CHAPTER 06

113 15 0
                                    

"Dari hasil yang keluar, organ ginjal dalam tubuh anak bapak sudah mengalami kerusakan yang cukup parah, akibatnya kondisi Bintang terbilang menurun drastis. Untungnya bapak cepat-cepat membawanya ke rumah sakit. Saya akan memberi jadwal Hemodialisa untuk Bintang agar dapat beraktivitas dengan baik."

Bayu hanya termenung di tempat, perkataan dokter Ganesha sungguh membuatnya telak.  Ingin menyesal pun sudah terlambat, karena kelalaiannya lah yang membuat Bintang kini terbaring lemah di rumah sakit.

Pria itu berjalan ditengah koridor yang sepi, pikirannya berkecamuk. Raut wajahnya menandakan jika Bayu berada di titik paling lemah.

"Egois, ya?" Ucap Bayu diakhiri tawa kecil.

Sejak kapan ia menjadi kacau seperti ini? Dimana Bayu yang dulu terpandang tegas dan berwibawa? Jiwanya seolah hilang, bahkan langkah yang ia ambil jauh dari kesadaran.

Bayu menghantam tubuhnya ke tembok, melampiaskan segala kekesalannya yang berakibat fatal. Ia menangis pilu, terduduk lunglai dengan kedua tangan mencengkeram rambut frustasi.

"Maafkan saya Rosa, maaf ...,"

"Saya gagal,"

"Sekali lagi, saya gagal,"

Tak peduli ada satupun yang mendengar, waktunya masih cukup malam untuk dilewati orang-orang. Hingga ... sebuah tangan yang sudah lama tak ia genggam kini berada tepat di kedua bahunya.

"Mas ...,"

Bayu mengangkat pandangannya, matanya menangkap sosok yang ia dambakan kehadirannya kembali.

Pria itu ... Kini sudah tenggelam dalam halusinasi semata.

Semua orang tak pernah tau, Bayu juga masih manusia biasa yang bisa merasakan sakit. Halusinasi bukanlah hal baru baginya, seringkali setiap malam kejadian itu selalu datang di waktu yang tak terkira.

Wajah berseri itu, cantiknya tak sedikitpun pudar, seolah terlihat nyata layaknya manusia.

Bayang-bayang Rosa menggeleng, lengkungan senyum terbentuk tatkala tangannya berpindah menyentuh pipi Bayu.

"Jangan menyalahkan diri sendiri," Mendengar itu Bayu semakin tak bisa menetralisir napasnya. Kata demi kata yang terdengar membuat pria itu semakin percaya dengan sosok yang tak nyata.

"Semua sama, anugerah tuhan akan kembali pada penciptanya." Diakhir kalimat sosok Rosa tersenyum meyakinkan. Tak bisa dipungkiri betapa besar rasa rindu yang sudah lama tertahan, dan halusinasi inilah yang Bayu pergunakan untuk membayar semua kerinduannya.

***

Tok! Tok! Tok!

Aziel menyingkap selimutnya ke samping, ia bangkit dan membuka pintu perlahan. Berharap yang mengetuk adalah Galen, namun tebakan Aziel melesat, melainkan Albian dengan kue ulang tahun ditangannya.

Albian tersenyum kikuk. "Hbd."

Aziel terpaku ditempat. Benarkan ini Albian? Baru kali ini ia mendapati lelaki itu mengucapkan ulang tahun setelah sekian lamanya, bahkan Albian juga repot-repot membawakan kue yang bertuliskan, 'Happy Birthday Malaikat Kecil Bunda'.

Awalnya Albian kira Aziel tak suka dengan kejutan yang ia berikan, ia memberi senyuman dengan kedua alis terangkat. "Hei, selamat bertambah usia,"

"Aziel." Lanjut Albian lagi.

Cklk!

Buru-buru Albian menarik Aziel untuk masuk ke kamarnya. Kemudian mereka terduduk saling berhadapan dalam gelapnya malam. Tak lama, Aziel kembali dibuat diam saat sang kakak menyanyikan lagu ulang tahun untuk yang pertama kalinya.

"Selamat ulang tahun~"

"Selamat ulang tahun~"

"Selamat ulang tahun Aziel, semoga sehat selalu~"

"Tiup lilinnya," Perintah Albian yang langsung dipatuhi oleh Aziel.

Albian tak dapat melihat jelas raut wajah adiknya, padahal sejak tadi Aziel sudah meneteskan banyak air mata. Tuhan, apakah ini kebahagiaan yang Aziel maksud? Yang sudah lama Aziel tunggu-tunggu?

"Makasih, Bang. Aziel ... Boleh tanya sesuatu?" Ungkap Aziel masih menatap kedepan.

"Apa?"

"Gimana rasanya bisa ngeliat Bunda? Aziel juga pengen rasain pelukan hangat yang kalian bilang,"

Deg!

Albian menaruh kuenya di lantai, bingung ingin menjawab apa. Lantas yang ia lakukan adalah membawa Aziel kedalam dekapannya, menyuruhnya untuk menumpahkan tangis saat itu juga.

"Gimana, bang? Pasti enak, ya? Dipeluk bunda, pasti hangat, kan?"

"Jangankan untuk dipeluk, Detik-detik Aziel lahir pun Bunda ...."

"Ssssstttt, Aziel mau buat bunda sedih di sana?" Tanya Albian serius.

Aziel menggeleng.

"Ada atau tiada, jangan pernah ngerasa kalau Aziel gak pernah dapet kasih sayang dari Bunda, ya? Pelukan yang Aziel maksud, Abang juga gak tau rasanya gimana ...,"

Sekuat tenaga Albian menahan agar tidak ikut meneteskan air mata. Aziel salah bertanya, Albian sendiri bingung menjelaskan seberapa hangat dan nyamannya pelukan sang ibunda. Sulit sekali. Albian mengigit bibir bawahnya pedih, sambil mengelus pelan punggung adiknya yang sedang menangis purau.

Aziel tak seperti anak pada umumnya, akibat kekerasan yang ia dapat sejak kecil, menjadikan sosok lelaki itu selalu bungkam akan masalah apapun yang ia dapati. Bahkan disekolah pun, hanya beberapa saja yang ia jadikan teman, tak ada percakapan apapun yang istimewa, mereka hanya memperbincangkan soal kelas yang tak jauh dari tugas.

"Aziel kan udah SMA, udah bukan anak kecil lagi, iya, kan?" Albian pelan-pelan berbicara dengan intonasi rendah.

"Nah, jadi Aziel coba pertimbangkan lagi mau jadi apa kedepannya. Entah itu Abdi negara, pengusaha, atau apapun, rangkai dari sekarang. Buat mindset kalo Albian harus sukses di masa yang akan datang, kita kan gak tau kehidupan kedepannya gimana. Aziel sendiri pasti ngerasain gimana kerasnya tinggal disini,"

"Perlakuan ayah, dan Abang sendiri, Maafin, ya ...," Sesal Albian akhirnya.

Albian tersenyum. "Kali ini, Abang bantu Aziel untuk bangkit lagi."

"Aziel gak dendam, kan?" Tanya Albian.

Aziel menggeleng lagi.

Perlahan lelaki itu melepaskan pelukannya, ia menatap sang kakak begitu dalam. "Ada sebuah buku yang buat Aziel termotivasi, ketika pohon yang ditebang oleh seseorang, pohon itu gak memikirkan caranya untuk balas dendam, tapi yang ia lakukan adalah tumbuh kembali lebih besar." Kata Aziel ditengah Isak tangisnya.

Lihatlah, Aziel kini sudah mengerti, hatinya memang diciptakan untuk senantiasa menerima segalanya. Mendengar itu bahkan Albian tersenyum penuh bangga, hebat sekali Aziel bisa bertahan hingga sejauh ini.

Ia mengangkat kembali kue yang semula tergeletak di lantai. "Udah ya? Sekarang kita makan kuenya sama-sama, oke?"

"Oke, Bang." Jawab Aziel senang sekali.

—TBC—

Up lagi nih huhuuu🥺

Ayo ramein, aku seneng bngt kalo dapet notif dari kalian, makasiii ya udah vote❤️❤️❤️ terhura dehh

yang belum vote ayo vote dulu, biar semangat author nya semakin berkobar🤩🔥

Thank u, see u next chapter✨✨

7 Putra Mahesa (revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang