Bab 1 Gagal Sekolah

14 7 2
                                    

Hidup memang tidak indah seperti yang di bayangkan tapi bisa lebih indah dari yang di inginkan, semua tergantung dari cara kita bersyukur dalam menjalaninya. Pada dasarnya semua orang itu pintar, jadi wajar saja mereka akan berhasil dengan apa yang di inginkannya, tergantung bagaimana mereka mendapatkannya. Manusia di ciptakan lebih sempurna dari mahluk Tuhan lainnya, karena manusia di beri kelebihan akal dan nafsu. Makanya manusia bisa lebih sempurna dari malaikat dan bisa lebih hina dari seekor binatang yang paling menjijikkan.  Hal itu lah yang di pegang teguh oleh Tian, seorang manusia biasa yang bisa sukses dengan keyakinannya tanpa harus iri dengan orang lain yang mendapatkan pendidikan di sekolah/universitas terbaik sekalipun.

Tian terlahir dari keluarga yang sederhana yang dianugerahi dengan orangtua terbaik bagi dirinya. Tian mempunyai dua orang sahabat Alfi dan Imron yang terlahir dari keluarga berada dan selalu ada di setiap situasi apapun bagi Tian. Mereka bersahabat sejak SD hingga sekarang dan pagi itu Tian tidak masuk sekolah di hari pertamanya mengecam pendidikan SMA karena ayahnya tidak lagi bekerja dan Tian pun harus berhenti sekolah.

“Tian,” panggil Ibunya seraya tersenyum dan memasuki kamar Tian. “Iya bu,” jawab Tian sembari sibuk menyiapkan dirinya untuk berangkat sekolah tanpa melirik ibunya sedikitpun. “Hari ini jangan kesekolah dulu ya Tian,” ucap ibu dengan nada sendu. “Ayah mau bicara denganmu nak,” lanjut ibu. “Ayah mau bicara tentang apa,” Tanya Tian dengan sopan. Tian merasa nada bicara ibunya tidak enak.
“Bapak sudah berhenti bekerja nak,” ucap bapak memasuki kamar Tian. “Jadi kamu terpaksa berhenti sekolah karena Ayah tidak punya biaya lagi nak,” lanjut ayahnya sembari memeluk erat Tian.

Tian hanya bisa diam dan tersenyum pada ibunya dalam pelukan ayahnya. Tian tidak dapat berkata apapun, dia hanya bisa menerawang semua isi kamarnya dan berhenti menatap di atas meja belajarnya. Ada berupa tumpukan buku, tas dan dasi yang akan di kenakannya kesekolah pagi ini. Semua itu akan jadi kenangan, bahwa dia pernah mengecam pendidikan di masa mudanya. Tian menatap foto di atas mejanya, foto dia dan kedua sahabat yang sangat berharga baginya. Semoga persahabatan mereka tidak berhenti hari itu juga.

Pagi itu berlalu begitu cepat, Tian lagi di sibukkan dengan berkemas semua barang kesayangannya untuk di bawa kerumah yang baru. Mereka harus pindah ke rumah yang lebih kecil dengan harga yang lebih terjangkau.  Rumah yang di dapatkan memang cukup kecil dan jauh dari kota, harganyapun terjangkau. Lebih baik punya rumah kecil dari pada menyewa rumah besar. Setelah pindah kerumah baru, Tian pun mulai di sibukkan dengan kamar barunya dan menata semua barangnya dengan baik di kamar kecil itu. Semua di sususn dengan rapi agar ia nyaman di dalamnya. Tanpa berfikir panjang, dia pun merebahkan badan ke atas ranjangnya sembari beristirahat. Baru lima menit beristirahat, dia langsung menggapai selulernya untuk mengirimkan alamatnya pada kedua sahabatnya. Tian langsung menulis pesan di hp nya untuk Alfi dan Imron sekaligus.

“Assalamualaikum Imron, Alfi. Maaf baru kasih kabar karena sibuk pindahan dari kemarin, pesan Tian untuk kedua sahabatnya. Rumahku di ujung kota dekat sungai pas di bawah pohon besar. Tempatnya sangat nyaman dan menenangkan, kalau ada waktu jangan lupa mampir ke rumah ya. Aku rindu kalian. Lanjut Tian dalam pesannya.” Tianpun kembali beristirahat dengan pulas untuk menghadapi hari esok yang dia belum tahu harus bagaimana.
*****
Hari ini adalah hari pertama Tian di rumah barunya. Dia belum tahu mau berbuat apa dengan keterbatasan ekonomi mereka. Semua masih berada dirumah untuk berdiam diri, belum ada yang tahu harus berbuat apa hari ini. Tian duduk di bawah pohon depan rumahnya menikmati suasana hening saat itu. Aliran sungai yang begitu menenangkan, di tambah kicauan burung yang sedang bermain di atas pohon membuat Tian semakin nyaman dalam lamunannya. “Hari ini aku harus apa, sementara aku cuma tamatan SMP. Aku bisa apa?” Batin Tian dalam hatinya.

“Tian, ikut ayah yok,” teriak ayahnya membuyarkan lamunan Tian. “Mau kemana ayah?” Tanya Tian.
“Udah, ikut aja. Ibu mau kepasar belanja, jadi gak ada orang dirumah. Tian ikut ayah saja.” Ajak ayahnya sembari keluar dari rumah langsung menghampiri Tian di bawah pohon depan rumahnya.

Tian dan ayahnya pun segera berlalu dari kediaman mereka menelusuri jalanan sembari bertegur sapa dengan tetangga baru mereka. Tian hanya bisa mengikuti langkah kaki ayahnya, dia tidak tahu akan di bawa kemana oleh ayahnya siang itu. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam sambil cuci mata melihat lingkungan baru mereka. Tian melihat situasi lingkungan mereka dengan antusias sambil melangkah mengikuti ayahnya.

“Rasanya di sudut kota ini tidak begitu buruk, bahkan lebih tenang dan nyaman.” Tutur Tian pada ayahnya sambil terus berjalan. “Itu belum seberapa, jawab ayahnya. Kita akan ketempat yang lebih bagus dari ini.” Tambah ayahnya sembari berjalan.
“Apa ayah yakin kita pindah ke sudut kota ini, kan ayah masih bisa cari kerjaan di kota. Walaupun sulit tapi pasti ada peluangkan,” ucap Tian.
Ayahnya hanya terdiam sembari tersenyum pada Tian. Merekapun melanjutkan perjalanan mereka hingga sampai ke tujuan. Tian hanya bisa terdiam dan melanjutkan langkahnya, sedikitpun dia tidak dapat jawaban dari ayahnya.

Setelah satu kilo perjalanan, merekapun sampai di tempat tujuan. Tian tampak takjub di suguhi pemandangan indah di depan matanya. Ada danau terbentang luas, persawan dan perkebunan. Di sebalahnya tampak gagah dan indah air terjun yang mengaliri danau dan pertanian di sekitarnya. Kicauan burung terdengar di mana-mana, baik diantara pepohonan dan juga yang berterbangan di langit. Semua sangat menakjubkan. Tian tidak dapat berkata apapun, dia hanya bisa menikmati pemandangan yang sedang di suguhkan padanya. Terlintas di benaknya akan membuat rumah di pinggir air terjun itu untuk hari tua orang tuanya. Di sini sangat tenang, nyaman dan sangat mempengaruhi hati dan fikiran untuk selalu positif. Ini sangat menjanjikan masa depan dan masa tua nanti batin Tian dalam hatinya.

“Tian, ngapain berdiri disana,” teriak ayahnya membuyarkan lamunannya. “Sini duduk santai di batu besar ini,” lanjut ayahnya.

Tianpu langsung menuju batu besar tempat ayahnya duduk dan langsung duduk di sebelah ayahnya.

“Ayah kenapa bawa Tian kesini, tempat ini sangat bagus di sudut kota ini” ucap Tian penasaran. “Tempat ini bagaikan surga di sudut kota ini. Disini tersimpan segudang harapan bagi yang mampu mewujudkannya” jawab ayahnya. “Benar kat ayah, ini adalah surge harapan. Tian harap kita dapat jawaban dan harapan disini dari semua yang kita hadapi sekarang.” Sahut Tian. “Benar, jawabannya sudah kita dapatkan. Kita tinggal menjalankan saja,” jawab ayahnya. “Kita akan mengelolah tanah sepetak ini untuk keperluan kita hari ini dan esok,” jelas ayahnya. “Maksud ayah?” tanya Tian penasaran.

“Tanah ini adalah punya nenekmu yang di wariskan ke ayah dan sekarang kita harus mengelola tanah ini dengan, karena cuma ini yang kita punya,” jawab ayahnya. Tian hanya bisa mengangguk dan mendengarkan penjelasan ayahnya.

“Ayah di besarkan di tempat ini. Sejak kecil ayah suka dating kesini hanya musim panen saja, kakek dan nenekmu yang merawat tanah ini dengan baik” jelas ayahnya. “Karena ayah masuk SMA, terpaksa tanah ini di jual untuk biaya ayah sekolah dan kamipun pindah ke rumah kita yang sekarang ini” tutur ayahnya. “Kenapa tahan ini jadi punya kita lagi sementara tanah ini sudah di jual untuk biaya ayah sekolah” Tanya Tian. “Setelah ayah masuk kuliah, tanah ini di beli lagi oleh nenekmu, karena ayah kuliah pakai beasiswa. Ayahpun kuliah sambil bekerja untuk biaya hidup. Jadi nenekmu tidak memiliki pengeluaran yang besar saat itu” jawab ayahnya. “Sejak saat itu, tanah ini di kelola oleh orang lain. Kita dapat biaya sewanya per bulan. Kebetulan saat itu nenek dan kakek ikut ayah ke kota setelah ayah menikahi ibumu” jelas ayahnya.

“Semenjak kakek dan nenek meninggal, tanah ini tidak lagi di kelola dan ayah memutuskan untuk tetap menjaga dan merawat tanah ini nantinya. Ini lah saatnya ayah akan mengelolanya untuk kita dan untuk masa depanmu,” tutur ayahnya sembari merangkul Tian yang antusias mendengarkan cerita ayahnya. “Tian akan berusaha sebaik mungkin untuk ayah dan ibu, karena aku ingin sukses dan membanggakan orangtuaku,” jelas Tian. “Semoga cita-citamu itu bisa dikabulkan nak, teruslah berusaha jangan lupa bedoa dan tetaplah menjadi yang terbaik dimanapun. Karena mutiara itu akan tetap bersinar walau di dasar lautan sekalipun,” jawabayahnya sembari memeluk anaknya.

Merekapun berlalu dari tempat harapan itu menuju rumah. Sepanjang perjalanan, mereka hanya tersenyum satu sama lain, seakan mereka mempunyai planning yang sama untuk esok hari. Sesekali mereka bercanda sambil berlari dan bertegur sapa dengan tetangga di sekitar rumah mereka.

Surga di Sudut Kota Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang