Mendapatkan Pekerjaan

5.2K 89 2
                                    

Semilir angin terasa sejuk menerpa wajah lelah dengan kerudung instan warna hitam, perutnya terasa sangat lapar karena seharian harus mengurus rumah tanpa sarapan terlebih dahulu. "Sepertinya aku punya beberapa potong tempe untuk makan sore hari ini." Naila bergegas masuk ke dapur untuk menyiapkan makanan.

Seperti inilah kegiatannya setiap hari, beres beres rumah mantan mertua. Setelah bercerai dengan mantan suami, Naila tidak bisa pergi dari rumah mertua karena dia tidak tahu harus pergi ke mana.

Mantan suaminya juga tidak memberi harta gono gini karena perceraian ini murni atas keinginan Naila.

"Kamu udah selesai beresin rumahnya?" tanya Hilda, mantan mertua Naila yang tiba-tiba masuk ke dapur.

"Alhamdulillah udah selesai, Bu, ini aku mau goreng tempe untuk makan." Naila terlihat begitu hormat pada ibu mertuanya ini, karena menurut di dunia ini tidak ada mantan mertua, mesti dia dan anak lelakinya sudah bercerai tapi Naila akan terus menganggap Hilda sebagai ibunya.

"Kamu gak usah goreng tempe, ini tadi Danu pulang bawa banyak makanan." Hilda menunjukan kantong kresek yang akan dia berikan pada Naila. "Ini kamu habiskan ya," lanjut Hilda menyimpan kantong kresek di piring.

Naila mengangguk. "Terimakasih, Bu. Kak Danu udah pulang ya?" tanya Naila penasaran, karena selama ini udah hampir 3 tahun pria itu tidak pernah pulang.

"Iya, Danu udah pulang. Dia bawa pacarnya, dan beberapa minggu lagi mereka akan menikah." Hilda menatap mantan menantunya sendu.

"Syukur alhamdulillah, Bu. Kalau Kak Danu sudah akan menikah. Aku jadi gak khawatir kalau mau meninggalkan ibu sendiri di sini." Naila terlihat bahagia karena mendengar mantan suaminya itu akan segera menikah lagi.

Kedua halis Hilda terlihat mengerung. "Memang kamu akan pergi ke mana, Nai?" tanya Hilda kemudian.

"Alhamdulillah, Nai dapat pekerjaan, Bu." Nai membuka kresek hitam bawaan ibu mertuanya. "Temen Nai ngajak ke kota, Nai bakal kerja jadi babysitter di sana."

Hilda tersenyum mendengar perkataan Naila. "Syukur kamu udah dapat kerjaan, Nai. Kamu kan emang pintar mengurus anak. Jadi ibu yakin, kamu pasti betah di sana nanti," lanjut Hilda dengan nada sedih.

"Aamiin, Bu. Doain Nai, ya, supaya betah kerja di kota." Nai sedih saat melihat mertuanya yang juga sedih. "Lagian, setelah Kak Danu menikah, Nai juga harus cepat pergi dari rumah ini kan, Bu... Itu perjanjian kita semua."

"Iya, maafkan ibu, ya, kalau selama ini ada salah sama kamu." Hilda memeluk menantu kesayangannya ini, dia sungguh tidak rela akan kehilangan Nai. "Coba saja kamu sama Danu masih berjodoh, ibu pasti senang banget."

"Ibu jangan bicara gitu, malah Nai sangat terbantu. Kalau tidak ada Ibu, pasti Nai sudah jadi gelandangan di luaran sana." Nai balas memeluk pelukan Hilda.

"Iya, ya udah sana makan. Kamu pasti laper kan?" Nai mengangguk, lalu dia makan dengan pelan menikmati setiap rezeki yang Allah berikan padanya.

Hilda menatap menantunya sendu. "Andai saja kamu bisa memberikan Danu Anak, Nai... Pasti putra ibu tidak akan selingkuh dan bikin kalian cerai."

🌼🌼🌼

Terik matahari terasa begitu panas di tengah kota yang terlihat ramai oleh kendaraan. Seorang wanita berkerudung hitam begitu sabar menunggu seseorang untuk menjemputnya. "Kamu di mana, Rina?" tanya Naila sembari menggenggam botol mineral.

"Sebentar lagi, ya, Nai... Aku lagi di jalan, nih," jawab suara di sebrang ponsel.

"Iya, aku tunggu ya." Naila terlihat menyimpan ponsel jadulnya ke dalam saku tas. Lalu matanya begitu semangat melihat suasana kota yang ramai. Apalagi di setiap sudut banyak sekali pedagang kaki lima berjualan.

Naila sendiri dari tadi sudah mencicipi beberapa makanan ringan yang dijual, sungguh rasanya sangat enak... Apalagi yang dinamakan bakso. Maklum, di desa tempatnya tinggal dulu tidak ada yang berjualan bakso.

Suara menangis tiba-tiba terdengar oleh Nai dari tempat tidak jauh dia duduk. Nai langsung terkejut karena melihat seorang anak kecil sedang menangis. Tanpa menunggu apapun, wanita itu langsung berjalan mendekat. "Dek... Kamu sedang apa?" tanya Nai pada anak kecil yang terlihat sangat imut dan tampan.

"Hu... Bala mau jajan." Anak kecil itu masih menangis dan bicara cadel, matanya sedikit merah karena tidak berhenti menangis.

"Bala?" Nai mengulai nama yang disebutkan oleh anak kecil tadi.

Anak kecil itu berhenti menangis, lalu menatap tajam Nai. Seolah dirinya tidak suka saat Nai memanggil dengan nama salah. "Bala... Bukan Bala...." Anak kecil itu terdengar galak, lalu menangis kembali.

Nai merasa tidak enak hati, jujur dia tidak tahu nama yang benar. "Bara?" tanya Nai kembali setelah berpikir dengan keras. Syukur anak kecil itu mengangguk. "Bara kenapa nangis, Sayang?" tanya Nai kembali, dia tidak mau membuat Bara ketakutan.

"Bala mau jajan, Tante." Bara kembali menghentikan tangisannya, lalu menunjuk pedagang ice cream.

"Cup.. Cup... Jangan nangis lagi ya, yuk Tante beliin Ice cream." Nai mengajak Bara untuk membeli ice cream.

"Benel nih, Tan? Bala boleh jajan ice cleam?" tanya Bara sembari melihat ke sekeliling, Nai tidak tahu tapi saat ini Bara terlihat sangat waspada.

"Boleh dong, yuk."

Bara dan Naila berjalan ke penjual ice cream. Anak kecil itu terlihat sangat senang karena sekarang bisa menikmati jajanan dingin nan segar itu. "Papa sama Mama kamu di mana, Bar?" tanya Naila terlihat gemas dengan kelakuan Bara.

"Aku gak tau mama dimana, tapi Papa sedang kelja, tan," jawab Bara sembari memakan cepat ice cream miliknya. Dia terlihat buru-buru entah kenapa.

"Duh... Tante bingung mau bawa kamu ke mana Bar, tante gak tau rumah kamu di mana." Nai mulai memikirkan untuk mengantarkan Bara pulang ke rumahnya, tidak mungkin meninggalkan Bara sendiri di jalan.

Bara terlihat berhenti memakan ice creamnya, lalu menatap Naila. "Telimakasih, ya Tan. Tante gak perlu lepot, bala bisa pulang sendili," jawab Bara dengan percaya diri dan cadel.

"Mana bisa gitu...." Perkataan Naila terhenti karena dipotong oleh suara dingin entah milik siapa.

"Kau mau bawa kemana anakku, hah?" tanya suara itu dengan nada tidak ramah. "Apa ini bentuk balas dendammu?" lanjutnya membuat jantung Naila mulai berdebar kencang.

Sungguh, Naila tahu suara siapa ini, dan saat melihat jelas pemilik suara tadi seketika jantungnya berhenti. Setelah sekian lama, bagaimana bisa dia dipertemukan kembali dengan pria yang tidak bisa dia lupakan.

"Anda salah paham, Tuan." Naila berbicara dengan gugup, bagaimana tidak... Sosok pria di depannya ini begitu mengintimidasi dengan segala kemewahan yang dia tempelkan pada tubuhnya.

Daniel... Nama pria itu. Dia mengisyaratkan diam pada Naila, lalu menatap galak pada Bara yang terlihat ketakutan di bawah sana. "Pulang sekarang." Bara langsung mengangguk patuh terhadap perintah papanya.

"Dadah, tante.... Makasih ice cleamnya," ucap Bara tanpa rasa bersalah, meninggalkan Naila bersama dengan Daniel.

Daniel sendiri terlihat diam memperhatikan Naila, tatapanya begitu tajam entah kenapa, lalu saat mata Naila bersipandang dengan mata Daniel... Pria itu langaung memalingkan wajah, lalu pergi dari hadapan Naila tanpa mengucap apapun lagi.

Barulah setelah itu Naila bisa bernafas lega. "Astagfirullah... Dia masih saja galak."

"Nai... Kamu dari mana saja?" tanya Rina, wanita itu sudah sampai dari tadi. "Aku lihat kamu tadi bertemu Pak Daniel deh... Bener kan?" lanjut Rina bertanya.

Nai mengangguk. "Iya, sama anaknya juga tadi."

"Syukur deh, tadi anak kecil itu yang akan kamu asuh, Nai," ucap Rina membuat Nai ingin pingsan saat ini. Dunia ini benar-benar sesempit itu kah. Sampai Nai harus mengurus anak mantan pacarnya dulu waktu SMA.

Vote dan komentar untuk membantu cerita ini supaya naik ya teman-teman.

Mengasuh Anak MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang