Setelah memarkir mobil di perkarangan, Juna langsung berlarian ke dalam rumah, detak jantungnya semakin cepat melangkah menuju rumah yang masih gelap gulita.
"Sayang?!"
"Sayang!"
"Renata!"
Juna terus-terusan memanggil nama Renata sambil berlari menuju gudang. Hanya suara langkahnya yang bergema di dalam keheningan, namun Renata tidak ada di sana. Hal itu membuat Juna semakin kelut. Berbagai skenario buruk terus berputar di kapalannya, dan itu membuat Juna semakin frustrasi.
"Renata!" Teriak Juna sekali lagi, mengarahkan flash light ponselnya ke segala sudut gudang, memastikan apakah Renata benar-benar tidak berada di dalam sana. Nyaris Juna memutari gudang yang berdebu itu empat kali sampai akhirnya ia yakin tidak ada Renata di dalam sana, dan keluar dari gudang.
"Mas Juna udah pulang?"
Deg,--
Suara wanita itu berdiri di bawah anak tangga sambil memegangi lampu emergency di tangannya membuat Juna mengambil nafas lega. Juna langsung berlari menuju istrinya, ia genggam bahu Renata erat.
"Kamu nggak apa-apa!?" Tanya Juna meraba tubuh kecil istrinya, memastikan Renata baik-baik saja.
"Aku nggak apa-apa."
Juna langsung memeluk Renata erat melampiaskan ketakutan, frustasi, panik, dan semua kekacauan yang sejak tadi menyerangnya. Sekarang renata berada dalam pelukannya, dan ia baik-baik saja. Juna bisa bernapas lega karenanya.
"Aku tadi di kamar-- Waktu ngambil lampu emergency-nya hp aku jatuh ke tumpukan kardus. Jatuhnya ke sudut rak, aku udah usaha buat ngambil tapi susah. Aku juga capek. Jadi aku langsung buru-buru ke kamar aja. Mas Juna yang nyuruh tadi buat cepat-cepat ke kamar."
Juna mengangguk kepala, ia bersyukur semua baik-baik saja.
"Iya, nanti saya cariin hp kamu ya. Sekarang yang paling penting kamu baik-baik aja. Saya panik banget dengar suara kamu tiba-tiba hilang tadi."
"Iya. Maafin aku udah bikin Mas Juna khawatir."
Juna tersenyum lalu mengecup kening istrinya. "Kamu nggak usah minta maaf, kamu nggak salah. Saya yang harusnya minta maaf karena nggak tahu kamu sendirian di rumah. Kalau terjadi apa-apa tadi saya nggak tahu lagi harus gimana. Saya takut banget kamu kenapa-napa."
Renata tersenyum "Iya aku tau, maafin aku udah bikin Mas juna khawatir"
"Kamu benaran nggak apa-apa kan? Dedek gimana? Nggak apa-apa kan?" Tanya juna bertubi-tubi, lalu mengusap perut besar renata lembut, mengecupnya berkali. Renata hanya tersenyum sambil mengusap rambut juna.
Mereka kemudian berjalan menaiki tangga, dengan Juna yang senantiasa menjadi tumpuan untuk istrinya. Hati-hati, hampir Juna mengucapkan kata itu di setiap Renata menaiki anak tangga. Sampai di dalam kamar, dengan penerangan lampu emergency seadanya, Renata duduk di ranjang, sementara Juna berencana mengganti pakaiannya. Namun ia tiba-tiba berhenti saat melihat dua koper besar di dekat meja rias.
"Itu bukan koper penerbangan saya buat lusa kan? Kok gede banget yang, kamu isiin apa?" tanya Juna, sementara Renata hanya diam saja, belum bersuara.
Dia sudah memikirkan hal ini dari tadi sore, setelah mendengarkan saran dari kakak dan sahabatnya tentang obrolannya dengan Aliya di rumah sakit.
Renata rasanya tidak sanggup lagi berada di lingkungan Juna dan semua hal toxic yang dilakukan mamanya. Juna baik. Baik sekali. Setelah kesalahannya yang Renata maafkan, ia benar-benar berubah menunjukkan sikap suami siaga setiap waktu. Renata tentu saja senang dengan hal itu, dia selalu menginginkan mereka kembali seperti dulu. Juna benar-benar mengabulkannya bahkan perhatiannya lebih dari awal-awal pernikahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh.
Fanfiction"Ren, boleh saya bertanya? apa yang membuat kamu nggak bisa ngeliat perjuangan saya? Apa karna saya terlalu buruk untuk dicintai atau karna dia terlalu indah untuk dilupain?" Ungkap Juna, pada istrinya. Renata menundukkan kepalanya menyembunyikan ai...