027

4.6K 327 9
                                    

Arson berjalan masuk ke dalam markas Sinister. Tatapannya terlihat tidak fokus, dia bahkan mengabaikan banyak sapaan dari teman yang dilewatinya. Dia melempar tubuhnya untuk duduk di sofa yang ada di ruang tengah. Masih dengan tatapan kosong karena pikirannya sedang malayang jauh memikirkan tingkah Devon tadi siang.

Sudah hampir delapan jam terlewati sejak Arson yang melihat Devon menangis histeris dalam pelukannya di UKS, tapi semua itu masih membuat Arson kepikiran karena baik Noval maupun Yasa tidak ada yang mau memberitahunya apa penyebab Devon bisa sampai bertingkah begitu.

"Ck!" Arson berdecak kesal. Kepalanya terasa penuh oleh satu nama. Devon seperti terus berputar dalam otaknya, sampai membuat dia pening.

Arson merebahkan tubuhnya bersandar pada sandaran sofa, menutupi matanya dengan lengan, berusaha menenangkan pikirannya yang berputar riuh.

Bagaimana caranya bisa tau kondisi Devon? Arson begitu khawatir oleh keadaan laki-laki kecil itu.

"Eh Arson, makan indomie sini, Son"

Arson membuka sedikit matanya, mengintip siapa yang baru saja datang menyapa. Melihat Sultan yang ada di dekatnya, otak Arson bekerja cepat mendapati sedikit solusi atas semua isi kepalanya.

Arson membuka mata sepenuhnya dan kembali duduk dengan tegak. "Sultan" panggilnya.

"Hm?" Sultan bergumam dengan mulut yang baru saja menyuap gulungan mie. "Mau makan mie?" tanyanya menawarkan.

"Enggak, bukan. Itu... Gua mau nanya" Arson berkata ragu.

"Nanya apaan?"

"Nyokap lu psikolog kan ya?"

Sultan bergumam sambil mengangguk. "Kenapa emangnya? Lu mau nanya apaan sih? Lu butuh konsul ke psikolog kah?"

"Bukan" Arson menggeleng kecil. "Lu tau gak kalo orang tiba-tiba jadi gak mau makan gitu kenapa?"

"Ya itu mah dia gak napsu aja kali, periksa aja ke dokter, siapa tau emang badannya yang gak enak makanya gak napsu. Atau emang makanannya yang gak enak" jawab Sultan acuh tak acuh, menanggapi pertanyaan Arson sambil fokus menyantap mie rebus miliknya.

Arson berdecak jengkel. "Bukan gitu. Gua susah sih jelasinnya..." Arson menggaruk belakang kepalanya, merasa bingung sendiri bagaimana caranya mengatur kata-kata yang tepat untuk menjelaskan kondisi Devon.

"Ya lu gimana? Lu ngerasa gak napsu makan? Nih coba makan indomie ini nih, enak banget make telor" tawar Sultan menyodorkan mangkuknya lebih dekat pada Arson.

Lagi-lagi Arson menggeleng. "Bukan gua... Itu tetangga unit apartemen gua—iya itu dia kan punya anak kecil, nah biasanya bocil ini tuh ceria banget. Setiap ketemu gua kalo gak usil pasti bawel deh, tapi tadi siang gua ketemu, dia malah kaya diem aja gitu. Gua denger-denger dia mogok makan dari dua hari lalu, pas di kasih makan sama ibunya malah kaya takut-takut gitu ngeliatin makanannya, ngunyahnya juga pelan banget, tapi walaupun udah ngunyah pelan-pelan, dia masih ngeluh kalo lidahnya kegigit. Pas mau gua deketin dia malah nangis histeris. Nah itu kenapa tuh?" kata Arson yang akhirnya mendapat kalimat yang cocok untuk menjelaskan kondisi Devon. Meskipun harus sedikit berbohong.

Sultan yang tadinya terlihat sedikit abai, kini mulai fokus mendengarkan penjelasan Arson. Dia terlihat berpikir sebelum memberi tanggapan, "Mungkim dia ada ngeliat sesuatu yang bikin dia trauma kali tuh sampe gak mau makan gitu" katanya menyimpulkan.

Arson menganggukan kepalanya. Merasa kesimpulan yang Sultan berikan mungkin saja benar. "Kira-kira apa yang bikin dia trauma kalo sampe kaya gak mau makan gitu?"

"Ada banyak faktor sih, tapi kalo anak kecil gitu tuh biasanya kalo gak kekerasan, ya bullying. Keluarga bocilnya itu gimana? Ayahnya baik gak? Sering ribut gak? Kalo keluarganya baik-baik aja sih biasanya dari faktor pertemanan, bisa aja dia di bully, makanannya diambil, atau dikatain apa yang sampe bikin dia ketakutan kalo makan"

Arson diam. Kepalanya kembali penuh oleh informasi baru yang dia dapat. Arson mungkin tidak tau bagaimana kondisi keluarga Devon, tapi dia melihat sendiri bagaimana perlakuan teman sekelas Devon pada laki-laki itu. Mungkin saja Devon kembali di bully ketika berada di dalam kelas tanpa sepengetahuannya.

"Terus cara nyembuhinnya gimana biar dia mau makan lagi?" tanya Arson

"Gua kurang tau sih. Lagian ini kan gua cuman nyimpulin berdasarkan cerita lu aja ya, bukan berarti dia beneran kaya yang gua bilang. Kalo emang mau tau pastinya mah mending langsung konsul aja sih kata gua, biar dia juga bisa dapet penanganan yang lebih proper gitu" jawab Sultan

"Jadi gua gak biaa ngapa-ngapain ya buat bantu dia?" Arson bergumam pelan.

"Hmm" Sultan menggeleng dengan ekspresi merengut yang serius. "Malah justru lu harus bantu. Lu harus lebih perhatiin dia. Kaya misalnya ajak dia main atau beliin mainan yang bikin dia seneng, kasih jajanan-jajanan yang dia suka, ajak dia jalan-jalan kecil. Pokoknya jangan dibiarin aja, jangan sampe dia ngerasa kalo dia sendirian"

Arson mengangguk-angguk mengerti. Dia sudah memutuskan untuk lebih memperhatikan Devon mulai sekarang.

"Sultan" Arson memanggil lagi.

"Apa lagi?" tanya Sultan yang merengut. "Gua mau makan mie ini loh, ish" rengeknya.

"Kalo kita tiba-tiba perduli banget sama orang yang tadinya sering nyari masalah sama kita setelah kita gak sengaja ngeliat sisi lainnya, itu kenapa ya?" tanya Arson lagi.

Sultan membeku di tempatnya. Gerakan tangan yang tadinya hendak menyuap mie terhenti secara spontan. Mendadak pikirannya juga ikut kosong karena teringat cerita yang familiar dengan pertanyaan yang baru saja Arson tanyakan. Sultan teringat dengan satu nama seseorang yang sering membuat masalah dengannya, yang juga akhir-akhir ini sangat dia perdulikan.

Sial. Sultan mengumpat berkali-kali dalam hatinya.

"Sultan? Heh, kok malah lu yang ngelamun?" Pertanyaan Arson kembali mengambil alih fokus Sultan.

"Hah? Oh engga hehe..." Sultan terkekeh canggung dan langsung menggeleng, kemudian dia lanjut memakan mie miliknya.

"Bang Fatah mana?" tanya Arson yang beranjak dari posisi duduk dan sudah mengeluarkan kotak rokoknya.

"Di dalem sana tuh" Sultan menunjuk satu ruangan yang memang biasa digunakan untuk berdiskusi. "Ada Bang Fin, Sagara, sama Aksa juga tuh lagi ngomongin mau tawuran gitu"

"Tawuran? Sama siapa?"

Sultan mengangguk. "Sama siapa lagi? Alter lah. Mereka ngirim anceman katanya harus dateng atau mereka yang bakal nyerang kesini"

Alter. Alis Arson semakin menukik tajam. Jika Alter turun, itu berarti akan ada Devon yang memimpin tawuran nanti. Sedangkan tadi siang, Arson melihat sendiri bagaimana kondiri Devon. Bagaimana mungkin dia bisa berdiri di tengah arena tawuran dengan kondisinya yang tidak stabil?

Namun, yang lebih membuat Arson bertanya-tanya adalah pesan ancaman itu. Dengan kondisi Devon, mungkinkah cowok itu bisa mengirimkan pesan ajakan tawuran begitu? Atau mungkin bukan Devon yang mengirimkan pesannya?

Apapun itu, Arson jelas merasa khawatir. Dia ingat terakhir kali Devon berjongkok ketakutan di balik mobil truk dengan tubuh yang penuh luka. Memikirkan Devon akan kembali berada dalam situasi seperti itu, dengan kondisinya yang kurang stabil seperti sekarang, membuat kepala Arson langsung berputar tidak tenang. Dia melangkahkan kakinya pergi keluar untuk merokok supaya otaknya bisa sedikit merasa tenang, setidaknya untuk sesaat.

Arson mendengus. Devon benar-benar membuat pikiran dan hatinya kacau. Membuatnya kebingungan sendiri atas perasaan yang dia rasakan. Entah kesal, khawatir, perduli atau mungkin jatuh cinta. Semuanya terasa bercampur jadi satu dalam hatinya.

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang