Hari sudah semakin siang, setelah Nai belanja bareng Sintia, dia kini sedang di dapur membuat masakan dipantau oleh mama Raksa. "Kamu udah sering masak rawon, Nai?" tanya Sintia melihat Nai menuangkan Rawon ke dalam mangkuk.
Nai membawa semangkuk rawon ke meja makan, menyimpannya dengan pelan. "Saya jarang buat, Bu, karena jarang beli daging sapi," jawab Nai sembari menyiapkan nasi untuk Sintia. "Silahkan, Bu, dicoba masakan saya."
Sintia mengangguk, dia sudah tidak sabar mencicipi makanan buatan Nai. Dari aromanya saja sudah bikin perutnya lapar. "Dari wanginya saja saya yakin ini enak." Sintia mulai mencicipi satu sendok dua sendok dan memang benar dugaanya. Rawon buatan Nai memang enak banget. "Padahal kamu jarang buat, tapi rasanya sangat enak."
"Alhamdulillah kalau ibu suka." Nai bersukur karena Sintia cocok dengan masakannya mamanya Raksa itu sudah akan menghabiskan rawonnya. "Saya permisi, Bu, mau menyiapkan makanan untuk Raksa."
Sintia mengangguk mengijinkan. "Kasih Raksa lebih, Nai, saya yakin dia akan sangat suka masakan kamu," ucap Sintia yang diangguki oleh Nai. "Kamu tau kantornya?" tanya Sintia kemudian.
"Saya tau, Bu, dekat dengan kontrakan saya, Raksa sendiri yang menunjukan kantornya kemarin," jawab Nai, tangannya sibuk memasukan rawon ke dalam wadah.
"Ya udah, pake motor yang ada di garasi, Nai, tadi Raksa juga sudah titip pesan supaya motor itu kamu pake untuk antar makanannya." Sintia terlihat sudah menghabiskan makananya, dia sudah selesai dan sedang memakan buah.
Nai mengangguk. "Terimakasih, Bu, tapi saya tidak tahu motornya yang mana."
"Ibu juga mau pulang, kita bareng saja, nanti ibu tunjukin."
Kedua wanita beda generasi itu bejalan beriringan keluar dari apartemen, masih membicarakan tentang masakan kesukaan Raksa dan bagaimana pria itu akan sangat menikmati makanannya. Nai sendiri begitu senang karena Sintia begitu baik padanya, memberikan banyak informasi juga. Sungguh harinya sangat sempurna, kecuali tadi dia bertemu Naura.
Bagaimana Naura mencoba membuat Nai terlihat jelek di depan Sintia sedikit membuat Nai takut. Entah kenapa wanita itu bisa begitu membenci, padahal Nai sudah tidak dekat dengan Daniel atau pun Bara.
"Yang putib itu motornya, Nai. Kamu pakai ya, ibu pulang dulu, hati hati di jalannya." Sintia berkata sembari menunjuk motor putih milik Raksa.
Nai mengangguk. "Terimakasih, Bu. Ibu juga hati-hati di jalannya."
Setelah kepergian Sintia, Nai berjalan mendekat ke arah motor. Untung saja dia bisa mengendarai motor jadi tidak perlu pakai angkutan umum, hanya saja Nai harus membuat SIM nanti supaya tenang di jalan.
Dengan kecepatan sedang, Nai membawa motornya membelah jalanan kota. Siang ini sedikit panas, dan karena memasuki jam makan siang, jalanan penuh dengan kendaraan. Nai sedikit kepanasan, dia tidak biasa dengan suhu panas seperti ini. Di kampungnya jarang sekali merasakan kepanasan, karena masih banyak sekali pepohonan.
Meski Nai harus melewati jalanan yang macet dan super panas, dia pada akhirnya sampai di depan gedung tempat kerja Raksa. Motor sudah diparkir, dengan sedikit tidak percaya diri, Nai memasuki kawasan kantor, karena tidak tahu harus ke mana, Nai akhirnya berjalan ke arah tempat jaga. "Permisi, Pak, saya Naila, saya mau mengantar makanan untuk Pak Raksa."
"Silahkan duduk, Neng, bentar saya hubungi dulu orangnya." Nai mengangguk, lalu dia duduk mendengar pak satpam itu berbicara pada seseorang.
Tidak lama, satpam itu menutup panggilannya. "Mari saya antar ke dalam, Neng."
"Terimakasih, Pak."
Nai mengikuti langkah penjaga gedung bertingkat dengan tenang, tangannya memegang tempat makanan dengan sangat kencang ketika melihat kantor tempat kerja Raksa begitu besar dan bersih juga luas. Bukan kantor yang bisa-biasa saja melainkan luar biasa.
"Ruang kerja Pak Raksa ada di lantai delapan, Neng, silahkan, bapa sampai sini saja, ya," ucap satpam itu sembari membuka lift.
Nai mengangguk penuh rasa terimakasih. "Sekali lagi terimakasih, Pak. Mari...." Nai memasuki lift, lalu naik ke lantai delapan di mana ruangan Raksa berada.
Beberapa detik berlalu, kini Nai sudah sampai di lantai delapan. Suasananya begitu tenang, tidak ada pintu lain selain pintu di ujung. Jadi Nai berjalan lurus, setibanya di depan pintu, tepat saat akan mengetuk, dari dalam seseorang keluar, seseorang yang Nai kenal dan sangat berharap tidak akan bertemu kembali dengan pria di depannya. "Nai? Kamu mau ketemu siapa di sini?" tanya Daniel penuh selidik.
Tentu pria itu juga sangat terkejut dengan kedatangan Nai di kantor sahabatnya. Daniel benar-benar tidak menyangka bahwa akan bertemu Nai hari ini. "Saya mau bertemu Raksa, permisi...," jawab Nai seadanya, lalu berjalan masuk melewati Daniel.
"Assalamualaikum," sapa Nai pada Raksa. Pria itu sedang sibuk dengan pekerjaanya yang begitu banyak.
Raksa mengalihkan perhatianya pada Nai. "Akhirnya kamu datang, Nai, saya sudah sangat lapar." Raksa langsung meninggalkan pekerjaanya, berjalan mendekat ke arah Nai untuk mengambil makananya.
Nai menyerahkan tempat makanan pada Raksa. "Alhamdulillah, A, kalau begitu saya pamit ya mau pulang." Nai bersiap akan pergi.
"Tunggu, Nai, duduk di sini, bawa lagi tempat makannya, ya, saya suka kelupaan," ucap Raksa sembari membuka bekal dari Nai.
Nai hanya mengangguk, lalu ikut duduk di samping Raksa. Dari arah pintu, Daniel berjalan mendekat ke arah Nai dan Raksa. "Lo kenal Nai, Sa?" tanya Daniel langsung saat pria itu duduk di depan Nai.
"Lo belum pulang juga?" tanya Raksa bingung dengan sahabatnya yang masih ada di sini. "Iya gue kenal Naila, dia kerja jadi koki gue, masakannya enak dan cocok," lanjut Raksa sesekali memakan makanannya.
"Naila mantan gue pas SMA." Ucapan Daniel membuat Raksa terkejut, juga Nai yang tidak menyangka bahwa Daniel akan terus terang seperti itu.
"Nai mantan lo?" Raksa mencoba mengingat siapa saja pacar Daniel saat masa SMA, dan Nai tidak termasuk dari salah satu mantan Daniel.
Nai menunduk saat kembali mengingat masa SMAnya dulu, dia memang pernah pacaran dengan Daniel tapi tidak lama dan tidak banyak orang yang tahu. Hubungannya kandas saat pria itu mengenalkan dirinya pada Hera. "Iya, A, kami dulu pernah pacaran, tapi memang tidak lama."
Raksa menatap lekat pada Daniel. "Ya terus kenapa kalau lo mantanya Nai?" tanya Raksa penasaran kenapa Daniel harus mengatakan bahwa dirinya adalah mangan Naila.
"Gak apa apa... Cuma mau kasih tau lo aja." Daniel menjadi lebih santai, Nai masih menunduk dia tidak suka ada dalam suasana seperti ini. "Kamu gak bawa lebih makananya, Nai? Saya juga mau makan." Daniel menatap makanan yang dibawa oleh Nai.
"Pulang sono... Minta sama Naura. Nai hanya boleh masak buat gue aja." Raksa terlihat tidak suka dengan kelakuan Daniel, pria itu tidak seperti biasanya. Sikap Daniel sangat dingin pada wanita lain, tapi entah kenapa berbeda sekali saat pada Nai.
"Lo pelit banget, Sa, gue tau masakan Nai enak, tapi lo gak berhak buat monopoli Nai." Daniel tidak mau kalah. "Nai bawain aku juga bekal, ya, kamu dibayar berapa sama Raksa, nantu aku bayar dua kali lipatnya, ya."
Raksa terlihat tidak sengang dengan perkataan Daniel. Pria itu menatap tajam menghunus Daniel, jika tatapan itu pisau, mungkin Daniel sudah terkapar. "Lo jangan seenaknya, gue gak ijinin Nai masak buat lo."
"Lo yang jangan lebai, deh... Nai bebas mau masak untuk siapapun."
Nai menghembuskan napas dengan kasar. Bagaimana bisa dia berada diantara perdebatan receh seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengasuh Anak Mantan
RomanceBagaimana perasaan kamu saat harus terpaksa menjadi pengasuh anak mantan? Rasanya nano-nano, apalagi mantan yang satu ini adalah mantan terindah, yang sekaligus mantan paling membuatmu sakit hati dulu saat berpacaran. penasaran, cus... baca!