DIMOHON UNTUK TIDAK MENJADI SILENT READER
TINGGALKAN JEJAK KALIAN ⏬⏩
.
.
.
"Jelaskan padaku, kenapa aku harus menghormati Ibuku?"~ו•°••°••×~
Aku merasa bahwa Deva tidak menyukai pak Alwar. Aku melihat bagaimana ekspresinya kala aku memberitahunya tentang orang yang meneleponku. Meskipun saat itu aku mengabaikan telepon darinya, dan memilih ajakan Deva untuk bermain hujan, tapi tetap saja pikiranku mengatakan bahwa dia tidak menyukainya.
Entah apa alasannya, yang pasti Deva selalu menunjukkan ekspresi tidak senang jika aku membicarakan tentang pak Alwar padanya.
"Jangan khawatir! Hujan tidak akan menyakitimu. Ayo!" Deva menarik tanganku dan kembali berlari ke pesisir pantai. Aku sempat ragu dan takut, namun dia meyakinkanku.
"Heera, aku telah menemukan kedamaian. Entah darimu atau dari hujan," ucap Deva, mengangkat kedua tangannya menikmati rintikan hujan.
Aku melangkah dan berdiri di sampingnya. Aku mulai membebaskan diriku untuk tidak menghindari hujan yang terus mengguyur. "Jika aku sakit, maka aku akan membenci hujan selamanya," ucapku, merasakan rintikan hujan yang menjatuhi telapak tanganku.
Deva menurunkan tangannya, lalu menoleh padaku. "Jika kau membenci hujan, itu artinya kau membenciku," ucapnya sedikit lirih menusuk telingaku.
Kali ini aku yang menoleh, menatapnya, namun tak mengatakan apa-apa.
"Sama halnya ketika aku berbicara tentang senja," ucapnya lagi.
Saat menikmati senja di Barcelona dua hari yang lalu. Aku juga menikmati rintikan hujan yang disertai dengan kata-kata manisnya. Entah, sampai saat ini aku masih tidak mengerti apa maksudnya.
Aku menemukan satu kehebatan. Sederas itu hujan mengguyur tubuhku, namun aku tak merasakan apa-apa selain memikirkan perkataan Deva.
Aku tidak merasakan sakit atau bahkan sedikit demam setelah itu. Aku merasa bahwa Tuhan tidak menginginkan aku untuk membenci hujan, karena sama halnya aku membenci Deva. Ya, aku rasa begitu.
"Kenapa bengong?" Pak Alwar menegurku yang tengah melamun di taman restoran.
Hari ini aku sudah mulai bekerja di restoran barunya. Tidak ada Mireya ataupun Damitha di sini. Hanya aku dan pak Alwar, juga karyawan baru yang lain.
"Ehmm ... tidak apa-apa." Aku menggeleng pelan dengan sedikit senyuman.
"Kau masih tidak ingin di restoran ini?" tanyanya, memang benar.
Seperti yang pernah kubilang, aku tidak ingin di restoran baru. Aku ingin menetap di restoran lama dengan Mireya. Namun pak Alwar tetap memaksa dengan berbagai alasan.
"Tidak mengapa. Aku menyukainya," kataku, karena untuk saat ini aku tidak mempermasalahkan itu.
"Hm. Bagaimana dengan artikelnya? Sudah selesai?"
Sial! Aku lupa membuat artikel. Demi Tuhan! Aku tidak sengaja melupakannya, apalagi dengan alasan karena aku ingin menjauh darinya. Ya, setelah kalimat penolakan itu dilontarkan, aku merasa harus mulai sadar. Menjauh tentunya lebih baik.

KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Barcelona
RomanceLayaknya seorang pengembara yang berjalan mengelilingi dunia. Namun bukan untuk mencari kehidupan, melainkan mencari sebuah penawar untuk lukanya yang hampir lebam. Dari titik terendah hingga titik tertinggi, namun langkahnya belum juga menemukan ti...