Di dalam ruang BK, Arson duduk tegak dengan matanya memandang orang yang berada di depannya. Orang yang lebih tua itu memantang dengan ekspresi serius yang membuat suasana semakin canggung, tapi sebaliknya Arson terlihat sangat santai menghadapi situasi ini.
Arson bisa ada di sini karena kepergok merokok oleh salah satu guru yang tidak sengaja melihat dia pergi ke belakang sekolah. Namun, melihat sikap Arson sekarang, sepertinya dia sama sekali tidak menyesali perbuatannya. Baginya, merokok sudah menjadi bagian penting dari dirinya, tapi sekarang, dia harus menghadapi resiko atas apa yang dia perbuat.
"Kamu tau kan kalau merokok di area sekolah itu termasuk pelanggaran berat?" Guru BK itu akhirnya memulai pembicaraan, suaranya terdengar serius, tapi terdapat keraguan dalam ucapannya.
"Saya tau" jawab Arson yang masih terlihat tenang.
"Lalu kenapa kamu tetap melakukannya? Kamu bisa saja dikenakan hukuman skors jika begini. Ditambah lagi kamu membolos saat jam pelajaran sedang berlangsung" ucap guru tersebut.
"Saya tidak masalah jika harus di skors. Bapak tidak perlu khawatir, saya memang salah jadi saya siap mendapat hukuman apapun yang diberikan oleh pihak sekolah" Arson tidak mencoba mengatakan pembelaan sama sekali. Sebelum dia memutuskan melanggar peraturan, dia sudah siap dengan semua konsekuensi yang harus dia tanggung. Tidak perduli dengan statusnya sebagai anak donatur di sekolah ini, menurutnya kesalahan tetap harus mendapat hukuman.
Padahal Arson bisa saja menumbalkan nama ayahnya untuk melapaskan diri, tapi dia tidak mau melakukan itu. Manurutnya, hanya pengecut saja yang akan menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk bebas dari hukuman.
Maka Arson sama sekali tidak merasa ragu ketika mengatakan dia siap dihukum. Sama seperti dia yang berani melanggar aturan, dia juga akan menghadapi konsekuensi atas segala perbuatannya.
Guru BK itu menghela napas pasrah setelah mendengar apa yang Arson katakan. "Kalo memang begitu, sesuai dengan peraturan yang berlaku maka kamu akan dikenakan hukuman skors selama tiga hari dan tidak diperbolehkan mengikuti proses pembelajaran selama masa skorsing tersebut. Kamu juga akan diberikan surat peringatan tahap pertama, yang harus kamu tanda tangani setelah suratnya selesai di proses"
Arson mendengarkan baik-baik perkataan guru itu tanpa merasa keberatan sedikitpun atas hukuman yang diberikan. "Kapan kira-kira suratnya jadi?" tanyanya.
"Paling lama saat pulang sekolah"
Arson mengangguk. "Apa saya udah boleh pergi, pak?"
"Ya silahkan, tapi Arson, lain kali jangan ulangi kesalahan seperti ini lagi. Jangan merokok sembarangan di area sekolah dan jangan membolos lagi! Saya harap ini adalah yang terakhir"
"Saya tidak bisa berjanji, pak. Permisih" Arson beranjak dari duduknya, kemudian melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu.
Ketika berada di luar ruang BK, Arson seperti teringat sesuatu ketika matanya tidak sengaja menangkap sosok Devon yang berjalan bersama kedua temannya.
"Devon, pokoknya pas pulang sekolah nanti lu harus mau makan. Lagian emang perut lu gak terasa sakit apa, gak makan dua hari begitu?"
Samar-samar Arson mendengar perkataan salah satu teman Devon yang seperti sedang mencemaskan kondisi temannya itu. Tanpa berpikir dua kali, Arson berjalan cepat mengejar langkah Devon.
"Eh?" Devon tersentak ketika tangannya ditahan oleh seseorang, sampai langkahnya harus terhenti dan sedikit terhuyung kebelakang karena tarikan pada pergelangan tangannya itu.
"Arson? Lo ngapain megang-megang tangan Devon?" Noval bertanya bingung.
Mengabaikan perkataan Noval, Arson hanya memfokuskan pandangannya menatap Devon dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan. Mata berwarna cerah itu seperti memancarkan kilatan yang mendominasi Devon sampai dia tidak bisa berkutik sedikitpun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...