1. Alasan Untuk Hidup?

208 60 40
                                    

Baru saja cowok yang mengenakan baju putih oversize miliknya itu, membuka pintu rumahnya, ia langsung mendapatkan tamparan dari Ayah tirinya.

"Apa salah gue, sialan? Gue enggak pernah mencampuri kehidupan lo sama sekali, tapi kenapa lo selalu mengusik kehidupan gue!" seru cowok itu penuh emosi yang menggebu-gebu.

Ya, dia Elgard. Anak ke-2 dari keluarga Harvey, di saat jam-jam santai, ia mengenakan kaos oversize berwarna putih dan celana panjang jeans yang selalu menemaninya.
Namun, apabila ia memiliki urusan di luar rumah, dia selalu mengenakan hem berwarna hitam dan celana panjang berwarna coklat susu.

Elgard menarik napasnya dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, sesekali ia memegangi pipinya yang terasa begitu sakit. Tanpa harus berkaca di cermin, ia sudah tahu jika pipinya pasti memerah.

Namun, kondisi Edgard yang parah tak membuat ayahnya berhenti melakukan kekerasan terhadap Elgard. Ia selalu menyiksa Elgard tanpa alasan. Meskipun terdapat alasan mengapa ayahnya melakukan itu, hal tersebut tetap tidak dibenarkan.

Tak peduli dengan kondisi Elgard, ayahnya segera menarik lengan anaknya untuk menuju gudang. Entah apa yang akan diterima oleh Elgard di sana. Setibanya di sana, ayahnya mengeluarkan secarik kertas dan melemparnya ke hadapan Elgard.

Elgard tahu bahwa itu adalah kertas ulangan miliknya yang mendapatkan nilai merah. Elgard diam terpaku dan ia tahu apa yang akan ayahnya lakukan kepadanya.

"Apa itu? Apakah angka sejelek itu bisa disebut nilai?" Sorot matanya yang tajam seolah-olah mengintimidasi Elgard yang berasa di hadapannya.

Rasa sakit di pipinya belum reda, tetapi Elgard tahu bahwa malam ini akan menjadi malam menyakitkan bagi dirinya. Ayahnya akan mencambuknya sampai bulan tergantikan oleh matahari dan ia tidak akan diberikan makan malam sedikitpun.

Tamparan terakhir mendarat tepat di pipi Elgard. Elgard hanya diam, menerima apapun yang dilakukan oleh ayahnya terhadap dirinya. Pandangan kosong, hanya terfokus pada seorang laki-laki yang berada di hadapannya.

Belum puas jika hanya memberikan tamparan kepada Elgard, sekarang ayahnya mencambuk anaknya dengan penuh emosi. Seolah-olah Elgard hanyalah seorang manusia yang tidak memiliki rasa sakit. Setelah puas, ayahnya pergi meninggalkan anaknya seorang diri di dalam gudang dan menguncinya di dalam sana.

"Berengs*k, luka kemarin aja belum sembuh malah ditambah lagi dan mau sampe kapan gue hidup kayak gini?" Elgard terduduk lemas di sebuah kursi. Menahan rasa sakit seorang diri.

"Andai Bunda enggak memilih untuk menikah lagi, pasti kehidupan kami lebih baik dibandingkan dengan sekarang, gue enggak peduli mau hidup miskin ataupun kaya, kalo enggak harmonis, untuk apa?" Elgard bermonolog.

Pagi hari pun tiba. Elgard tidak mampir ke meja makan untuk sarapan dengan keluarganya, tetapi ia langsung pergi ke sekolah. Sesampainya di sekolah, ia bergegas memarkirkan motornya dan segera menuju ke rooftop.

"Gue enggak tahu harus menghadapi kehidupan ini dengan cara apa lagi. Sejujurnya Tuhan, aku lelah," rintih Elgard yang sedang duduk membelakangi dinding rooftop. Tiba-tiba ia mendapatkan pesan dari kekasihnya, Luna.


Luna

Sayang kamu di mana?
Aku lihat motor kamu udah ada di parkiran, tapi kamu nggak ada di kelas.

Elgard tidak langsung membalas pesan itu. Kemudian ia langsung teringat dengan perkataan orang tuanya Luna.

"Ma, ini pacar aku, Elgard. Rencananya setelah kami lulus Elgard mau melamarku, boleh nggak, Ma?" tanya Luna kepada ibunya.

"Elgard anak di keluarga Harvey?" sahut ibunya.

"Iya, Ma. Apa Mama kenal sama Elgard?" tanya Luna memastikan.

"Sudahi hubungan kalian! Mama nggak suka kamu dekat-dekat sama keluarga mereka!" tolak ibunya.

"Tapi, apa alasannya, Ma?" Luna memohon.

"Dia itu anak dari keluarga yang enggak harmonis, Luna! Apa kamu mau jika anak kamu punya keturunan kayak dia? Dia dari kecil sudah ditinggal oleh ayahnya. Keluarga macam apa itu? Jadi, jangan sesekali kamu menghubunginya lagi dan segera untuk menyudahi hubungan kalian!" pinta ibunya.

Luna pun langsung meninggalkan rumahnya dan pergi menemui Elgard.

"Jadi, gimana? Mama kamu setuju nggak, sayang?" tanya Elgard.

Luna pun menceritakan semua yang dikatakan oleh ibunya, tak lupa ia juga meminta maaf karena perkataan ibunya terhadap Elgard dan keluarganya yang tidak mengenakan hati.

Luna
New message!

Kamu masih marah sama perkataan mamaku semalam, sayang? Aku minta maaf, ya. Tapi, semoga suatu saat keluargaku mau menerima kamu apa adanya.

Elgard membaca notifikasi yang muncul di layar ponselnya, tetapi tidak ada niatan untuk membalasnya. Ia langsung mematikan ponselnya dan memanjat tembok rooftop sekolahnya itu.

"Jujur, gue udah enggak kuat menghadapi semuanya. Lebih baik gue akhiri sekarang. Enggak ada alasan lagi untuk gue tetap ada di dunia ini, semuanya udah terlalu berantakan untuk gue perbaiki." Elgard berniat untuk mengakhiri hidupnya detik itu juga.

Beberapa siswa-siswi yang melihat aksi nekat yang akan dilakukan Elgard segera memperingati laki-laki itu.

"HEI, SIAPA DI SANA? JANGAN BUNUH DIRI. MASIH ADA HARAPAN UNTUK TETAP HIDUP!" Banyak dari mereka yang mencoba untuk menggagalkan aksi Elgard.

Namun, hal tersebut tidak membuat Elgard mengurungkan niatnya untuk tetap mengakhiri hidupnya.

Ia melangkahkan kakinya secara perlahan. "Gue enggak bisa menampung ini semua sendirian, maafkan El, Bunda." Sesaat setelah mengatakan itu, Elgard menjatuhkan dirinya.

***

ELGARD Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang