"Makanan Naila emang enak banget." Raka baru saja menghabiskan dua piring makanan milik Raksa, sedangkan pria itu entah sudah habis berapa piring kini dia sedang kamerkaan kalau kata orang sunda mah. "Gila, lo makan berapa piring, sampai tepar begitu," lanjut Raksa.
"Udah, lo jangan rewel." Raksa kemudian berjalan ke luar, rasa ingin menghirup udara segar muncul dan entah kenapa dia ingin sekali bertemu Naila.
Pria itu duduk di kursi, lalu mengeluarkan sebuah Vape. Sebenarnya, Raksa jarang sekali menggunakan alat kecil itu, tapi entah kenapa malam ini dia sangat butuh sekali. Terhitung sudah berbulan-bulan dia jarang menggunakan Vape untuk kesenangannya.
Raksa merasa dia tidak enak dengan perutnya, rasa engap dan lesu membuat dia jadi malas untuk melakukan banyak hal. "Sepertinya gue harus ke pusat kebugaran," ucapnya sembari memejamkan mata.
Suara pintu tertutup terdengar, membuat Raksa membuka kembali matanya. Dia langsung mengarahkan pandangan pada asal suara. Di sana, Naila baru saja mengunci pintu, pakaiannya begitu rapi dengan balutan jaket untuk menghalau udara malam.
Raksa entah bagaimana, rasa lesu dan malas yang dia rasakan tadi menguap setelah melihat Nai. Kini muncul pertanyaan di benaknya. "Malam-malam begini Naila mau pergi ke mana?" tanya Raksa pada dirinya.
Sedetik kemudian jantungnya berdebar sangat kencang, karena pertanyaan tadi dijawab oleh sang adik. Tentu Raksa terkejut setengah mati. "Paling cari makan di depan," jawab Raka, dia sedikit menahan tawa karena melihat kakanya yang begitu terkejut entah kenapa.
"Lo, ngagetin aja." Raksa mengelus dadanya, lalu matanya kembali melihat Nai yang sedang jalan ke arahnya, atau mungkin ke arah pintu gerbang, yang kebetulan melewati tempat Raksa.
Untuk Nai sendiri dia tidak menyadari bahwa sedang diamati oleh Raksa. Wajar, karena Nai selalu jalan menunduk. Sudah jadi kebiasaan, apalagi yang dia lewati kebanyakan kosan pria. Jadi Nai harus sedikit menundukan pandangannya karena takut dikira wanita genit.
"Nai, tunggu!" Itu suara Raksa, bukan karena ada kebutuhan Raksa memanggil Nai, tapi pria itu replek memanggil Nai tanpa alasan yang jelas. Hanya hatinya ingin sekali menyapa Nai. "Mau ke mana malam-malam begini?" tanya Raksa pada akhirnya.
"Mau ke pasar, A, besok pagi mau jualan lagi." Nai berhenti berjalan, dia kemudian melihat Raksa.
"Sendiri?" tanya Raksa penasaran. Tentu jauh di dalam hatinya dia khawatir melihat Nai pergi ke pasar sendiri. "Bukannya kamu ada teman ya, kenapa dia gak ikut?" tanya Raksa.
Nai menggeleng. "Tidak, A. Teman saya lagi kecapean kasian kalau minta antar," jawab Nai pelan. "Lagian pasarnya gak jauh kok."
"Kenapa tidak besok saja, Nai?" tanya Raksa masih saja penasaran dan sangat ingin tahu. "Pasti sekarang pasarnya sudah pada tutup."
"Sudah kebiasaan, A. Biasanya pukul segini sayuran pada baru datang dan segar-segar." Nai kembali menjawab pertanyaan Raksa dengan sabar. "Ya sudah, permisi, A, keburu malam nanti." Nai merasa jawaban dia sangat cukup untuk diketahui oleh Raksa. Dia juga merasa takut jika nanti kemalaman.
"Tunggu, Nai!" Raksa kembali menghentikan langkah Nai. "Saya ikut kamu, ya," ucap Raksa sembari memakai jaket levisnya.
"Tidak perlu, A." Nai merasa tidak enak jika Raksa akan ikut bersamanya ke pasar. "Tempatnya kotor lho... Aa pasti tidak akan betah di sana."
"Gak apa-apa, saya ikut." Raksa memaksa, pria itu kini berjalan di depan. Sengaja karena tidak mau membuat Nai merasa canggung. "Rencananya kamu mau jualan apa besok pagi, Nai?" tanya Raksa sembari fokus berjalan ke depan, Vape yang dia pegang tadi entah sudah kemana perginya.
"Banyak yang pesan bubur ayam, A. Jadi mau buat bubur ayam dan aneka sate untuk pelengkapnya. Nanti ada sate ayam, telur, dan ati." Nai menjelaskan apa yang akan dia jual nanti besok pagi.
"Saya sangat suka bubur ayam." Raksa membayangkan makanan lembut dengan aneka toping itu mulutnya sedikit berair. "Nanti saya pesan satu, ya, dibawa pas subuh." Raksa menjelaskan keinginannya
"Siap, A, nanti langsung disiapkan ya, spesial untuk Aa." Nai mengangguk, dia mengiyakan keinginan dari bosnya.
Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan, mereka berdua berjalan dalam keadaan hening ditemani oleh suara kendaraan di jalan raya. Suasana kota memang berbeda, walau sekarang sudah malam tapi kehidupan jalanan masih sangat ramai membuat Nai entah bagaimana sangat menyukai suasana seperti ini.
Apalagi saat dia melihat ke depan, dimana bosnya sedang berjalan lurus ke depan. Rasanya sangat hangat, meski udara di luar begitu dingin. Ya, Nai sedikit hangat hatinya saat Raksa mau menemaninya untuk belanja ke pasar. Tapi meskipun begitu, Nai harus membuang perasaan itu. Dia merasa tidak pantas. Untuk sekedar Membayangkannya saja begitu tidak pantas.
Pikiran Raksa dan Nai terus terangkai, mereka tidak menyadari bahwa ada satu mobil mewah berhenti di depan mereka. "Raksa!" Suara wanita mengudara, menembus gendang telinga Raksa dan Nai.
Seketika kedua orang itu berhenti berjalan dan langsung melihat orang yang memanggil tadi. Nai mengerutkan kedua halisnya karena tidak tahu siapa wanita yang memanggil Raksa. Dan Raksa hanya mengangkat salah satu halisnya.
"Kamu sedang apa di sisi jalan seperti ini?" tanya wanita itu sembari mendekat. "Aduh banyak debu tau, nanti baju kamu bau asap kendaraan, ayuk masuk ke mobil aku."
"Dari mana mau kemana?" tanya Raksa, pria itu mengenal wanita yang memanggilnya.
"Mau nyusul kamu lah, ada hal yang mau aku bicarakan." Sang wanita langsung menjawan.
"Oh...." Raksa mengguk, lalu mengalihkan perhatiannya pada Nai. "Duluan saja, aku ada urusan. Tunggu di kosan Raka."
Wanita itu menggeleng kuat. "Gak mau, ayo... Aku udah jauh-jauh lho... Masa mau ninggalin aku sendiri bareng Raka." Wanita itu mengalihkan perhatiannya pada Nai, lalu menatap tajam tidak suka.
"Arunika, pleasee... Tunggu aku di kosan Raka!" Raksa masih menyuruh wanita itu untuk jalan duluan.
"Gak mau, ih... Ayo, kamu sama aku aja, lagian mau ke mana sih???" Nika memaksa Raksa untuk ikut bersamanya. "Ini penting banget lho Raksa."
Raksa benar-benar muak melihat tingkah lagi Arunika. Dia terpaksa untuk mengikuti perkataan wanita cantik itu atau kalau tidak hidupnya tidak akan tenang. "Maaf, ya, Nai, saya gak bisa temenin kamu ke pasar." Raksa merasa bersalah karena harus meninggalkan Nai ke pasar sendiri.
"Tidak apa-apa, A." Nai mengangguk, lalu dia bersiap akan pergi. "Permisi A."
Nai berjalan meninggalkan Raksa yang sedikit tidak nyaman ditinggal bersama Arunika. Pria itu langsung merubah wajahnya menjadi datar. "Awas kalau perbicaraan kita tidak penting," ucap Raksa penuh penekanan. Lalu berjalan ke arah mobil.
Arunika mengabaikan perkataan Raksa, wanita itu mengalihkan perhatianya pada Nai yang sudah berjalan jauh. "Masih cantikan gue ke mana-mana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengasuh Anak Mantan
RomanceBagaimana perasaan kamu saat harus terpaksa menjadi pengasuh anak mantan? Rasanya nano-nano, apalagi mantan yang satu ini adalah mantan terindah, yang sekaligus mantan paling membuatmu sakit hati dulu saat berpacaran. penasaran, cus... baca!