SEPERTI BIASA
DIMOHON UNTUK TIDAK MENJADI SILENT READER!SO, TINGGALKAN JEJAK KALIAN ⏩⏬
.
.
.
"Perhatiannya yang menimbulkan pertanyaan"^'°-°'^
Aku tidak mengerti kenapa pak Alwar memberiku gambar-gambar design menu makanan. Padahal restoran sudah cukup ramai pengunjung dengan design yang sudah dipasang.
Ya, dia memintaku turun ke bawah hanya untuk mengambil ini. Aku pikir dia yang akan datang dan membawakan makanan seperti pada novel-novel yang kubaca. Nyatanya malah membawakan gambar-gambar yang tanpa penjelasan ini. Diantar orang lain pula.
Memang, si Bapak yang satu ini tampak selalu sibuk.
Gambar-gambar itu kubiarkan begitu saja di atas kasur. Aku membaringkan tubuhku lagi, rasanya masih cukup lemas dan tubuhku pun sedikit panas.
Kupejamkan mata, namun sepertinya perutku menolak. Sudah jam 09:00 malam, dan aku belum mencari makan malam. Sungguh! Jika aku tidak keluar dan mencarinya, maka aku tidak akan tahu keadaanku besok.
Tapi tubuhku lemas. Apa yang harus kulakukan? Paksakan atau tahan?
Ah! Mireya! Kau harus menjawab teleponku kali ini. Namun ... sial! Ya, lagi-lagi sesuatu harus menghalangiku. Ada yang mengetuk pintu. Terpaksa kuletakkan handphone-ku kembali, lalu melangkah membukakan pintu.
"Mireya!" Aku terkejut tak menyangka. Gadis ini memang menyebalkan. Ditelepon tidak dijawab, tiba-tiba di depan pintu. Oh Tuhan!
"Kau sakit?" tanya Mireya, seraya masuk ke kamarku bahkan sebelum aku mengizinkannya.
Lho! Lho! Dari mana dia tahu? Menjawab teleponku saja tidak.
"Sorry, aku tidak menjawab teleponmu. Tadi aku di rumah Gio," jelasnya, menaruh paper bag yang dibawanya di atas meja. Kemudian menarik kursi lalu duduk.
"Aku hanya sedikit demam," kataku, duduk bersandar di sofa minimalis.
"Bukankah tadi siang kau baik-baik saja?"
"Baru saja. Aku bangun tidur, tiba-tiba kepalaku sakit, tubuhku juga lemas. Mungkin karena hujan tadi," jelasku.
"Perlu ke rumah sakit sekarang?" tanyanya, selalu perhatian memang. Salah satu hal yang kusukai dari Mireya, perhatiannya terhadap orang-orang terdekat. Dia juga orang yang peduli, itu sebabnya dia dikenal sebagai gadis yang keras karena keberaniannya ketika menolong orang-orang.
Dan, ya ... aku bersyukur bertemu dengannya.
"Tidak perlu. Hanya demam biasa, besok juga membaik," tolakku, masih merasa aman.
Perhatian seperti ini aku berharapnya datang dari pak Alwar. Eh, emang boleh berharap? Tidak! Itu hanya leluconku saja, atau memang pikiranku yang menginginkan hal itu.
"By the way, dari mana kau tahu kalau aku sakit?" tanyaku, baru sempat heran.
"Pak Alwar," jawabnya, tanpa berpikir lama.
Aku bangkit dari sandaran. Tentunya terkejut dan cukup bingung. Bagaimana si bapak manager itu tahu?
"Dari mana dia tahu?" Aku bertanya heran.

KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Barcelona
RomansaLayaknya seorang pengembara yang berjalan mengelilingi dunia. Namun bukan untuk mencari kehidupan, melainkan mencari sebuah penawar untuk lukanya yang hampir lebam. Dari titik terendah hingga titik tertinggi, namun langkahnya belum juga menemukan ti...