Part 07

144 11 0
                                    

Haii, gimana masih semangat bacanya?
Ayo vote jangan lupa yaa, sedih kalo yang baca ga vote :(

Oh iya, setiap bertambahnya part, bertambah pula tokoh figurannya. Semangat memahami alurnya!

-
-
-

Di semesta ini, kisah mereka tak seindah yang kalian bayangkan. Semuanya tidak penuh tawa, tetapi penuh lara. Dan dari deret aksara yang penuh luka, biar mereka ceritakan, kisah pedih yang harus mereka lalui untuk bertemu dengan bahagia.

Hari ini mentari datang dengan cahaya hangatnya seolah-olah tersenyum dan menyapa seluruh penduduk di bawah jumantara. Samudra perlahan mengerjapkan matanya, menelisik cahaya yang perlahan menyorot dua iris hitamnya. Sesegera mungkin dia bangkit dari ranjang dan membersihkan diri. Hari ini hari Minggu, waktu yang tepat untuk melepas lelah setelah seminggu bersekolah. Mahesa menginap di rumah Zayyen setelah kemarin sore kelelahan membersihkan gudang. Berhubung Zay anak pindahan dari Bandung, jadi ia tinggal di kontrakan seorang diri.

Dan hari mereka akan jalan-jalan, tentu saja.

Laki-laki itu mulai menggosokkan handuk di kepalanya yang masih basah setelah keramas, memperhatikan lamat-lamat sesuatu yang bergerak-gerak di atas pohon mangganya. Tunggu, apa itu? Laki-laki itu menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas, namun akhirnya suara seseorang memecah fokusnya.

"Zay bangun ada maling!" Samudra berlari menuju kamar tidur Zayyen dan menggoyangkan tubuh anak laki-laki itu sekencang mungkin.

"MANA?!" Zay membulatkan matanya sempurna ketika mendengar teriakan Sam.

---

"Yen! Turun elah! Lo jangan buat onar pagi-pagi." Suara itu terdengar familiar. Mahesa berjalan kearah pintu, memutar kuncinya dan akhirnya pintu terbuka memperlihatkan Naresh yang kini berdiri di bawah pohon mangganya.

"Naresh? Ngapain?"

"Aduh, Bang. Gue ribut, ya? Maaf deh. Tapi ini Si Oyen nyari masalah dari tadi. Gue bangun pagi-pagi gara-gara dia yang ribut minta makan, terus waktu gue masih goreng ikan dianya ngilang. Gue cari-cari ga ada, lah waktu gue ketemu dan mau nangkep dia, dia malah lari keatas pohon. Beban banget, kan?" Remaja yang masih memakai kaos oblong tanpa lengan itu sudah mengoceh pagi-pagi di depan rumahnya. Zayyen mengalihkan pandangannya kepada sosok kucing yang diberi nama Oyen, berdiri di salah satu dahan pohon mangga milik Zayy.

"Itu sapa bang," lidah Naresh menujuk ke arah Samudra.

"Temen gue, Samudra namanya." Zay masih melihat kucing itu tanpa menoleh ke arah Naresh

"Cakep juga," Naresh mengangkat satu alisnya.

"Iya lah gue emang cakep," Sam tersenyum narsis.

"Udahlah, Resh. Lagian kucing juga. Lo ngoceh panjang lebar pun dia nggak bakalan ngerti." Mendengar itu Juan hanya bisa menghela napas panjang. Ya, mau gimana lagi? Si Oyen memang beban, tapi kalo dibuang juga sayang, kan dia sudah seperti teman bagi Naresh.

"Iya juga, Bang. Tau lah! Capek gue. Sekarang lo bisa turun, ga?" Naresh bertanya kepada kucing yang kini berdiri di salah satu dahan pohon itu, kucing yang hanya menatapnya dengan tatapan takut-takut. Huh, Naresh tahu kucing ini memang selalu menjadi masalah. Dia mengangkat kedua tangannya dari bawah dengan tatapan fokus kepada Oyen.

"Sini, turun. Gue tangkap." Oyen awalnya merasa agak ragu, namun melihat wajah Naresh yang meyakinkan dapat membuat Oyen menaruh kepercayaan tinggi kepada majikannya untuk segera melompat. Namun kini Naresh yang merasa agak ragu, apakah kucing yang diberinya nama Oyen dan lahir tanpa sesuatu bernama akhlak itu bisa mendarat dengan baik?

"Yen, hati-hati, ya? Ancang-ancang dulu baru lom--" Ungkapan Naresh terpotong kala tubuh kucing jantan itu sudah mendarat tepat di wajah Samudra, membuatnya hampir kehilangan keseimbangan. Kucing itu langsung melompat, dan menatap Naresh dari bawah tanpa rasa bersalah.

"Oyen! Kan gue udah bilang ancang-ancang dulu, malah mendarat di muka gue! Awas aja lo, nanti gue ga kasih makan ikan lagi."

"Yahaha, kasian. Ga jadi makan ikan lo sekarang!" Ejek Sam pada kucing malang itu.

Oyen mengalihkan pandangannya kala mendengar suara. Dia menengok kearah jalan dan menemukan Kipo, seekor kucing jantan berdarah campuran yang menjadi musuh terbesarnya dalam memperebutkan hati Pipi, kucing betina milik tetangga Zayyen yang memiliki paras aduhai bak bidadari yang turun dari kahyangan. Versi kucing tentu saja.

"Diem lo, babi!" Jawab Oyen tak terima.

"Gue kucing btw."

"Sama aja!" Ungkap Oyen tak terima, dia menatap nyalang Kipo yang kini berdiri di atas tembok dengan wajah meledek. Tentu saja dia tak terima dikatai tak akan mendapatkan ikan. Oyen kini menatap Naresh dengan tampang yang bisa dibilang paling lucu selucu-lucunya. Dengan matanya yang besar itu, dia bisa dengan mudah membuat tatapan mata yang berbinar, mengedipkan beberapa kali untuk meluluhkan hati Naresh.

"Huhuuu, Oyen jangan gitu, dong! Kan Juju jadi ngerasa bersalah. Iya deh, nanti Oyen bisa makan ikan banyak-banyak. Sekilo juga Juan kasih, kok!" Naresh berjongkok dan mengusap kepala kucing itu, yang kini menatap Kipo dengan wajah meledek. Oyen tahu, walaupun terkadang melihat tampang majikannya itu membuat Oyen gemas dan ingin mencakar Naresh, namun dia tak bisa pungkiri bahwa menurutnya, Naresh adalah majikan terbaik di seluruh dunia!

"Ih norak deh mereka," Sam menatap sinis ke arah Naresh dan kucing oyennya.

"Udah yok masuk," titah Zayy pada Sam.

"Naresh, bang Zay dan abang ganteng, Ifan mau mangga dong satu." Teriak Ifan dari seberang jalan.

"Gimana bang boleh ga? kalo ga dibolehin gapapa kita ga maksa tapi lebih bagus kalo di bolehin, sedekah sesekali gapapa kali bang sebelum mati." Ujar anak laki-laki itu blak-blakan.

"Buset tu mulut pedes bet," Sam menatap tajam Ifan yang berjalan mendekat.

Bagaimana mungkin orang yang beberapa hari lalu berniat mencuri mangga milik Zay kini datang  meminta izin dan memberikan salam pujian yang mengingatkan Zay pada kematian. Apa hari ini sudah menjadi hari biasa bagi anak-anak dalam modus mencuri mangga dengan membawa kematian? tanya Zay dalam hati.

Samudra yang tidak mengenal kedua anak itu hanya bengong dan memilih untuk diam.

Untung saja kesabaran Zay tidak setipis kertas melainkan setipis tisu dibelah tujuh. Walaupun Zay terkenal sebagai orang yang suka tertawa tetapi aslinya ia terkenal jutek dan judes di komplek itu.

"Ambil aja, gue sama temen gue mau jalan-jalan." Zay menarik tangan Sam menuju pintu teras.

"Ikut bang," belum sempat Zay membuka pintu itu, langkah kakinya terhenti mendengar ucapan Ifan barusan.

"Ini acara orang besar, yang kecil ga diajak." Sahut Samudra kesal.

Samudra menahan dirinya agar tidak memaki anak itu, pasalnya hari ini adalah hari tenang baginya. Bagaimana mungkin ia harus menghadapi bocil kematian yang menyebalkan, lebih menyebalkan dari Aurora.

KUPU TANPA SAYAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang