Mama Raksa

1.2K 53 0
                                    

Terlihat Nai sedang sibuk di dapur apartemen, dia beberapa kali membuka kulkas mengambil beberapa buah dan bahan untuk membuat Salad Buah. Nai mengambil apel, anggur, strawberry secukupnya untuk di potong. Sebagai tambahan Nai membuat saus salad daru alpukat, tidak lupa segelas air.

Sekarang di atas meja sudah siap sarapan untuk Raksa, pas pria itu membuka pintu. "Sudah selesai, Nai?" tanya Raksa, lalu duduk di kursi.

"Sudah, A. Saya buat salad buah yang super simple dan air putih." Nai mengangguk, lalu menunjukan makanannya.

Raksa mengangguk, lalu pria itu sarapan dengan tenang. Salad buah buatan Nai sangat enak menurut Raksa, entah kenapa hanya makanan Nai saja yang cocok di lidah pria itu. Raksa sendiri termasuk pria pemilih, apalagi dalam masalah makanan. Dia sangat berhati-hati. "Kamu tidak sarapan, Nai?" tanya Raksa.

"Saya biasa sarapan hanya minum air saja, A, tidak biasa makan berat." Nai menjawab sembari membereskan dapur. "Di kulkas stok makanan sudah habis, A, saya berencana beli ke pasar," lanjut Nai sekalian meminta ijin.

Raksa mengangguk. "Boleh, tapi jangan beli di pasar, beli di supermarket saja." Raksa menyarankan Nai, dia tidak mau makananya di beli dari pasar.

Nai mengangguk, lalu terdengar suara bel tanda ada seseorang yang datang. Niat hati Nai akan membukakan pintu, tapi tamu itu sudah terlebih dahulu masuk ke apartement. "Selamat pagi, anak kesayangan mama...," teriak seorang wanita cantik berkerudung. Wajahnya begitu bahagia, tapi setelah melihat Nai, langsung berubah terkejut. "Kamu siapa? Sedang apa di sini?" tanya wanita itu penasaran, lalu beralih menatap Raksa, sesekali menatap Nai kembali.

Wajah yang tadi terlihat galak, kini mulai mengendur berubah menjadi seringai nakal. "Wah... Anak kecil mama sudah membawa seorang wanita ke apartemennya?"

Raksa sendiri terlihat menahan malu melihat kelakuan mamanya. "Mama jangan salah paham, ini Nai, koki Raksa." Raksa menjelaskan dengan kesal. "Nai yang akan memasak makanan untuk Raksa."

Mama Raksa terlihat diam memandang Nai, dalam pikirannya begitu banyak sekali pertanyaan. Nai sendiri terlihat menunduk untuk menghindari tatapan tidak biasa dari mamanya Raksa. "Saya Sintia, mamanya Raksa." Setelah lama berdiam diri, akhirnya dia mau berkenalan dengan Nai.

"Saya Naila, Bu, saya pekerja baru di sini." Naila masih merasakan atmosfer yang tidak enak. Dia menghembuskan napas dengan kasar, apa Sintia juga tidak akan suka dengan kehadiran Nai seperti lainnya? Nai harap Sintia bisa menerima kehadiran Nai sebagai pekerja di rumah anaknya, karena jujur dia sudah sangat bosan harus mencari pekerjaan lainnya dengan gaji yang bagus.

"Kamu jadi koki anak saya, berarti masakanmu itu setara dengan masakan saya." Sintia mulai berbicara kembali. "Meskipun begitu, saya tetap harus mengajarimu kembali tentang makanan kesukaan Raksa."

Nai mengangguk paham. "Saya bersedia, Bu, dengan senang hati. Saya sangat suka belajar memasak."

Sintia menatap Raksa. "Udah kamu pergi sana berangkat kerja, Nai biar mama yang urus." Raksa mengangguk, lalu pergi bekerja setelah menyelesaikan sarapannya.

Kini hanya ada Sintia dan Nai saja di dapur. Kedua wanita itu sedang berdiam entah memikirkan apa. "Kamu santai saja, Nai, jangan tegang seperti itu." Sintia mulai berbicara, lalu dia berjalan ke kulkas.

"Ibu mau masak sesuatu?" tanya Nai memberanikan diri.

Sintia menggeleng, "Tidak, ini jadwalnya saya mengisi kulkas Raksa, Nai. Pria itu mana mau melakukannya sendiri," ucap Sintia sembari mengechack isi kulkas.

"Tadi saya sudah mengechack juga, Bu, semua bahan sudah habis." Nai mengeluarkan pendapatnya. "Dan rencananya saya juga mau belanja, Raksa juga sudah memberikan uangnya."

Sintia menghentikan kegiatannya, lalu menatap Nai. "Kalau begitu ayo belanja sama ibu saja, sekalian belajar nanti memilih bahan makanan yang bagus."

"Iya, Bu, ayo... Raksa ingin saya belanja di supermarket, saya agak bingung karena belum pernah, jadi alhamdulillah ada ibu yang menemani." Nai begitu senang karena Sintia mengajaknya belanja bareng.

Kedua wanita beda generasi itu memutuskan untuk berbelanja bersama di salah satu tempat belanja terbesar di kota, Nai yang baru pertama datang ke tempat belanjan itu terlihat senang. Tidak pernah dalam hatinya dia memikirkan akan belanja di tempat besar nan bersih seperti supermarket.

"Anak saya sangat suka dengan olahan daging, Nai, jadi dalam dua minggu ini buatlah menu minimal tujuh sampai delapan kali olahan daging." Sintia berjalan ke tempat khusus menjual perdagingan.

Sedangkan Nai dari tadi terus mencatat apa yang dikatakan oleh Sintia, dia begitu nayaman belanja bareng wanita tua itu, banyak informasi juga seputar bahan bahan makanan yang bagua untuk tubuh dan kecantikan. "Kalau makanan laut, apa Raksa suka, Bu?" tanya Nai saat mereka berdua melewati area seafood.

"Raksa suka-suka saja, Nai, coba kamu beli cumi dan udang, juga kerang masaklah asam pedas manis dijamin Raksa pasti suka." Sintia menjawab pertanyaan Nai.

Saat kedua wanita itu asik berbelanja, dari arah barat datanglah dua wanita dengan satu anak. Mereka begitu terkejut karena bertemu kembali dengan Nai. "Jeng Hera, sedang belanja juga di sini," sapa Sintia pada Hera, membuat Nai yang sedang fokus memilih bahan makanan terdiam dan membeku.

Dia tidak percaya akan kembali bertemu dengan Hera dan juga Naura, tidak lupa ada Bara yang sedang makan buah apel. "Nai...." Bara menayapa atau berteriak saat melihat Nai, pria kecil itu sedikit berlari menghampiri Nai.

"Jeng Sintia, iya, saya sedang belanja bareng menantu, bagaimana kabarnya, Jeng?" tanya Hera, dia mengabaikan Nai, bersikap tidak kenal. "Eh... Ini pembatu barunya, ya?" tanya Hera kemudian.

Sintia terdiam menatap Nai yang sedang menjawab pertanyaan Bara. "Bukan, Jeng, ini Nai, koki baru anak saya." Sintia menjelaskan.

"Koki? Anak tante yang mana? Raka atau Raksa, Tan?" tanya Naura yang sendari tadi diam melihat suasana di depannya, jantungnya sudah mau copot karena bertemu kembali dengan Nai.

"Raksa, Naura," jawab Sintia, Naura hanya mengangguk kembali dia sangat tidak suka saat Nai dekat dengan seorang cowok, tangannya mengepal sangat kuat. "Dia beruntung banget sih, jauh dari Daniel, eh bisa deket sama Raksa."

Tentu Naura tidak suka dengan Nai, entah kenapa Nai selalu di kelilingi pria tampan dan mapan. Jangan lupakan seorang Raksa, hanya orang orang tertentu saja yang tahu seberapa kayanya pria itu. Naura sendiri pernah mencoba mendekati Raksa, tapi tidak berhasil.

"Oh Raksa, bagaimana kabar anakmu itu, Jeng?" tanya Hera.

"Alhamdulillah, Jeng, dia baik-baik saja, sedikit sibuk juga sih, kemarin habis launcing mobil batannya sendiri di Singapura." Sintia sedikit menyombongkan keberhasilan anaknya, dan itu biasa untuk ibu kalangan atas.

"Wah alhamdulillah sukses peluncurannya, ya Jeng. Anak saya juga sedang sibuk-sibuknya menangani banyak investor yang masuk, maklum ada proyek baru bernilai miliaran." Memang seperti inilah jika Sintia dan Hera bertemu, mereka dekat tapi saling menyombongkan anak mereka masing masing. "Oh iya, anak saya sebentar lagu akan menikah, nanti Jeng Sintia harus hadir, ya, sekalian bawa calon menantunya juga."

Sintia terdiam mendengar perkataan Hera, inilah salah satu yang tidak disuka saat bertemu Hera. Apapun bisa Sintia sombongkan tentang Raksa dan Raka, tapi tidak dengan calon menantu. Raka masih jauh, Raksa tidak ada tanda-tanda akan membawa seorang menantu, kecuali, Sintia menatap Nai yang sedang mengobrol dengan Bara. Seketika senyum seringai terlukis di bibir Sintia, dia punya rencana.

Hah... Kira kira rencana apa yang disiapkan oleh Sintia untuk Nai dan Raksa? Yuk... Dukung cerita ini dengan like/vote dan komentar.

Mengasuh Anak MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang