Apartment Raksa

1.5K 53 0
                                    

Matahari mulai menampalan wujudnya di upuk timur, Nai dan Raksa baru saja tiba di depan gedung apartemen yang begitu besar dan mewah. Menurut orang-orang apartemen ini salah satu gedung terbaik dan elit di kota.

Nai sendiri terpaku melihat gedung apartemen yang gagah menjuntai tinggi menembus awan. "Luar biasa," ucap Nai dalam hati, sembari mengikuti Raksa masuk ke gedung.

"Assalamualaikum, Pak, kenalkan ini Naila, dia akan bekerja di unit saya sebagai koki," sapa Raksa pada penjaga gedung besar dan mewah. "Nai akan datang siang dan sore hari, mohon bantuannya, ya, Pak," lanjut Raksa.

"Iya, Dek Raksa. Monggo, tenang saja, nanti bapa bantu neng Nailanya, kalau dia butuh sesuatu." Sang penjaga menjawab dengan sopan.

Nai melihat interaksi antara Raksa dan salah satu penjaga gedung. Mereka terlihat akrab, dan saling menghargai. "Terimakasih, Pak," ucap Nai sopan.

"Neng Naila tenang saja, jika butuh sesuatu datang ke post bapa saja, ya." Ucapan pak penjaga itu membuat Nai mengangguk paham.

Raksa kemudian mengajak Nai menaiki lift, kembali Nai memilih tempat paling belakang untuk menghindari bersebelahan langsung dengan Raksa. "Nai kenapa berdiri di pojok, sini di sebelah saya." Raksa masih saja merasa aneh saat Nai terus menjaga jarak.

"Tidak apa, A, saya di sini aja." Nai menolak dengan halus, dia juga merasa sungkan jika harus bersebelahan dengan Raksa. Merasa tidak pantas juga.

Raksa mengerutkan kedua halisnya. "Nai saya tidak suka, ya, kamu berprilaku seperti itu, dalam hal pekerjaan kita memang bawahan, tapi santai saja, jangan terlalu kaku." Raksa mencoba menjelaskan bahwa saat bekerja dengannya tidak berlaku atasan bawahan seperti pada umumnya.

Nai hanya diam, dia memikirkan perkataan Raksa. Bagaimana dia bisa sesantai itu, tetap saja Nai harus menjaga jarak. Raksa adalah atasanya, dia harus belerja profesional. "Saya merasa sunkan, A. Saya takut lancang saat berdiri di samping Aa." Nai akhirnya mengutarakan keresahannya dan ada satu lagi, tidak mungkin dia bicarakan.

Raksa terdengar tertawa renyah. "Kamu lucu, Nai. Santai saja, jangan anggap saya atasan kamu, biasa saja, kalau bisa anggap teman seperjuangan, karena saya pun sama sepertimu, belerja di bawah seseorang, jadi jangan terlalu tidak enakan."

Nai tidak mau berpikiran lebih lanjut, dia hanya mengangguk. "Iya, Aa." Raksa kemudian mengangguk, tangannya refleks mengusap lembut kepala Nai, membuat wanita itu terdiam terpaku.

Sadar dengan kondisi tidak biasa, Raksa kemudian buru buru melepaskan tangannya. "Maaf, Ya, Nai, saya replek," ucap Raksa saat sadar dengan apa yang dia lakukan. Entah kenapa dia sangat ingin mengusap kepala Nai.

"Lain kali hati-hati, ya, A." Nai memincingkan kedua matanya, memperingati Raksa yang masih tersenyum konyol.

Raksa mengangguk, dalam hatinya tertawa puas. "Ya udah, yuk, udah sampai," ucap Raksa, saat lift sudah sampai di lantai dua puluh.

Saat lift terbuka, nampaklah ruangan kecil dengan satu pintu tidak jauh dari lift. "Itu pintu apartemen saya, Nai." Raksa berbicara sembari berjalan mendekat. "Ayok masuk, kodenya 1*****, kamu harus ingat, ya, dan jangan kasih kode ini ke orang lain," lanjut Raksa sembari memasukan nomor kode pintu apartemennya.

"Baik, A, saya sudah mengingat dan menyimpan kodenya di ponsel." Nai ikut masuk ke dalam apartemen, dan alangkah terkejutnya dia saat melihat keadaan dalamnya. Begitu luas jika dibanding ukuran apartemen biasa, isinya komplit ada tiga kamar, dapur, ruang tamu, ruang olahraga, balkon yang menampakkan pemandangan kota. "Wow... Rumah impian banget ini," ucap Nai tidak sadar.

Raksa hanya tersenyum melihat Nai, pria itu menggeleng pelan saat mendengar ucapan Nai. "Ayo Nai, saya tunjukin kamu di manda dapurnya." Raksa mengajak Nai, dia replek akan menarik tangan Nai, tapi langsung sadar bahwa dirinya tidak bisa melakukan itu.

"Iya, A," ucap Nai sembari mengikuti Raksa.

"Saya jarang ada di sini, Nai, tapi seminggu dua kali akan ada orang yang memberaihkan apartemen ini, mungkin kamu nanti akan bertemu." Raksa menjelaskan, dan hanya diangguki oleh Nai. "Nah, ini dia dapurnya," lanjut Raksa saat mereka sudah sampai.

Dapur minimalis yang tertata rapu dengan fasilitas lengkap, warna putih membuat dapur Raksa terasa luas dan mewah. "Kamu bisa mengoprasikan semua perabot ini, kan?" tanya Raksa kemudian.

Nai mengangguk. "Beberapa ada yang tidak bisa, A, tapi jangan khawatir saya bisa mempelajarinya, banyak tutorialnya di youtube." Nai berkata jujur, membuat Raksa tersenyum sembari mengangguk.

"Saya boleh minta ktp kamu, gak, Nai?" tanya Raksa membuat alis Nai mengerut, untuk apa Raksa meminta KTPnya, tidak mungkin kan dia akan menahan ktp Nai selama wanita itu kerja.

Melihat ekspresi Nai yang sudah mulai kalut, Raksa hanya bisa menggeleng dan tertawa kecil. "Saya akan membuka rekening bank kamu, Nai, untuk transfer gaji nanti, kamu jangan mikir yang aneh-aneh dong," ucap Raksa membuat Nai bernapas lega, kembali hal itu membuat Raksa tertawa. "Ya allah, Nai lo bikin gue gemas mulu," ucap Raksa dalam hati.

Nai mengeluarkan KTPnya dari dalam tas, kemudian memberikannya pada Raksa dan saat pria itu menerima dia begitu terkejut melihat satatus Nai dalam KTP. "Kamu sudah menikah, Nai?" Entah kenapa hati Raksa seperti terjun bebas, berbagai pertanyaan kini memenuhi pikiran Raksa.

"Saya sudah bercerai tiga tahun yang lalu, A." Nai menjelaskan keadaanya. "Kenapa, A, apa saya tidak bisa bekerja lagi karena seorang janda?" tanya Nai saat melihat wajah Raksa yang berubah tidak seperti sebelumnya.

Raksa terdiam, entah apa yang dipikirkan oleh pria itu. "Tidak, Nai, kamu masih bisa bekerja di sini. Saya tidak masalah sama sekali." Raksa mencoba menormalkan keadaan. "Oh iya, kamu mau minum apa, Nai?" tanya Raksa.

"Tidak perlu, A, nanti saya ambil sendiri." Nai merasa sungkan saat ditawari minum oleh Raksa.

Raksa menggeleng. "Tidak apa, saya ingin menyambut tamu. Kamu tamu saya Nai," ucap Raksa keras kepala.

"Kalau begitu, air putih saja, A." Nai mencoba menerima perlakuan Raksa, tidak ingin membuat pria itu kecewa juga.

Raksa mengangguk, lalu menyiapkan segelas air untuk Nai. "Rencananya kamu mau buat salad buah seperti apa, Nai?" tanya Raksa memberikam gelas, dia kemudian duduk di kursi, di hadapan Nai.

"Salad buah yang simple, A, dulu saya pernah jualan salad buah yang berat, pakai SKM, keju dan lain lain, tapi sepertinya Aa bakalan tidak suka karena manis banget rasanya." Nai menjelaskan pengalamanya saat membuat salad buah versi ekonomis.

Raksa mengingat sesuatu saat Nai bercerita. "Saya dulu pernah mencoba salad buah seperti itu, dan kamu benar rasanya sangat manis sekali juga kalorinya bikin saya menangis." Perkataan Raksa membuat Nai tertawa kecil.

"Iya A, saya akan buat salah buah simple saja ya, tapi enak. Nanti Aa pasti ketagihan deh," ucap Nai semangat, Raksa terpaku saat melihat Nai tertawa, hatinya seperti mengembang dan ingin meletus saja.

Kedua tangan pria itu mengepal di bawah meja, menahan sesuatu yang dengan bringas memaksa keluar. "Ya udah, saya masuk ke kamar, mau siap siap, untuk siang hari saya mau makanan yang enak, ya Nai, kamu nanti anterin ke kantor." Raksa berdiri cepat dia kemudian mengeluarkan kartu rekening. "Gunakan ini untuk membeli bahan makananya."

Setelah mendapat anggukan dari Nai, pria itu langsung pergi ke kamarnya, mengunci pintu. "Sialan! Naila lo bahaya!" ucap Raksa dengan nada rendah, dia memasuki kamar mandi untuk menuntaskan suatu hal.

Mengasuh Anak MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang