CHAPTER 02

153 11 0
                                    

Part ini aku buat flashback dulu ya, jadi perhatikan membaca karena aku gak pakai tanda miring.

so, happy reading💗💗

---

Tok! Tok! Tok!

"Abang ...," Aziel mendekatkan telinganya ke arah pintu, laki-laki itu sudah cukup lama menunggu sembari memegang sebuah nampan berisi makanan untuk Bintang.

Namun, sudah berkali-kali Aziel memanggil tak ada sahutan apapun dari dalam. Sebenarnya apa yang sedang dilakukan abangnya? Apakah pria itu sudah tertidur?

"Bang, makan dulu, ya? Aziel bawain makanan buat bang Bintang, Aziel cuma mau ngasih aja kok. Aziel gak akan ganggu," ucap Aziel mencoba membujuk.

Satu detik, dua detik, bahkan hingga detik ke-enam pun Bintang masih bersikeras untuk tidak membukakan pintu. Aziel menghela napas panjang, hendak berbalik karena sepertinya Bintang benar-benar tak ingin bertatap muka dengannya.

"Mana makanan gue?"

Pergerakan Aziel terhenti, ia menoleh mendapati jika Bintang tengah berdiri diambang pintu. Wajahnya pucat pasi, menatap Aziel tajam dengan kedua tangan menyilang di depan dada.

Aziel mendekat, perlahan memberikan nampan tersebut seraya menunduk dalam.

Di jarak sedekat ini, Aziel benar-benar mencium aroma obat-obatan dari Bintang. Bahkan menyentuh tangannya saja rasanya seperti memegang sebuah bola salju yang dingin.

"Bang Bintang ... baik-baik aja, kan?" tanya Aziel ragu-ragu.

"Ck! Sana pergi, bukan urusan Lo buat peduli tentang gue."

Bintang menutup pintu kamarnya kencang, membuat Aziel terlonjak kaget dalam diam. Meski perlakuannya memang tak sopan, setidaknya Bintang masih mau menerima pemberian Aziel karena sering kali menolaknya mentah-mentah.

"Bunda, sampai kapan bang Bintang benci terus sama Aziel?" tanya Aziel begitu pelan.

***

Pukul 23:30 Wib.

Di jam selarut ini, Bintang masih enggan untuk tertidur. Ia menatap langit malam dengan sorot sendu yang sulit diartikan. Entah sudah berapa lama, kerinduannya terhadap sosok yang selama ini ia harapkan kehadirannya kembali tak hilang begitu saja. Bintang rindu, sangat rindu.

Ia berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang tak nyata, lalu terbangun dan mendapat dekapan terhangat yang sudah lama tak dirasakannya.

Satu tetes air mata lolos begitu saja tanpa diminta, Bintang terisak pedih. Ah sudah lama sekali rasanya ia tidak menangis, meratapi hal bodoh yang hanya membuatnya kembali sakit seolah jatuh ke jurang yang paling terdalam.

"B-bunda ...," lirihnya pelan terdengar begitu menyakitkan.

Bintang sudah tak sanggup lagi, bahkan untuk sekedar menyeka air matanya saja rasanya sulit sekali. Ia hanya menunduk, dadanya semakin sesak tatkala memori lama kembali berputar di dalam kepalanya.

Senyuman, tawa, serta sikap hangat dari mendiang Rosa adalah hal yang ia rindukan selama ini. Tuhan, apakah Bintang terlalu egois jika meminta Rosa hidup kembali?

Sosok itu sudah lama pergi sejak enam belas tahun yang lalu, namun semua kebaikan serta kenangan indah yang pernah dilewati tak pernah hilang dari ingatan sedikitpun.

Bintang ingat betul, saat di mana dirinya hampir saja tertabrak mobil di jalan dan berakhir menangis karena takut dimarahi oleh kedua orang tuanya. Saat itu usianya masih empat tahun, Bintang kecil yang dilarang bermain keluar rumah oleh bunda nekat menaiki pagar dan pergi ke are taman. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, namun karena tempat itu berada di dekat sebuah jalan besar, lalu lintas yang ramai oleh pengendara mobil maupun motor sangatlah berbahaya bagi anak-anak.

7 Putra Mahesa (revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang