Trece

11 4 0
                                    

"Hubungan seperti apa yang sedang aku jalankan?"

(⁠。⁠☬⁠0⁠☬⁠。⁠)

Sampai detik ini aku masih membayangkan kejadian satu Minggu yang lalu. Setiap kali aku memasuki kamarku, aku seperti melihatnya sedang duduk di sana, di atas tempat tidurku. Dia tersenyum, tangannya merapikan rambut di pelipisku, dan matanya menatap sendu.

Aku benar-benar tidak bisa menghilangkan bayangan itu dari benakku. Dia seakan tersenyum di setiap tarikan napas. Aku bisa gila jika setiap hari harus mengingatnya. Ya Tuhan!

"Aku memang tidak memberikan perasaanku padamu, tapi aku juga tidak memberikannya pada orang lain. Aku menghargai perasaanmu."

Apa maksud yang dia katakan? Kenapa pula harus memberitahuku? Aku rasa itu tidak begitu penting untuk kudengar. Aku tidak peduli dengan siapa pun dia akan bersama. Kenyataannya aku tidak mungkin bisa memilikinya, apalagi sampai bersama. Mungkin kata 'mengagumi' sudah cukup untuk mendefinisikan.

Aku menyadarkan diriku dari lamunan yang setiap hari kulakukan. Banyak pelanggan yang sudah menunggu pesanannya. Aku buru-buru bangkit, segera mengambil alih tugasku.

Bekerja di shift pagi memang tidak seburuk bekerja di shift malam. Apalagi untuk restoran yang memang lebih ramai dikunjungi pada sore hari hingga malam. Itu cukup menyebalkan.

Shift malam sudah kulewati Minggu kemarin. Hari ini aku kembali ke shift pagi. Setelah mengunjungi apartemenku Senin lalu, aku hanya bertemu tiga kali dengannya di Sinco Resto. Itu pun hanya berpapasan. Dia terlalu sibuk karena harus mengurus dua restoran sekaligus. Dua bulan terakhir setelah peresmian Restoran di Pagatha, dia lebih sibuk di sana. Seperti Minggu kemarin. Untuk Minggu sekarang... aku tidak tahu dan tidak ingin mengetahuinya.

"Excuse me!" Aku mendengar suaranya, namun tak tahu dia bicara pada siapa. Langkah kaki tetap kulanjutkan. Aku merasa risih pada dua pelangganku kali ini. Mereka menatapku seakan aku adalah seorang putri yang baru keluar dari kerajaan.

"Nona!" Suara yang sama aku dengar. Kali ini lebih keras menusuk telinga. Aku menghentikan langkah, menoleh pada mereka. Aku memasang senyuman di bibirku, menghampirinya.

"Ada yang bisa aku bantu?"

Cukup gila. Pria sekitar tiga puluh tahun itu tersenyum menatapku. Senyumku perlahan kutarik. Jika bukan seorang waiters, tidak sudi aku memberikan senyuman manisku pada lelaki aneh seperti mereka.

Aku menarik napas. Bertanya lagi.

"Permisi! Ada yang bisa aku bantu?"

"Oh, yaa, tentu. Aku butuh satu horchata lagi. Temanku di perjalanan." Dia akhirnya membuka suara. Satu teman di sampingnya hanya mengangguk. Aku tidak mengerti apa yang sedang mereka pikirkan dengan melihatku.

Aku bergegas kembali ke dapur. Pesanan segera disiapkan. Sambil menunggu horchata siap, aku mengambil pesanan lain yang sudah siap diantarkan. Sesekali mataku melirik pada mereka yang sepertinya masih memperhatikanku. Aku kembali ke dapur, mengambil pesanan yang sudah siap.

"Thank you," ucap si bapak menyebalkan itu. Bahkan lebih menyebalkan dari si bapak manager.

"Sama-sama." Aku memberikan senyuman, segera beranjak.

Senja di Barcelona Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang