catorce

10 4 0
                                        

"Sikap aneh Deva"

✧⁠\⁠(⁠>⁠o⁠<⁠)⁠ノ⁠✧…⁠ᘛ⁠⁐̤⁠ᕐ⁠ᐷ

Minggu lalu Deva sudah mengatur jadwal pertemuan. Hari ini adalah pertemuan itu. Aku belum tahu ke mana dia akan mengajakku kali ini. Seingat aku dia ingin bertanya mengenai buku tentang Islam yang dibacanya.

Deva memang anak buku banget. Dia tahu tempat-tempat yang menenangkan untuk baca buku, apa pun itu isi bukunya. Kalau orang bilang, itu aesthetic. Tapi itu benar. Deva memang sangat menggambarkan lelaki aesthetic.

Penampilan dia sederhana. Hanya menggunakan celana panjang dan Hoodie, dengan rambut yang sedikit berantakan di bagian depan. Tidak lupa dengan tas ransel yang selalu melekat di pundaknya. Mungkin itu yang menjadi ciri khas Deva sebagain anak introvert.

Duduk di kursi bus, aku teringat pertama kali dia mengajakku naik bus. Ini momen yang tidak bisa aku lupakan. Aku terlambat masuk kerja, hujan deras, kena marah pak Alwar. Benar-benar lengkap. Tapi satu yang menjadikan momen itu indah dan sulit dilupakan, lelaki pencinta hujan yang kini duduk di sampingku.

Deva bilang, "Hujan tidak akan memberimu sakit, itu hanya akan memberimu kenangan." Aku rasa apa yang dia katakan benar. Setiap kali hujan turun, aku selalu mengingat momen itu. Hidupku memang benar-benar sial hari itu. Meski begitu, itu adalah momen indah pertama yang aku alami selama di Barcelona.

"Kau sudah selesai membaca semua bukunya?" Aku bertanya, memecah keheningan dalam bus.

"Ini bukan novel yang bisa kuselesaikan dalam hitungan jam. Bukan aku tidak mampu, tapi aku perlu memahami maksud dari isi bukunya. Aku sedang mempelajarinya. Kau tahu itu," Deva menjawab.

Jawaban yang benar. Buku ilmu pengetahuan memang harus dipahami, tidak hanya sekedar dibaca. Ya, apalagi Deva yang sedang mencari kebenaran Tuhan dalam hidupnya.

Aku mengangguk. "Sejauh ini, bagaimana pendapatmu tentang Islam?" Aku bertanya lagi.

Selama perjalanan dalam bus kami bercakap mengenai Islam dalam pandangan Deva. Tidak hanya itu, Deva juga banyak menemukan perbedaan mengenai Tuhan dalam berbagai agama ia ketahui. Perjalanan yang tidak begitu jauh itu, menjadikan percakapan menjadi singkat.

Aku dan Deva turun di halte bus. Dari halte aku berjalan mengikuti langkah kakinya yang jenjang itu. Sesekali aku mencuri pandang. Rupanya dia lebih tinggi dariku, padahal usiaku satu tahun lebih tua darinya. Laki-laki memang selalu di atas perempuan. Tingginya.

Kaki ini terus melangkah mengikutinya, hingga sorotan mata mendapati sebuah taman. Di sebuah bangku Deva duduk, aku pun sama.

Aku lihat dia mulai membuka bukunya. Kubiarkan dia fokus, aku memilih menikmati alam di taman. Cuaca di sore hari cukup sejuk, padahal matahari sedang menyorot hendak berpamitan.

"Ini yang aku maksud." Deva menunjukkan sebuah kalimat dalam bukunya. Kalimat tersebut menuliskan bahwa perempuan adalah aurat. Sama seperti yang Minggu lalu Deva katakan padaku. Aku rasa dia penasaran maksudnya.

"Kau harus menjelaskannya padaku," dia memintaku. Aku hanya tersenyum. Dia pikir aku adalah seorang guru agama yang bisa dia tanya kapan saja. Ini benar-benar lucu, tapi tidak mengapa.

"Aku bukan seorang guru, Deva. Aku tidak memiliki banyak ilmu untuk menjelaskannya padamu." Aku masih berusaha menolak.

"Yang kau tahu saja. Apa kau tahu kenapa perempuan disebut aurat? Apakah aurat sesuatu yang menyenangkan?"

Senja di Barcelona Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang