028

5K 362 16
                                    

Semalaman Arson habiskan di markas Sinister. Dia memutuskan untuk tidak pulang ke apartemenya karena waktu yang sudah sangat larut, berakhir dia tidak tidur sama sekali karena sibuk bergelut dengan isi kepalanya yang dipenuhi oleh ketua geng musuh yang hari ini akan dia temukan di tempat tawuran.

Arson menghisap rokoknya. Dia sudah menghabiskan hampir dua kotak rokok hanya dalam waktu semalam. Asbak di dekatnya sudah sangat penuh oleh tumpukan puntung rokok yang debunya berceceran di sekitar.

Asap rokok mengepul ketika Arson menghela napasnya kasar. Dia menyugar rambutnya kebelakang, kemudian mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Devon sialan" umpatnya pelan.

Entah sudah kali keberapa dia mengumpatin nama cowok kecil itu. Lebih tepatnya mengumpati perasaan yang mulai memenuhi hatinya. Memikirkan Devon yang akan ada di tengah-tengah tawuran membuatnya merasa kesal, meski rasa khwatirnya jelas lebih dominan.

Arson kembali menghisap batang rokok yang ada pada sela jarinya. Alisnya menukik seiring dengan pipinya yang menyempit karena hisapannya yang begitu dalam, kemudian dia menarik napasnya dan membuang asap yang sempat masuk ke dalam paru-parunya sambil memejamkan mata. Terlihat jelas sekali kalau dia sedang frustasi.

"Lo sekolah hari ini?" tanya Fatah yang baru saja datang bergabung. Dia berjongkok tepat di samping Arson yang duduk bersandar pada dinding markas, lalu ikut menyalakan rokoknya. 

"Iya nanti berangkat jam tujuh" kata Arson sambil mengangguk sebagai jawaban atas apa yang Fatah tanyakan.

"Tidur lah anjir! Sana tidur dulu sebelum berangkat sekolah, minimal setengah jam mah masih sempet" titah Fatah yang menyiratkan keperdulian.

Arson menggeleng. "Gak bisa tidur, Bang" balasnya.

Arson mengernyit heran ketika tangan Fatah terulur menempel pada dahinya.  "Lu pusing?" Fatah bertanya yang lagi-lagi Arson jawab dengan gelengan kepala. "Terus kenapa gak bisa tidur? Lagi ada pikiran?" sambung Fatah lagi.

Arson menunduk. Dia menyemburkan asap terakhir dari rokok yang dia hisap sebelum menekan ujungnya pada asbak. "Cuman lagi bingung aja" jawabnya.

Fatah mengangguk mengerti. "Kalo ada yang lo butuhin, bisa langsung bilang ke gua ya. Siapa tau gua bisa bantu" katanya berhati-hati, takut apa yang dia katakan akan menyinggung privasi Arson.

Di situasi seperti ini, Arson bisa mengerti alasan kenapa  Fatah bisa menjadi ketua geng ini. Fatah tidak menjadi ketua karena ditakuti oleh semua anggotanya, tapi karena dia dihormati. Jika diingat lagi, anggota Sinister tidak banyak yang mau langsung menuruti apa yang Fatah katakan, mereka tetap individu bebas yang memiliki ego dan keras kepalanya sendiri, tapi Fatah justru membiarkan hal itu dan mendengarkan semua pendapat serta keluhan mereka. Ini yang selalu membuat Arson kagum dan mau menjadi bagian dalam Sinister. 

"Bang" Arson memanggil.

"Hm?" Fatah menolehkan kepalanya menatap Arson, setelah dia menghembuskan asap rokoknya. "Kenapa?" tanyanya ulang.

"Kita jadi mau tawuran lawan Alter?"

"Jadi" Fatah mengangguk. "Semalem gua udah omongin ini sama yang lain. Kan gua juga udah kasih tau hasil diskusinya di grup chat kita dan hampir semua setuju kalo kita turun buat nerima tantangan Alter nanti malem. Kenapa emangnya?"

Arson menggeleng. "Gak ada"

Arson tidak bisa mengatakan dengan lantang bahwa dia secara sadar menghawatirkan keselamatan dari ketua musuhnya dihadapan ketua gengnya sendiri. Namun, di sisi lain dia merasa kalau dia butuh mendengar saran dari Fatah. Arson merasa bimbang.

Fatah terkekeh melihat gelagat Arson yang masih mencoba terlihat tenang, sangat kontras dengan raut wajah yang jelas menunjukan beban yang ada dalam kepalanya. Fatah menghisap rokoknya sesaat dan meniupkan asapnya ke udara. "Ada yang bikin lo khawatir? Tenang aja, Vico kan gak akan turun. Dia sendiri yang nolak buat terlibat sama tawuran, ya kan?" katanya.

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang