Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ
Setelah penolakan beberapa hari lalu, pak Alwar tak lagi menghubungiku. Hanya makanan sehat dan beberapa obat yang dia titipkan pada Mireya.
Tempo hari Deva menawariku pekerjaan. Kemarin dia sudah membawa CV milikku untuk dimasukkan ke perusahaan. Aku belum tahu diposisikan sebagai apa, yang penting untuk saat ini aku mendapat pekerjaan. Aku harus membayar uang yang diberikan pak Alwar untuk Ammi Minggu lalu. Bagaimanapun uang itu lumayan besar jumlahnya dan pak Alwar memberinya tanpa alasan.
Hari ini rencananya Deva akan mengantarku ke perusahaan itu. Semalam dia mengabariku bahwa pemilik perusahaan ingin mengadakan pertemuan sekaligus interview. Ini sangat bagus. Aku cepat mendapat panggilan, padahal baru kemarin saja CV dimasukkan. Semua berkat Deva. Entah apa yang dia katakan sehingga bisa secepat ini aku mendapat panggilan.
Pagi ini jam setengah tujuh aku sudah siap-siap. Perusahaan memintaku untuk datang sebelum jam delapan. Interview akan dilakukan jam delapan, jadi aku harus tiba lebih awal. Jangan sampai kebiasaanku terlambat di restoran kebawa ke pekerjaan sekarang. Atasanku sekarang bukan lagi pak Alwar, bukan hal yang tidak mungkin jika kali ini aku akan mendapat bentakan yang lebih keras dari marahnya pak Alwar.
Jarak dari apartemenku ke perusahaan lumayan jauh, itu sebabnya Deva mengajakku berangkat pagi-pagi. Kemarin Mireya juga meminta maaf karena tidak bisa membantu mencari pekerjaan baru. Orang baik terkadang terlihat aneh. Mereka merasa bersalah ketika tidak bisa membantu. Itu sangat konyol. Tapi aku bersyukur.
"Apa pakaianku sudah rapi?" Aku berdiri tegap di hadapan Deva, memintanya untuk menilai penampilanku.
"Perfect!" Satu kata yang keluar dari mulut Deva setelah mengamatiku. Aku mendengus. Aku tahu dia tidak memiliki kalimat lain untuk memujiku selain itu.
"Ini pertemuan penting, Deva. Kau harus menilai penampilanku dengan jujur, jangan sampai aku ditertawakan orang-orang nanti."
"Siapa yang akan mentertawakanmu, Heera? Justru mereka akan mengatakan hal yang sama sepertiku. Pakaian tidak akan mengubah kecantikanmu, tapi kecantikanmu yang akan mengubah pakaianmu. Jadi, kau tidak perlu khawatir! Pakaian apa pun tetap akan terlihat menarik di tubuhmu." Lagi, dia memujiku.
"Kau jangan coba-coba merayuku," aku mendesis. Malas sekali mendengar omongannya yang selalu memuji.
"Aku rasa kau akan terlihat lebih cantik dan menarik jika mengenakan hijab," ucap Deva, kami berjalan sejajar melewati gang apartemen.
Deva tidak membawa sepedanya karena ini pertemuan penting. Sedikit terlambat aku akan kehilangan harapan untuk bekerja. Oleh karena itu Deva menyarankan untuk menaiki bus saja agar kami tidak banyak bercanda di perjalanan.
Ucapan Deva barusan tidak kutanggapi. Akhir-akhir ini aku sering mendengar kalimat itu dari mulutnya. Aku sudah berkali-kali bilang padanya bahwa aku belum siap untuk mengenakan hijab.
"Kenapa kau tidak pernah menanggapi ucapanku tentang itu?" Dia bersuara lagi di tengah suara hentakan kaki para pejalan.
"Karena jawabanku masih sama. Aku pikir kau hanya perlu mengingatnya tanpa harus kukatakan lagi," sahutku, masih berjalan di trotoar.
"Jangan tersinggung. Itu hanya harapanku saja, dan aku sangat senang jika itu terwujud. Bukankah begitu?"
"Kalau begitu aku juga ingin melihatmu beribadah di masjid. Apa kau bisa melakukannya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Barcelona
RomanceLayaknya seorang pengembara yang berjalan mengelilingi dunia. Namun bukan untuk mencari kehidupan, melainkan mencari sebuah penawar untuk lukanya yang hampir lebam. Dari titik terendah hingga titik tertinggi, namun langkahnya belum juga menemukan ti...