Undangan

19 9 1
                                    

Edwin tidak peduli dengan gosip. Dia tetap dengan rutinitasnya sebagai prajurit malam yang sibuk. Pagi itu sebetulnya libur, dia memutuskan untuk membongkar kotak senjata yang dia bawa dari kota; itu diberikan oleh ayahnya. Dia melihat bermacam-macam senjata di dalam sana, busur serta anak panah berada di lapisan terluar, jadi Edwin mengeluarkannya terlebih dahulu. Lapisan berikutnya adalah mata tombak, belati dan sebuah kapak, mereka adalah senjata yang bagus namun ia tidak menggunakannya jadi Edwin juga menyingkirkan itu setelah melihat beberapa saat. Di lapisan ketiga adalah pedang tipis berwarna keemasan. Dia ingat ibunya yang meletakkan benda satu ini, beliau mengatakan pedang itu ditempa saat Edwin lahir dan berharap itu dapat terus melindungi Edwin. Mengingat itu dia terseyum sedikit sebelum meletakkan pedang itu di luar bersama senjata sebelumnnya. Dia tidak berpikir untuk menggunakan pedang satu itu karena dia merasa kurang cocok dengan pedang tipis, dia hanya menggunakannya di usia lebih muda kemudian mengganti pedangnya. Selain itu dia berpikir untuk terus menyimpan pedang itu sebagai wasiat. Sampailah di lapisan terakhir, Edwin melihat pedang besar yang biasa ia gunakan saat pelatihan dulu, yang ini dipinta untuk ditempa oleh gurunya sendiri ketika menyadari Edwin lebih cocok dengan jenis pedang ini. Pedangnya sangat polos awalnya, hanya lempeng besi yang diberi goresan kasar sebagai ukiran, namun sekarang sudah lebih rapi dan bagus setelah diserahkan pada seorang pandai besi untuk diperbaiki.

"Koleksi mu sangat banyak," seseorang berkomentar.

Edwin mendengar suara orang lain lalu menengok dan menemukan Everal di meja makan, sedang menuang segelas air. Dia kebetulan menonton Edwin dari awal dia membuka kotak senjata.

Everal melihat sebuah busur yang berada di tumpukan paling bawah sekarang. Bertanya padanya, "Apa itu bagus?"

Edwin menjawab tanpa melihat ke lawan bicara. "Masih berfungsi dengan baik," dia mengelap permukaan pedang besar yang sedikit berdebu hingga kilatannya kembali muncul bersama memantulkan bayangan di permukaan pedang itu.

"Bolehkan aku mencobanya?"

Edwin menatapnya. Bukan karena dia tidak ingin meminjamkan senjata, dia juga tidak menaruh kebencian pada anak ini sejujurnya, hanya saja dilihat dari penampilan, anak ini bukan tipe yang cocok berurusan dengan senjata. Meski ragu, dia dengan pelan mengangguk, lagipula ia sudah tidak pakai busur itu lagi.

Everal menarik busur dan mengarahkan tembakan ke luar pintu, diam beberapa saat sebelum menurunkan bidikannya.

"Ada apa?" Edwin bertanya ketika Everal menurunkan senjatanya.

"Memastikan tidak ada orang yang lewat," dia melihat keluar pintu, Edwin juga mengikutinya di belakang. Ketika memastikan halaman itu sepi, dia mengangkat busurnya lagi.

"Tidak ada yang akan datang ke sini kecuali aku dan kamu," Edwin buka suara, halaman ini selalu sepi, selain memang agak jauh dari keramaian, orang-orang juga tampaknya sungkan melewati rumah ini. Pemilik rumah tidak terlihat seperti orang yang mudah bersosialisasi.

Everal memilih keluar dari rumah, ketika berada di halaman, ia melihat sebuah balokan kayu yang disusun dipinggir tangga. Dia menargetkan balokan kayu yang berada di susunan paling tengah. Ia langsung mengangkat dan menarik tali busur, setelah merasa ujung busur dibidik tepat ke tengah balok kayu, ia melepaskan tarikan pada tali busur dan anak panah melesat dengan cepat. Ketika ia melihat di mana panah menancap, itu tidak mengenai balok kayu yang di tengah, melainkan panah menancap pada balok disampingnya. Ia menghela nafas sedikit kecewa.

Edwin tanpa diduga juga memperhatikannya. "Kamu bagus."

"Aku membidik balok di tengah, ini sedikit meleset," ucapnya.

"Tetap saja, beberapa prajurit muda bahkan tidak dapat menancapkan anak panah saat melesatkannya pertama kali."

Everal terkekeh sedikit, "Mungkin hanya beruntung."

Sacrificial: Military ThreadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang