dapat menangkap semua yang ia katakan. Kini jari-jari itu sudah terkepal kuat, bahkan kini telapak tangan itu terasa perih sebab tertancap kuku-kukunya.

Jujur!

"Karena kalian tidak. Berguna."

Botol alkohol itu dilempar dan membentur lantai, membuat benda itu pecah berkeping-keping, namun dibanding botol itu, hati Sam sudah jauh lebih hancur. Sempat terdengar suara tawa dari pria paruh baya itu sebelum tubuhnya berakhir tak sadarkan diri di lantai. Samudra hanya berdecih malas, berbalik dan kembali menaiki anak tangga menuju kamarnya.

"Samudra, kamu bertengkar lagi sama ayah?" Suara lembut ibunya langsung menyapa dirinya saat pertama kali langkah kakinya masuk kedalam ruangan. Dapat dia lihat wajah wanita yang kini tersenyum kearahnya, melihat bibir pucat yang biasanya tersenyum, mata sebam yang biasanya menatapnya dengan tatapan penuh kasih sayang kini terlihat masih sama.

Masih ada senyum, dan tatapan kasih sayang. Namun semua itu adalah hal yang paling Sam benci, saat itunya berusaha tersenyum padahal ia tau bahwa semuanya menyakitkan. Sangat sakit.

"Bunda.. Kenapa bunda tahan sama laki-laki seperti dia, Bun? Sam sakit setiap liat bunda luka-luka kek gini.." Sam membersihkan luka di sudut bibir wanita itu sembari berucap dengan nada gemetar. Mata berkaca-kaca yang sedang menahan air mata itu terlihat jelas. Namun tak ingin dia tumpahkan dengan alasan dia harus terlihat kuat.

"Sam, dengerin bunda, Nak." Wanita itu menangkup wajah putranya. Masih dengan senyum yang sama. Sebelum melanjutkan ucapannya dia menyempatkan diri untuk mengecup singkat kening Sam.

"Bunda ga ingin semuanya berakhir. Bunda yakin suatu hari nanti ayah kamu bakalan sadar dan kembali lagi seperti dulu. Kita cuma perlu nunggu sebentar lagi-"

"Tapi sampai kapan? Apa kita tetep bakalan menderita?"

"Ngga ada yang abadi di dunia, Nak. Baik itu penderitaan, mereka juga bakalan terganti. Bunda sayang sama kamu, Bunda juga sayang sama Ayahmu. Mau bagaimanapun Ayah itu belahan jiwa Bunda. Jadi tolong bertahan sedikit lebih lama ya, Nak? Demi Bunda." Ibunya masih menatapnya dengan senyum yang sama, meyakinkan dirinya bahwa dia bisa melewatinya. Sam mengait jemari wanita itu, mengelusnya perlahan, sangat lembut.

"Tapi kalo suatu hari nanti semuanya sudah kelewat batas. Samudra ingin ambil hak Samudra sebagai anak laki-laki buat melindungi Bunda. Kalaupun kebahagiaan kita itu tanpa Ayah,
Sam bakalan lakuin itu. Maaf kalo di masa depan Sam akan jadi egois."

Ibunya mengerti, lebih memilih diam dengan senyum, menepuk singkat pahanya untuk sekedar menerima kepala Sam yang perlahan direbahkan ke atasnya. Membelai lembut rambut anak itu, sembari menahan air mata yang berusaha tumpah. "Iya. Silahkan lakukan apa yang Sam mau. Tapi untuk sekarang, tolong bertahan sedikit lebih lama lagi ya, Nak?" Disana, Samudra mengangguk singkat dengan air mata yang sudah turun sejak tadi. Berusaha menarik nafas sedalam-dalamnya agar isak tangis itu tak terdengar oleh ibunya.

Ia begitu membenci seorang ayah, bahkan nyaris tidak peduli dengan kehadirannya.

Terkadang Samudra mempertanyakan kebenaran yang dikatakan Zayyen hari itu. Fase-fase yang berbeda, katanya. Dia ingin mempertanyakan pernyataan yang pernah Zay ungkap hari itu, apakah semua itu benar? Lalu mengapa hidupnya seperti berjalan di satu tempat? Kapan fase yang ia lalui akan berganti? Sam tak pernah menuntut semesta, tapi kali ini dia ingin mempertanyakan sebuah adil yang pernah manusia-manusia katakan sebelumnya, bahwa Tuhan menciptakan semesta dengan seadil-adilnya.

Dimana keadilan baginya?

KUPU TANPA SAYAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang