Ocho

25 12 0
                                    

DIMOHON UNTUK TIDAK MENJADI SILENT READER!
TINGGALKAN JEJAK KALIAN ⏬⏩
.
.
.
"Luka dan senja di Barcelona"

~'~°°••°°~'~

Apa yang harus aku katakan? Haruskah aku menjawab 'ya' dan berbicara dengannya? Lalu bagaimana dengan Deva? Aku mengajaknya lebih dulu untuk melihat senja di Barcelona.

Ya Tuhan! Aku tidak mungkin membiarkan Deva menungguku di sana. Aku jahat jika membatalkan janji ini. Tapi ... berbicara dengan pak Alwar juga sangat penting. Aku ingin tahu apa yang ingin dikatakannya setelah ungkapan semalam mengenai perasaanku. Ya, aku penasaran.

"Kenapa diam?" tanya pak Alwar, masih menunggu persetujuanku yang sedari tadi masih terdiam.

"Hm.. ya." Kendati sedikit ragu, namun pada akhirnya aku setuju.

Deva ... aku akan berbicara dengannya dan meminta maaf. Aku mungkin salah, tapi aku harap Deva memakluminya.

"Kau tunggu saja sampai aku keluar," pintanya, lalu aku mengangguk dan dia segera masuk kembali ke ruangannya.

Aku sudah merelakan waktuku bersama Deva hanya untuknya. Untuk berbicara dengannya. Aku rela tidak melihat senja di Barcelona sore ini hanya ingin tahu jawaban apa yang akan dia katakan. Aku harap tidak menyakitkan. Itu saja.

Sudah setengah jam ini aku duduk di halaman depan menunggunya. Namun si bapak manager menyebalkan itu belum juga terlihat batang hidungnya. Aku tahu dia sibuk, tapi setidaknya pikirkan waktuku. Dia bilang waktu sangat berharga. Nyatanya dia juga tidak bisa menghargai waktu orang lain.

Ya, untung saja aku masih bodoh karena mencintainya, jika tidak, sudah dari detik pertama aku hengkang dari tempat ini.

"Ayo!" Tiba-tiba dia muncul dari dalam dan berjalan melewatiku. Aku segera bangkit dan mengikutinya menuju parkiran mobil. Tidak menunggu dibukakan pintu karena itu mustahil, aku langsung masuk membuka pintunya secara mandiri.

Aku tidak tahu ke mana mobil akan membawaku. Aku hanya mengikuti perintahnya untuk tidak langsung pulang. Mengenai pergi ke mananya aku bahkan tidak menanyakan hal itu.

Sampai detik ini aku masih tak membuka suara bahkan untuk sekedar menoleh pun tidak. Ya, aku merasa canggung sekarang. Mungkin karena aku telah mengetahui bahwa dia sadar akan perasaanku, namun dia mengabaikannya.

Malu. Tapi lebih ke arah sakit sepertinya.

"Kita mau ke mana?" tanyaku, menyerah untuk tetap diam. Menunggunya berbicara duluan, sama halnya dengan Barcelona tunduk di hadapan Madrid. Mustahil!

"Mencari tempat yang nyaman untuk kita berbicara," jawabnya, lalu memarkirkan mobil memasuki sebuah kafe yang terlihat lebih ke tempat tongkrongan. Ya, kafe memang tempat nongkrong, tapi ini lebih terlihat santai karena terbuka.

Pakaianku sangat sederhana, namun masih tertutup pastinya. Aku berjalan mengikutinya memasuki kafe. Di bagian pojok dengan pemandangan terbuka kami duduk. Pak Alwar langsung memesan dua minuman untuk menemani obrolan kami.

"Aku ingin berbicara denganmu mengenai ungkapanmu kemarin," ujarnya, memecah keheningan dan memulai percakapan.

Aku yang tengah menikmati segelas horchata seketika menghentikan aktivitasku. Aku menatapnya, jantungku berdegup sangat kencang. Rasa takut kalah dengan rasa penasaran. Aku takut jawabannya menyakitkan, tapi aku benar-benar penasaran.

Senja di Barcelona Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang