Part 08

155 12 0
                                    

|SAMUDRA DAN LUKANYA|

🌊🌊🌊

Sore ini langit terlihat cantik dengan warna jingga nya, juga awan-awan tipis yang menghiasinya menambah keindahan kanvas milik semesta. Samudra menatap bagaskara lainnya di depan sana, terlihat sebentar lagi akan tenggelam dan menyisakan pekat malam. Saat-saat berjalan seperti ini, dia selalu mengingat momen-momen dimana Zayyen, Aksa, dan Argha bersamanya, bersahabat sejak Sekolah Menengah Pertama membuat mereka saling mengenal satu sama lain, bahkan dalam jangka waktu yang cukup singkat itu, mereka bisa sangat akrab.

"Hidup itu memiliki fasenya tersendiri." Tak pernah dia lupakan kata Zay di sore itu, saat mereka baru pulang dari perpustakaan untuk membaca buku, berjalan bersama dibawah senja hari itu.

"Terus, apa fase-fase di setiap orang itu sama?"

"Sama, tapi berbeda." Sam mengerutkan keningnya tanda tak mengerti, berharap ada penjelasan dari Zay untuk ungkapannya barusan. Namun yang laki-laki itu lakukan hanyalah menatap Sang Bagaskara yang sebentar lagi akan tenggelam di ufuk barat.

"Sama tapi berbeda? Gimana maksudnya?" Mau tak mau Sam harus membuka suara agar semua pertanyaan yang ada di benaknya bisa dijawab sepenuhnya.

"Iya, sama tapi berbeda. Kek mereka yang sama-sama saling mencintai tapi beda agama." Zay mengatakan hal itu dengan gelak tawa singkat diakhir kalimat, membuat Samudra geram dengan apa yang dilakukan oleh anak laki-laki satu ini.

"Zay, gue serius!"

"Lah, yang bilang gue bercanda siapa?" Samudra memalingkan wajahnya, enggan menatap Zayyen yang masih terkekeh kecil.

Samudra adalah orang-orang yang tampolable, ingin rasanya Samudra menampol lengan laki-laki itu, namun sayangnya tangan Zayyen terlalu kurus untuk ditampol Sam, jatuhnya Sam nanti yang akan merasa bersalah.

"Zay, asal lo tau kalo gue itu pengen banget nampol lo. Tapi ngeliat lengan lo yang kurus kering gue jadi kasian."

"Heh! Kurus kering gini, nih. Masih bisa angkat air segalon! Jangan macem-macem lo." Kini Samudra yang tertawa melihat Zay yang terus memeriksa lengannya yang memang agak kurus. Samudra tak mempertanyakan hal itu karena kenyataannya memang Zay tinggal sendirian, jadi mungkin untuk remaja seusianya memasak adalah hal yang menjengkelkan. Jadi mungkin makanan instan menjadi pilihan terbaik.

Samudra masih terkekeh kecil. Nanti siapa tau dia kelepasan dan menampol Zayyen begitu saja, kasihan nanti Zayyen yang harus merasakan panas yang menjalar di tangan kanannya. Tapi tipikal orang seperti Zayyen yang senang sekali memancing emosi memang tampolable.

"Sam, coba sekarang gue tanya sama lo. Suka sama orang yang sudah jelas-jelas beda agama, itu salah?"

"Salah, lihat!"

"Ngga. Mereka ga salah." Sekali lagi Zay berhasil membuat Sam memutar otak. Ingin rasanya Samudra berteriak sekarang, dia benar-benar benci jika disuruh berpikir. Padahal dia hanya bertanya singkat barusan, tapi sekarang kenapa pembicaraan mereka malah menjalar sampai ke sini?

"Tapi, Zay. Bukannya di agama kita, pacaran itu hukumnya haram?"

"Iya, memang haram. Allah ga ngasih kita buat pacaran, karena dosa. Tapi, Allah ga pernah ngelarang kita buat mencintai." Ternyata kata Bang Haji Rhoma Irama benar, hidup tanpa cinta itu bagai taman tak berbunga. Bahkan Tuhan sekalipun tak pernah melarang seseorang untuk jatuh cinta. Tapi akan menjadi larangan jika sudah terlalu jauh.

"Orang-orang yang mencintai seseorang yang beda agama itu ga salah. Yang salah, jika mereka memaksa keadaan untuk bersama. Lo tau, kan? Keyakinan itu ga bisa dipaksa. Manusia ga bisa serakah, mereka ga bisa memilih dua-duanya. Jika mereka bersikeras untuk bersama maka salah satu harus mengalah. Dan karena itu dapat gue simpulkan kalo hidup itu adalah sebuah pilihan." Samudra terdiam mendengar ungkapan Zayyen yang begitu panjang yang berakhir dengan sebuah definisi hidup menurut pandangannya.

"Lho? Kok kita malah ngomongin cinta, sih?" Kan, sudah Samudra bilang kalo spesies seperti Zayyen ini adalah

"Zay! Pertanyaan gue belum lo jawab."

"Kapan-kapan."

"Anak Anj-"

"Heh! Mulutnya."

"Zay, sumpah. Ngomong sama lo tuh kek lagi uji ketahanan mental. Orang yang kesabarannya setipis kertas keknya darah tinggi mulu kalo ngobrol sama lo."

Tawa Zayyen lepas, namun terdengar sayup diantara klakson kendaraan yang mulai terlihat ramai karena jalan yang mereka lalui adalah jalan kota. Hari mulai gelap, bahkan cahaya jingga dari matahari hanya tersisa sedikit saja, namun mereka sama sekali tak khawatir barangkali mereka akan pulang saat keadaan sudah benar-benar gelap.

"Fase-fase yang dilalui sama orang-orang itu sama, tapi beda. Maksudnya gini, Sam." Zayyen menjeda garis zebra cross . Lampu berganti hijau bersamaan dengan langkah terakhir mereka untuk menyebrang, dan kini keduanya sudah kembali berjalan trotoar jalanan.

"Fase yang dilalui itu sama. Hidup itu anggep aja punya dua fase, fase bahagia, sama...?"

"Sedih."

"Nah, itu maksud gue. Fase yang akan mereka lalui itu sama, cuma antara sedih sama seneng aja. Tapi, bedanya ada di waktu saat mereka menerima salah satunya. Kalo gue lagi bahagia, bisa aja lo sedih. Karena ga mungkin semua sama, masa kalo kita sedih satu dunia juga sedih?" Samudra termangu mendengar apa yang dituturkan Zayyen. Ternyata fase yang dia maksud hanyalah dua itu, kalau begitu sih Samudra sudah tau! hanya saja Zayyen membuatnya menjadi lebih luas pengertiannya.

"Tapi, Zay di hidup gue selain seneng sama sedih gue juga sering ngerasa sendirian." Zay kini memasang atensinya kepada Sam. Mendengar dengan seksama apa yang akan dikatakan oleh laki-laki di sampingnya ini.

"Ada saat dimana gur ngerasa gue kek sendirian, kaya di hidup gue ini cuma gue tokoh utamanya, dan mereka cuma orang-orang yang hadir jadi tokoh pembantu." Racau Samudra menerawang udara di depan. Menatap jalanan yang akan segera mereka lalui nanti.

"Kalo ini cerita gue, gue pengen marah sama orang yang udah nulis ceritanya, Kenapa harus sekejam ini?" Dia kembali berucap, menyalahkan takdir yang sebenarnya sudah ditulis dengan sempurna, hanya menunggu semuanya berakhir saja. Hanya tinggal menanti bagaimana akhir dari ceritanya. Akhir yang sempurna atay justru sebaliknya.

"Tapi lo ngga bisa nyalahin takdir ditulis bahkan sebelum kamu lahir." Samudra diam-diam menyetujui ekspresi Zayyen. Bagaimana bisa orang lemah seperti dirinya mengubah takdir? "Aku berharap ada kebahagiaan di akhir cerita ini."

Nostalgia singkat itu diakhiri dengan harapan yang masih diharapkan Samudra akan terwujud. Berharap perjuangannya segera berakhir bahagia. Semua kenangan singkat itu ternyata cukup untuk menghabiskan waktunya hingga kini langkahnya sudah sampai di depan rumahnya.

Jujur!

Baru saja langkahnya berhenti tepat di depan pintu utama, terdengar suara pecahan kaca dari dalam rumah. Dengan cepat ia membuka pintu, dan benar saja. Rumah terlihat benar-benar berantakan, bantal sofa berserakan dimana-mana, juga ada beberapa guci yang pecah. Namun hanya ibunya yang ada di pikirannya saat ini, ibunya yang ia tinggalkan sendirian sejak tadi pagi. Rasanya dia ingin memaki dirinya sendiri karena melupakan ibunya yang tinggal seorang diri bersama orang yang benar-benar dia benci. Dan saat melihat tubuh wanita yang dia sayangi terletak lemas di lantai dengan luka gores di wajahnya membuat emosi laki-laki itu memuncak begitu saja.

"LO APAIN BUNDA GUE ANJING!" Umpatan keluar dari bibir manisnya yang selalu tersenyum, namun senyum itu kali ini telah sirna. Hanya tersisa sorot mata penuh amarah yang membara. Dilihatnya, seorang lelaki paruh baya dalam keadaan mabuk yang berdiri dihadapan sang ibu yang sudah bersimpuh dilantai.

"Ck! Dateng juga anak sialan ini." Laki-laki paruh baya itu berdecih, menatap remeh Samudra dengan seringai di wajahnya, laki-laki yang tak lain dan bukan, itu bukan ayahnya. Melihat situasinya kurang meyakinkan saat ini, ibunya yang sudah lemas tak berdaya tergeletak di lantai.

KUPU TANPA SAYAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang