Quince

7 2 0
                                    

HAPPY READING!
.
.
.
"Aku memecatmu dari pekerjaan ini!"

Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ〜⁠(⁠꒪⁠꒳⁠꒪⁠)⁠〜Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ

Kemarin malam Ammi menelpon, memberitahu kalau adikku akan melaksanakan ujian. Butuh uang dua lakh Rupee (±38.000.000.00). Tabunganku baru saja kubelikan kebutuhan apartemen. Gajiku juga belum setinggi karyawan yang sudah bekerja tahunan. Lagipula, setiap bulan aku selalu mengirim uangku untuk kebutuhan mereka di Pakistan.

Aku tidak tahu harus apa sekarang. Kepalaku rasanya hampir pecah sejak malam, tepatnya sejak mendapat kabar dari Ammi. Tabungan tersisa setengahnya dari yang Ammi minta, itu pun untuk kebutuhanku selama dua Minggu ke depan.  Rasanya tidak mungkin jika aku harus meminjam uang pada Mireya. Bulan depan rencana dia mau menikah, pasti butuh banyak dana untuk pesta.

Entah. Aku mencoba melupakan masalah itu untuk hari ini. Tugasku masih di Pagatha Resto, belum pindah ke Sinco Resto. Restoran sedang ramai-ramainya dikunjungi, aku pasti sibuk melayani.

Hari ini aku sudah punya janji dengan Deva untuk berangkat bersama naik sepeda. Dia lagi senang naik sepeda, mengajakku untuk berangkat bersama. Aku tidak menolaknya, malah aku sangat senang dengan ajakannya. Kemarin aku masih kesal pada pak Alwar, jadi aku berniat untuk tidak berangkat bersamanya hari ini.

Deva sudah menungguku di depan. Aku melangkah terburu-buru dari dalam kamar, tidak enak selalu membuatnya menunggu.

"Selamat pagi, Nona Heera!" Dia menyapaku, itu terdengar cukup geli. Sepertinya dia sedang mencoba menggodaku. Tapi aku tersenyum, setidaknya dapat menghilangkan rasa pusingku.

"Selamat pagi, Tuan Deva," balasku.

"Silakan naik, Nona. Berpegangan yang kuat karena sepeda akan melaju sangat cepat," ucapnya, membuatku tertawa. Ada saja kelakuannya. Aku berpegangan pada jaket Hoodie yang dia kenakan, lalu sepeda langsung melaju.

Di perempatan saat sepeda Deva keluar dari gang apartemen kami, aku melihat mobil pak Alwar masuk. Aku rasa dia berniat untuk menjemputku. Entah dia melihatku atau tidak, aku tak menghiraukan. Aku menikmati perjalanan naik sepeda bersama Deva. Jika kemarin aku melihat indahnya langit Barcelona di sore hari, maka hari ini aku melihat indahnya langit di pagi hari. Matahari mulai memancarkan sinarnya, membuat langit membentang cerah dihiasi awan.

"Kenapa kau selalu berpindah-pindah tempat kerja?" Deva bersuara di depan, bertanya.

Aku menyahut, "Tidak berpindah. Hanya bertukar tempat dengan karyawan lain. Aku sudah menceritakannya padamu kalau pak Alwar punya cabang baru. Dan sekarang aku ditempatkan di restoran baru itu. Sebenarnya aku tidak suka karena letaknya lumayan jauh, tapi aku tidak bisa menolaknya."

"Apa temanmu ikut ke sana?"

"Mireya, maksudmu?"

"Ya. Apa dia juga berpindah tempat sama sepertimu?"

"Tidak. Dia ditugaskan untuk memantau Sinco Resto. Hanya waiters yang selalu dipindah-pindah."

"Apa manager-mu itu sangat sibuk?" Deva bertanya lagi. Aku sontak tertawa. Pertanyaan dia cukup aneh. Lantas aku menjawab, "Tentu saja. Manager mana yang tidak sibuk mengurus pekerjaan? Kau sangat konyol, Deva."

"Baguslah. Itu artinya kau tidak bisa mencari perhatian padanya. Kau bilang, kau sangat senang jika menikah dengannya, bukan?"

"Ya, tentu. Lalu kenapa kau tidak menyukainya? Apa kau juga ingin menikah denganku?" Aku bergurau, berhasil membuatnya tertawa.

Senja di Barcelona Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang