Dieciséis

7 2 0
                                    

Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ

Untung saja semalam Deva menjengukku yang sebelumnya aku tolak karena merasa baik-baik saja. Deva pulang ke apartemennya pada jam sebelas malam ketika badanku mulai terasa panas. Aku berkata padanya bahwa aku ingin istirahat, namun dia sadar bahwa tubuhku mulai lemah.

Deva sempat menyarankan untuk membawaku ke rumah sakit, mungkin takut terjadi sesuatu padaku. Tapi aku menolaknya dengan alasan hanya butuh istirahat. Malam itu juga Deva langsung pulang setelah tiga jam lebih kamu bercakap-cakap sambil menikmati makanan yang Deva bawakan.

Benar saja apa yang Deva katakan. Tengah malam sekali suhu tubuhku semakin naik. Sebenarnya ini hanya hal biasa ketika seseorang akan mengalami flu. Namun tetap saja ini mengganggu jam tidurku.

Handphone yang sempat aku matikan ketika pak Alwar terus meneleponku, kini aku aktifkan kembali. Aku menelpon Mireya, mengabarinya bahwa aku butuh pengecekan dokter. Sahabatku Mireya, dia langsung datang menemuiku, mengantarkan aku ke rumah sakit yang sama yang dulu pak Alwar membawaku ke sana.

"Sudah kubilang, kau pasti sakit jika air hujan membasahi tubuhmu. Lain kali kau tidak perlu mencoba untuk berteman dengan hujan, kau tidak akan bisa." Mireya mengomel, duduk di sampingku yang terduduk lemas.

Aku tak menanggapinya. Biarkan saja dia mengomel, itu sudah biasa. Karena hanya demam dan flu, aku langsung keluar dari ruangan setelah dokter mengeceknya. Sekarang aku dan Mireya sedang duduk menunggu obat yang sedang diracik dokter.

"Setelah ini kau harus istirahat. Kalau butuh apa-apa kau hubungi aku. Satu lagi. Jangan pikirkan mengenai ucapan Pak Alwar, dia pasti akan menghubungimu lagi. Aku pasti berbicara dengannya, kau tenang saja." Mireya menggandengku untuk masuk apartemen. Melihat tubuhku yang masih lemah ini, aku yakin dia tidak akan membiarkanku sendirian masuk ke dalam.

"Terima kasih, Mireya. Besok juga aku pasti sembuh. Aku akan mencari pekerjaan lain, tidak ingin mengharapkan apa pun lagi darinya," aku menyahut.

"Heera!"

Aku dan Mireya sontak menoleh. Deva memanggilku. Dia berjalan dari luar sana memasuki apartemenku.

"Kau dari mana? Apa kau sakit?" Deva bertanya, lalu aku menggeleng saja.

"Heera demam. Suhu tubuhnya sangat tinggi tadi pagi. Sekarang sudah turun, dokter sudah memeriksanya." Mireya memberitahunya.

"Terima kasih. Boleh aku mengantarnya ke dalam?" Deva menawarkan diri. Mireya menatapku, kemudian aku memberinya senyuman tipis.

Mireya mengangguk. "Tentu saja. Terima kasih. Aku sudah terlambat masuk kerja. Aku pamit!" Mireya langsung beranjak kembali pada mobilnya di luar sana.

"Hati-hati, Mireya! Terima kasih." Aku menatap punggungnya yang semakin jauh dari pandangan.

"Ayo aku bantu." Deva menggantikan posisi Mireya yang tadi menggandengku. Kini Deva yang membantu untuk sampai di kamarku.

Tubuhku benar-benar lemas sekali. Otot-otot dalam tubuh seakan tak berfungsi. Aku berjalan menyusuri anak tangga dibantu oleh Deva. Apartemenku tampak sangat berantakan, aku belum sempat membereskannya tadi pagi. Meja makan bekas kami makan semalam masih terlihat kotor. Namun aku tak peduli itu untuk saat ini, aku yakin Deva pasti paham kenapa kamarku sangat berantakan.

Senja di Barcelona Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang