Bab 6 Khawatir

6 8 1
                                    

Tian bangkit dari tidurnya di tengah malam yang sunyi itu. Dia langsung menuju kamar mandi untuk berwudhu sekalian shalat malam. Dia ingin menumpahkan semua isi hatinya kepada sang pencipta dan berbagi masalahnya dengan sang khalik serta meminta petunjuk dari semua kesulitannya. Setelah sajadah itu di bentang, dia pun segera shalat dengan khusuk. Tanpa terasa air matanya mengalir membasahi sajadahnya di sujud terakhirnya. Seakan beban dirinya sangat berat dan sulit untuk di selesaikannya sendiri. Setelah shalat diapun berdzikir dan berdoa mencurahkan semua keluh kesahnya malam itu dengan isak tangisnya menghadapi dunia yang fana itu.
“Ya Allah. Pantaskah hamba akan nikmat-Mu. Bantu hamba untuk selalu bersyukur pada-Mu, dan pantaskan pula dunia dan akhirat yang baik untuk hamba dan keluarga serta orang-orang yang hamba sayangi. Amin ya Robbal Alamin.”
Tangis Tianpun semakin tak terbendung olehnya, semua tertumpah bagai air hujan yang di perintahkan turun untuk mengurangi beban hidupnya saat itu. Semua terlintas di benaknya dengan rapi. Apakah dia bisa mencapai semua yang di inginkannya, mulai dari memberangkatkan haji/umroh orang tuanya, memberikan fasilitas dan penyetaraan pendidikan dan pekerjaan di lingkungannya, dan ingin sukses bareng dengan sahabatnya. Apakah dia masih bisa mempertahankan Surga di Sudut Kota itu. Belum lagi masalah kesehatannya yang sudah di vonis dokter dan tentang sahabatnya sekarang yang berantakan.
“Tian, aku mau ngomong penting” ucap Imron sambil memasuki ruangan Tian di kantor itu. Semua pembangunan untuk pelebaran dan perkembangan pemasaran sudah di selesaikan Herman ayahnya Tian. Sekarang Tian yang memimpin langsung kantor pemasaran di bantu oleh Imron dan beberapa orang pegawai lainnya. “Mau ngomong apa Ron” Tanya Tian penasaran. “Kayaknya penting banget” tambah Tian tersenyum melihat keseriusan sahabatnya. “Aku udah tahu kenapa Alfi menghindar dari kita. Gak mau kasih kabar dan gabung sama kita” ucap Imron menggebu-gebu. “Memangnya Alfi kenapa” Tanya Tian semangat. “Kan dia lagi jalankan bisnis papinya” tambah Tian masih tetap tersenyum. “Dia gak pernah ikut bisnis apapun. Bahkan jalankan bisnis papanya pun dia gak mampu” jawab Imron. “Loh, kenapa gitu. Kan orang kepercayaan orang tuanya  ada yang bisa bantu dia Ron” jawab Tian penasaran. “Masalahnya dia memang gak mau Tian” jawab Imron sedikit emosi. “Dia lebih milih hidup tanpa tujuan dan tiap hari mabuk-mabukan di diskotik kota itu” tambah Imron kesal. Tian yang dari tadi menunggu penjelasan Imron langsung memudarkan senyumnya dan merasa tidak percaya dengan perkataan Imron.
“Kamu pasti bilang kalau aku mengada-ngada” ucap Imron menatap sahabatnya. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kemarin malam di diskotik Tian, dan dia kenal dekat sama Selfi” tambah Imron yang masih emosi. “Mungkin dia hanya iseng Ron” ucap Tian datar. “Iseng gimana Tian. Tiap hari dia mabuk-mabukan sama Baron si gilak itu dan selfi adalah bagian dari mereka” jelas Imron kesal. Tian hanya bisa diam menatap Imron yang mondar-mandir menjelaskan perihal Alfi kepadanya. “Tapikan semua itu pasti ada alasannya Ron” Tanya Tian dan Imronpun melunak dengan pertanyaan itu dan duduk di kursi diseberang meja Tian. “Kalau itu aku gak tahu Tian kenapa. Aku terlalu kecewa padanya. Sekarang orang tuanya lagi ke Dubai bareng orang kepercayan orang tuanya. Ada bisnis yang harus di selesaikan disana” jawab Imron datar. “Seakan dia gak nengok perjuangan orang tuanya untuknya” tambah Imron menurunkan emosinya dan menatap kosong ke langit-langit ruangan Tian. Kepala Tian terasa sakit mencerna semua penjelasan Imron yang bertubi-tubi.
“Alfi merasa kesepian dan tidak di perhatikan oleh orang tuanya dan juga kalian” ucap Selfi seraya memasuki ruangan Tian tanpa izin dan di ikuti oleh Sarah. “Maaf, kami masuk tanpa izin. Kami mendengar kalian ribut dari luar, makanya kami langsung masuk” tambah Sarah dan duduk di kursi tamu ruangan Tian. “Maksud kamu gimana Sel” Tanya Tian penasaran sambil mengesampingkan sakit di kepalanya. “Dia selalu kabur ketempat bodoh itu karena menurut dia, orang tuanya hanya sibuk dengan bisnis mereka tanpa peduli padanya” jawab Selfi. “Dan dia juga bilang kalau dia juga gak mau ganggu kalian lagi, karena kalian juga udah punya kegiatan masing-masing” tambah Selfi menjelaskan. “Dan akupun gak tahu kalau sahabat yang dimaksud dia itu adalah kalian” ucap Selfi. “Aku baru tahu kemaren pas aku datang keacara party ulang tahunnya di diskotik itu. Aku juga ajak Imron kesana agar aku ada teman pulang kalau nanti Alfi dan rekan-rekannya mabuk lagi” tambah Selfi menjelaskan.
Imron dan Tian hanya bisa diam mendengar penjelasan Selfi, sementara Sarah hanya memilih diam dan gak mau ikut campur dalam masalah itu. “Kita gak pernah merasa terganggu kalau dia nelfon atau ngumpul bareng” ucap Tian datar. “Bahkan kita senang kalau dia bisa gabung sama kita. Ya kan Ron” Tanya Tian. “Hmhhm” jawab Imron sekenanya. “Mungkin dia memang kesepian” ucap Sarah. “Tapi dia salah mengartikan kesibukan orang tuanya dan kalian” tambah Sarah. “Mungkin” jawab Selfi dan mata semua tertuju pada Selfi dengan jawaban itu. “Kemarin sebelum aku berhijab, aku pernah bahas itu dengannya. Tapi dia malah mara-marah dan gak terima. Makanya aku gak mau lagi gabung sama dia, ingin menang sendiri” tambah Selfi. Tian merasa bingung dengan masalah sahabatnya itu. Hhingga tanpa sadar darah kental mengalir dari hidungnya karena dia terlalu memaksakan diri untuk berfikir.
“Tian, ada darah di hidungmu” ucap Selfi menunjuk kearah Tian.  Pandangan merekapun tertuju dan focus pada Tian. Imron langsung berdiri dan mengambil tissue untuk Tian. “Kamu gak apa-apakan Tian” ucap Imron sembari memberikan tissue tersebut. Tian langsung membersihkan darah tersebut dari hidungnya. “Aku gak apa-apa Ron, mungkin kecapekan saja” jawab Tian meyakinkan sahabatnya.
*****
“Udah sampai satu jam kita nunggu Tian” ucap Robi. “Apa memang gak ada yang tahu Tian dimana, bisa datang atau gak” Tanya Robi pada semuanya di rumah baca itu. “Salma, kenapa Tian belum datang" Tanya Nurul. “Aku gak tahu Nurul. Dia gak ada kasih kabar” jawab Salma. “Diskusinya kita mulai saja, biar cepat selesai” ucap Selfi. “Itu lebih baik dari pada kita gak dapat hasil apa-apa hari ini” ucap Robi. Merekapun langsung berkumpul untuk membahas tahap selanjutnya dari niat baik mereka tersebut.
“Masalahh izin dari warga udah kita dapatkan” ucap Nurul membuka diskusi. “Warga malahan senang kalau ada pendidikan disini dengan kualitas yang bagus” tambah Nurul. “Surat izin kita udah dapat, bahkan tenaga pengajarpun kita udah ada beberapa” ucap Imron. “Perhatian kita sekarang ini seragam sekolah dan suplai buku” ucap Dayat mengingatkan. “Masalah itu kita diskusikan dengan ustad Salman besok” ucap Robi. “Masalah fasilitas computer dan laboratorium gimana Sel, aman kan” Tanya Andrian. “Alhamdulillah aman” jawab Selfi santai. “Masalah selanjutnya kapan kita mulai pembangunan” Tanya Sarah. “Jawaban itu yang belum kita dapatkan dari Tian” sahut Imron. “Aku takut kita gagal dan buat warga kecewa” tambah Imron khawatir. “Kita gak boleh pesimis dong Ron, langkah kita udah jauh loh” jawab Selfi. “Ini ladang amal buat kita, jadi harus tetap kita perjuangkan” jawab Salma memberi semangat. “Kita hanya perlu mengulur waktu sedikit, jangan terlalu terburu-buru” sahut Robi. “Setuju” jawab Andrian dan Dayat berteriak. “Ini diskusi bukan unjuk rasa” ucap Nurul sambil melemparkan buku pada kedua temannya itu. “Aduh…” teriak Andrian yang kena lemparan itu. “Jangan berantam dong Rul” ucap Salma sambil menjewer telinga sahabatnya itu. “Aduh… sakit Salma” ucap Nurul mengerutkan wajah. “Hahahaha” Andrian dan Dayat tertawa puas, sementara yang lain tersenyum melihat tingkah teman mereka yang konyol. “Awas nanti jodoh” ucap Robi mengingatkan. “Amit-amit” jawab Nurul kesal sambil memukul lantai pelan dengan tangannya beberapa kali. Yang lain tertawa puas melihat tingkahh Nurul.
“Hubungan kamu sama Tian giimana Salma” Tanya Imron, membuat semua mata tertuju pada Salma. “Astaga. Kami gak ada hubungan apapun” jawab Salma malu dan wajahhnyapun mulai merona. “Gak mungkiin” jawab Nurul penasaran. “Tian itu suka sama kamu Salma” ucap Imron. “Jangan mengada-ngada Ron. Nanti jadi fitnah” jawab Nurul. “Kalau kalian memang jodoh, gak mungkin fitnah” ucap Robi. “Udah, akui sajalah” goda Nurul. “Astagfirullah” jawab Salma menepuk jidatnya. Merekapun tersenyum melihat Salma terpojokkan oleh pertanyaan itu. “Kalian jangan memojokkan Salma dengan pertanyaan gitu” ucap Selfi membantu Salma. Salma pun merasa lega akhhirnya ada yang membantunya. “Mungkin belum sekarang” tambah Selfi. “Selfi” ucap Salma mencubit perut Selfi. Semuanya tertawa melihat kejadian itu.
*****
“Tian, kesehatanmu sangat merosot” ucap dokter Ali di ruangan itu. “Apa yang kamu fikirkan” tambah sang dokter. “Gak ada dok” jawab Tian datar. “Kalau gak ada yang kamu fikirkan, ya gak mungkin semerosot ini” jawab sang dokter. Tian hanya bisa diam menanggapi pertanyaan dokter Ali. “Fikirkan nyawamu Tian, fikirkan resikonya” ucap sang dokter mengingatkan. “Mengapa dunia ini tidak adil dok” ucap Tian sendu menatap sang dokter. “Semua itu sudah di takdirkan Tian” jawab sang dokter tenang. “Kita hanya perlu ikhlas menjalaninya, mana tahu ada mukjijat” tambah dokter Ali menyemangati. “Setiap hari saya menghadapi masalah, tapi saya gak pernah putus asa” jawab Tian sangat datar. “Tapi untuk kali ini saya benar-benar takut dok” tambah Tian menatap sang dokter. Dokter Ali menarik nafas panjang untuk menenangkan diri dan mengatur kata-kata yang ingin di keluarkannya.
“Kamu gak perlu takut, asal kamu ikut saran saya” ucap sang dokter. “Tenangkan fikiranmu, rajinlah therapy biar kamu bisa bertahan lebih lama” tambah sang dokter. “Tapi tetap saya akan Kalah kan dok” Tanya Tian sedih. “Udah, kamu tenang saja. Akan saya lakukan yang terbaik” jawab dokter Ali member semangat. “Ini resep obat kamu, untuk mengurangi rasa sakit di kepalamu” tambah sang dokter memberikan resep itu. Tianpun menerima resep obat itu dengan berat hati dan langsung keluar dari ruangan dokter Ali menuju farmasi dan menebus obatnya. Selama menuju farmasi, dia teringat akan Salma yang di kaguminya. Maafkan aku Salma, mungkin jodoh kita jauh. Batin Tian dalam hati. Bimbing hamba Tuhan untuk menghadap-Mu dengan ikhlas. Batinnya kembali sembari terus melangkah.
*****
“Pagi pak Tukluk” ucap pak Abdul memasuki ruangan pak Tukluk di gudang besar perkebunan itu. “Iya. Pagi juga pak Abdul” jawab pak Tukluk. “Ada yang bisa saya bantu” tanyanya. “Begini pak, anu… hhhmm” ucap pak Abdul ragu. “Ada apa pak Abdul” Tanya pak Tukluk. “Bapak harus ikut saya perkebunan sekarang. Ada masalahh pak” jawab pak Abdul. “Bapak jangan cemas, kita ke perkebunan sekarang” ucap pak Tukluk dan langsung keluar ke perkebunan. Sesampainya di kebun yang hanya berjarak sepeluh meter, pak Tukluk masih melihat masih ada mobil yang belum berangkat ke tujuan.
“Pak Agus, ada apa? Kenapa mobil belum berangkat juga” Tanya pak Tukluk menghampiri pak Agus. “Anu.. pak” jawabnya kikuk. “Supir kita gak bisa berangkat pak, beliau lagi sakit. Tadi anaknya datang minta izin” tambah pak Agus menjelaskan. “Yang lain sudah pada berangkatkan, kecuali mobil yang satu ini” Tanya pak Tukluk. “Sudah pak” jawab pak Abdul dan pak Agus bersamaan. “Diantara kalian ada yang bisa nyetir mobil” tanya pak Tukluk kembali. “Saya pak” jawab pak Agus. “Tapi saya tidak punya SIM pak” tambahnya. “Udah, gak apa-apa. Kan surat jalannya ada. Lagian untuk hari ini saja” ucap pak Tukluk. “Baik pak” jawab pak Agus. “Kalau begitu, bapak berangkat sekarang. Pak Abdul tetap bantu saya seperti biasa” perintah pak Tukluk. “Siap pak” jawab mereka bersamaan.
Merekapun langsung berbagi peran masing-masing, sementara pak Tukluk langsung masuk keruangannya untuk memberi tahu Tian kalau semua mobil sudah meluncur ke konsumen.
*****
“Hallo, assalamualaikum” ucap Tian lewat hp nya. “Waalaikumsalam” jawab Salma dari seberang sana. “Kemarin kenapa Tian gak jadi datang" Tanya Salma. “Gak apa-apa. Kemarin ada urusan mendadak, lupa kasih kabar Salma dan yang lainnya” jawab Tian. “Oh…” jawab Salma. “Apakah kamu percaya dengan ta’aruf Salma” Tanya Tian. “Kenapa Tian bicara gitu. Apa Tian ragu dengan ketetapan sang pencipta” jawab Salma sembari bertanya. “Bukan begitu. Aku hanya ingin tahu dari ssudut pandang kaum hawa bukan hanya kaum adam” jelas Tian. “Aku pecaya dengan ta’aruf. Karena itu proses saling mengenal satu sama lain untuk memulai sesuatu yang baru” jawab Salma. “Jadi, apa kamu mau memulai sesuatu yang baru itu” Tanya Tian.
Salma terdiam dengan peertanyaan Tian. Dia tersenyum malu dan wajahnya merona di seberang sana. “Salma” Tanya Tian santun. “Eh, iya” jawab Salma kaget. Maaf, maksud aku kalau sudah waktunya pasti akan memulainya” jawab Salma kikuk. Tian hanya bisa tersenyum mendengar jawaban Salma yang keceplosan. “Udah dulu ya Tian, aku mau jumpai abi” ucap Salma menutup panggilannya. “Iya” jawab Tian.
*****
“Tian” ucap Imron di sela kesibukan Tian di kantornya. “Hmhm” jawab Tian yang tetap fokus pada pekerjaannya. “Apa kamu tidak kefikiran untuk menikah” Tanya Imron. “Aku belum siap hijrah kearah itu” jawab Tian tersenyum pada sahabatnya dan kembali fokus pada pekerjaannya. “Apa kamu mau hijrah kea rah sana sama Sarah” Tanya Tian. “Insya Allah Tian. Aku takut semakin banyak dosa bersamanya. Kalau sudah halal kan gak dosa lagi” jawab Imron. “Amin. Semoga kamu mantap dengan keputusan itu” jawab Tian mendoakan dan memberi semangat. “Kamukan sudah menjadi pengusaha sukses, kenapa belum mau hijrah kearah sana” Tanya Imron. “Apa Salma belum siap” godanya. “Astaga, kenapa jadi bawa-bawa Salma” jawab Tian menatap sahabatnya yang jail. “Aku masih punya cita-cita untuk kota ini dan juga untuk orang tuaku serta sahabatku” ucap Tian menambahi. “Memangnya cita-citamu itu apa Tian” Tanya Imron penasaran.
Tianpun fokus pada pertanyaan sahabatnya itu. Tian menarik nafas panjang dan menebar senyum pada lawan bicaranya. “Aku ingin membuat surga di sudut kota ini. Menyediakan pendidikan, pekerjaan dan pembangunan yang setara dengan di kota tapi tidak merusak citra sudut kota ini” jawab Tian menjelaskan. “Disini sangat ketinggalan Ron, tapi disini tersimpan keindahan. Di sini juga banyak tersimpan mutiara yang kilauannya seakan redup dengan cahaya kota. Banyak di sini calon generasi muda yang pintar tapi tidak mendapat pendidikan yang layak. Semua itu karena biaya dan keterbatasan mereka ke kota” tambah Tian menjelaskan.
Imron hanya bisa mendengarkan penjelasan sahabatnya. Sungguh mulia hati sahabatnya yang begitu perduli dengan orang lain dan tidak memikirkan diri sendiri. “Kalau cita-cita untuk orang tuamu” Tanya Imron kembali. “Aku ingin bisa selalu mengabdi pada orang tuaku. Sejuk di hati dan pandangan keduanya” jawab Tian. “Aku ingin memberangkatkan keduanya haji ke rumah Allah yang jadi impian semua hambanya” tambah Tian. “Aku tidak ingin menyia-nyiakan mereka” tambahnya lagi dan menatap sahabatnya yang antusias mendengarkan.
“Kalau untuk sahabat, aku ingin” ucap Tian terputus dan menarik nafas panjang. “Aku ingin kita seperti dulu. Aku ingin kita sukses bareng-bareng dan bertanggung jawab atas diri sendiri” jelas Tian. Imron langsung memudarkan senyumnya mendengar penjelasan terakhhir Tian. Dia teringat Alfi yang sudah salah faham tentang hidupnya. “Cita-citamu mulia Tian” ucap Imron tersenyum pada sahabatnya.
*****
“Abi” ucap Salma mendekati abinya di ruang tamu dan duduk di sebelahnya. “Hmhhm” jawab abinya yang lagi asyik membolak balik kajiannya. “Apakah menikah itu suatu keharusan” Tanya Salma. Ustad Salman pun menghentikan kegiatannya dan menatap putrinya dengan senyuman. “Semua mahluk Tuhan di ciptakan berpasang-pasangan, termasuk manusia. Maka yang berpasangan itu di haruskan bersatu agar menghasilkan sesuatu yang baru. Menikah itu adalah keharusan agar menyempurnakan iman dan agama, dan itu adalah hijrah yang baik” jelas abinya dengan detail.
“Mungkin dia sudah biasa bertanggung jawab di masa muda dan kesendiriannya. Tapi kalau dia hjrah menyempurnakan imannya atau menikah, maka dia akan lebih bertanggung jawab lagi dan terhindar dari berbagai dosa dan nafsu birahinya” tambah ustad Salman menjelaskan. “Apakah anak abi ini sudah mau hijrah kearah itu” goda abinya pada putri semata wayangnya itu. “Ah… bukan abi. Salma hanya bertanya” jawabnya malu dan tersenyum pada abinya. “Salma ke kamar dulu ya abi” tambah Salma dan langsung berdiri dari tempat duduknya dan langsung melangkah ke kamarnya.
*****
“Baron. Apa kamu suka sama Selfi” Tanya Alfi. Baron kaget dengan pertanyaan itu dari Alfi yang menggunakan kata kamu. “Tumben lu pake kata kamu, udah gerot otak lu” jawab Baron sambil bertanya. “Udah, lu jawab aja. Salah dikit aja protes” jawab Alfi sedikit kesal. “Soalnya gue lihat lu kasih perhatian lebih setelah perubahannya sekarang” ucap Alfi menambahi. Baron yang lagi asyik tidur di kasur Alfi langsung duduk dan menatap Alfi yang lagi duduk di kursi meja belajarnya. “Memang setelah dia pakai hijab sekarang ini terlihat lebih cantik, anggun. Dia semakin istimewah, sementara gue masih gini-gini aja” jawab Baron. “Apa kita memang harus hijrah ya seperti yang di bilang mereka” Tanya Alfi asal. “Gak tahu Fi, gue bingung” jawab Baron sambil melangkah kearah Alfi mengambil cemilan. “Yang gue lihat, mereka yang hijrah berhasil jadi apa yang mereka mau. Walaupun banyak kendala di sana sini” tambah Baron sambil mengunyah cemilan yang ada di meja Alfi.
“Benar juga kata lu. Gue dengar dari papi, Imron mau nikah setelah wisuda nanti. Alasannya hijrah kearah yang lebih baik dan menyempurnakan iman dan agamanya” jawab Alfi. “Imron mau nikah sama siapa Fi” Tanya Baron penasaran. “Sarah, yang di bawanya malam itu waktu ulang tahun gue” jawab Alfi. “Ohhh. Cewek itu namanya Sarah” ucap Baron sambil tetap mengunyah cemilannya. “Menurut lu, hijrah itu wajib ya Ron” Tanya Alfi penasaran. “Gue gak tahu Fi, coba Tanya Tian” usul Baron. “Takutnya dia gak mau lagi bicara sama gue. Imron pasti sudah menceritakan semuanya tentang yang kemaren itu” jawab Alfi mayun mengingat kejadian kemarin itu. “Kalau gitu kita langsung kekantornya saja. Kantor itu dekat rumahnya, sekalian silaturahmi” usul Baron semangat. “Takutnya dia gak terima kita Ron” jawab Alfi khawatir. “Kita coba dulu dong, biar tahu hasilnya” jawab Baron menyemangati. “Ya sudah. Kapan-kapan kita kesana nyarik waktu yang pas” ucap Alfi.
“Benar” jawab Baron. “Soalnya gue denger Tian lagi buat pembangunan pendidikan yang layak di sana” tambah Baron. “Dia memang gak pernah berubah, selalu perduli dengan orang lain” jawab Alfi tersenyum pada Baron. “Bisnisnya pun berkembang pesat. Semua konsumennya puas dengan produk darinya” tambah Baron lagi. “Dia memang pantas berhasil” jawab Alfi. “sepertinya kiita memang harus hijrah” tambah Alfi. “semoga aja kita bisa dan pantas untuk itu” jawab Baron. “Semoga aja Ron” jawab Alfi. “Hmhhm” jawab Baron sekenanya sambil menaikkan bahunya.

Surga di Sudut Kota Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang