"Kamu yang sabar, ya, Nai... Tuan kecil memang suka main-main gitu," ucap Hani, salah satu asisten rumah tangga yang tugasnya memasak di dapur. "Syukur hanya air biasa, terakhir entah dari mana Tuan kecil mendapatkan air comberan."
Perkataan wanita tua di depan Nai membuat jantungnya berdebar kencang. Dia masih sangat terkejut dengan kelakuan nakal Bara. Bagaimana bisa anak usia empat tahun, bisa membuat hal seperti itu. "Aku baik-baik saja, Bu. Hanya saja tidak habis pikir, Bara pinter banget bisa buat hal kayak gitu."
"Tuan kecil memang pandai merakit sesuatu, tapi karena tidak ada yang mengarahkan jadi dia berlaku tidak wajar dengan mengerjai setiap pengasuh baru." Hani kembali menceritakan beberapa kelebihan dan kekurangan Bara.
"Kenapa Bara terus menolak setiap pengasuh, Bu?" tanya Nai kembali membayangkan bagaimana frustrasinya setiap pengasuh jika sudah dikerjai oleh Bara.
"Ibu juga tidak tahu, Nai. Tapi yang pasti kamu harus selalu waspada dan bersabar ya." Hani kembali memberikan nasihat untuk Naila.
Naila mengangguk, ya apapun yang terjadi dia memang harus bertahan di rumah ini. Kalaupun mau berhenti kerja, dia masih punya tanggungjawab menyelesaikan kontrak. Nai juga yakin, Bara tidak mungkin mengerjai sampai melukai fisik. Juga, kalau berhenti mau kerja apa Nai, dan tinggal dimana? Setidaknya saat ini dia punya tempat perlindungan, hanya mungkin perlu sedikit bersabar.
Dia pernah melalui hal yang sama dulu pas SMA. Dibuli habis-habisan oleh orang yang berbeda tapi satu darah dengan Bara. Daniel bahkan bulianya lebih parah dari Bara, tapi Nai bisa melalui dengan bersabar bahkan bisa menaklukan si pembuli itu sendiri.
"Nai, kamu jangan bengong, ini makan dulu ya, pasti kamu belum makan kan." Hani menyediakan beberapa makanan untuk makan Nai.
Nai mengangguk, dia memang terasa lapar saat ini. "Terimakasih, Bu." Wanita itu mulai mengisi perut, dia harus banyak tenaga untuk menghadapi Daniel jilid dua.
Pintu dapur terbuka, seorang pria berjas warna hitam masuk dengan langkah tenang. Wajah tampannya terlihat lelah. "Bagus, kamu harus banyak tenaga untuk menghadapi Bara. Jadi makanlah yang banyak." Daniel berhenti di depan Naila.
Naila hanya diam melihat pria yang sudah lama tidak bertemu. Daniel terlihat berantakan. "Saya pernah melewai hal serupa dulu, yang ini akan mudah."
Daniel terdiam, dia menatap Nai dengan tajam. Entah apa yang pria itu pikirkan saat ini, tapi sedikit membuat Nai merinding sungguh, aura Daniel dari dulu tidak pernah berkurang, malah sekarang tambah seram saja. "Jangan sungkan menghukum Bara kalau dia salah," ucap Daniel langsung pergi setelah berkata.
Nai tersenyum saat mendengar perkataan Daniel. "Pasti dia juga pusing dengan kelakuan Bara." Nai kemudian lanjut makan dengan khidmat.
"Tuan Daniel tidak pernah berkata seperti itu pada pengasuh sebelumnya." Hani berkata setelah kepergian pria dengan jas hitam tadi.
"Aku yakin Tuan Daniel juga sudah pusing, Bu dengan kelakuan nakal Bara." Nai mengangguk dengan pasti, siapa yang tidak pusing harus mencari pengganti pengasuh setiap saat.
Hani mengangguk paham. "Kamu benar, Nai. Ibu juga sedikit pusing dan kasian. Semoga kamu yang terkahir, ya."
Nai hanya mengangguk dan tersenyum. Dia kembali melanjutkan makan malamnya yang terasa nikmat sekali. Makan malamnya kali ini sangat mewah, Hani membuatkannya sup janda yang segar ditambah beberapa buah manis sebagai penutupnya.
Pintu dapur kembali terbuka, kini yang datang adalah pelaku utama pembuat pusing di rumah besar ini. "Tuan kecil mau makan apa?" tanya Hani saat melihat Bara berjalan memasuki dapur.
"Aku tidak mau makan di sini," ucap Bara galak. Dia kemudian menatap Nai. "Aku mau piknik di taman, aku mau makan di taman saat ini," lanjut Bara, masih terkesan galak dan memaksa.
"Bara mau piknik di taman? Bagaimana kalau besok? Sekarang kan sudah mau malam." Nai mencoba menjelaskan keadaan saat ini pada Bara.
Bara menggeleng, menolak mendengar perkataan Nai. "Aku mau piknik di taman sekalang." Kedua tangan Bara di dada. Pria kecil itu tidak terima saat ayahnya marah tadi, jadi apapun yang dia inginkan harus tercapai, untuk membuat hatinya tenang.
"Baiklah, Nai siapin dulu makanannya, ya." Nai berhenti melanjutkan makan, dia kemudian menyiapkan beberapa bekal makanan untuk dibawa ke taman. Dibantu oleh Hani, kini persiapan itu sudah selesai.
Bara masih diam duduk di meja makan, dia dari tadi memperhatikan pekerjaan Nai dan Hani tanpa berbicara. "Nai sama Bi Hani ke taman sekalang, sekalian bawa alasnya, Bala yang bawa makananya," ucap Bara menyuruh, terdengar sangat bossy sekali pria kecil ini, tidak lupa cara bicara yang cadel membuat kedua wanita dewasa itu gemas.
Nai mengangguk, saat ini dia tidak mau banyak bicara karena tau suasana hati Bara pasti sedang kalut. Nai yakin pria kecil itu sudah mendapat ceramah dari nenek dan ayahnya. "Ya udah, Nai tunggu di taman ya."
Nai dan Hani pergi ke taman sembari membawa tikar alas. "Tuan muda kalau udah ingin sesuatu, pasti dia memaksa dan tidak mau ditolak," ucap Hani sembari membantu menggelar tikar di taman.
"Tidak apa-apa, Bu. Selama permintaanya tidak aneh-aneh, insyaallah Nai bisa menyanggupi," balas Nai, dia juga membantu Hani menyiapkan tempat piknik.
Tidak lama, Bara datang dengan wadah berisi makanan. Pria kecil itu terlihat kesusahan. Nai langsung membantu, dia mengeluarkan semua makanan yang sudah tadi disiapkan. "Bala hanya mau piknik sama Nai," ucap Bara menatap Hani serius, membuat wanita tua itu mengangguk sembari tersenyum.
Setelah kepergian Hani, Bara menatap Nai tajam. "Semua makanan ini Bala akan makan... Nai makan yang ini aja." Bara memberikan Nai sate di piring. "Makan semuanya, atau Bala akan malah."
Nai hanya tersenyum melihat sikap Bara yang sebelas duabelas dengan ayahnya. "Oke, Nai bakal makan semuanya," ucap wanita itu sembari duduk di atas tikar, lalu mengambil sate pemberian Bara, memakannya dengan lahap tanpa nasi.
Bara sesekali menatap Nai sembari memakan ayam tepungnya dengan lahap, senyum seringai terlukis di bibir Bara tanpa diketahui oleh Nai. "Aku minta maaf kalena sudah membuat Nai Basah tadi." Bara berbicara tanpa melihat Nai, tapi senyum seringai itu semakin lebar saat Nai menghabiskan makananya.
Nai mengangguk, sate terakhir di piring sudah habis. Wanita itu mengambil air untuk minum. "Nai sedih tau... Bara nakal ternyata, ya." Wanita itu menatap Bara penuh selidik. "Saat ini Bara beruntung, ya... Nai gak bakal hukum Bara."
Bara menunduk, bukan takut dengan hukuman Naila. Tapi dia begitu senang karena Naila berhasil masuk jebakannya yang kedua. Tidak lama setelah Nai berbicara, wanita itu langsung merasakan hal aneh di perutnya. Semakin menjadi saat Bara menunjukan seringai menyebalkannya.
"Bara... Kamu...." Mata Nai menyipit saat menyadari sesuatu. Kemudian Bara langsung tertawa puas melihat Nai sakit perut. "Kita bicarakan ini nanti," ucap Nai langsung meninggalkan taman, dia berlari ke arah kamar mandi.
Kembali Bara tertawa puas melihat rencananya berhasil. Sedangkan satu pasang mata yang sendari dari memperhatikan terlihat memejam, kemudian menggeleng. "Bodoh sekali kamu Naila... Bi Hani kan bilang harus waspada." Daniel berjalan ke taman, menghampiri anaknya untuk memberikan sepatah dua patah siraman rohani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengasuh Anak Mantan
RomanceBagaimana perasaan kamu saat harus terpaksa menjadi pengasuh anak mantan? Rasanya nano-nano, apalagi mantan yang satu ini adalah mantan terindah, yang sekaligus mantan paling membuatmu sakit hati dulu saat berpacaran. penasaran, cus... baca!