2. Sejarah Kutukan

17 6 0
                                    

"PADA zaman dahulu, di dunia Dewa dan Dewi, lahirlah dua anak kembar, Odette dan Rothbart." Marceline membacakan bukunya sambil berdiri di bangkunya, persis seperti yang Pendeta Baran perintahkan. Selain menjadi seorang pendeta, Pendeta Baran juga merangkap diri sebagai pengajar di Akademi.

Marceline kemudian melanjutkan, "Anak kembar tersebut dikaruniai masing-masing kekuatan. Odette dengan kekuatan cinta dan Rothbart dengan kekuatan kebencian."

Teman-teman sekelas melihat dan mendengar dengan saksama cerita yang Marceline sampaikan. Padahal, kisah itu sudah ada dalam buku di meja mereka masing-masing. Ya, bagaimana tidak? Marceline adalah siswi yang memesona. Beberapa siswa bahkan lebih memilih menatap Marceline daripada buku yang ada di meja. Beberapa siswi juga begitu, tetapi beberapa ada yang lebih memilih untuk ikut membacanya.

Aru adalah salah satu siswi yang mendengar dan membaca cerita ini dengan serius. Harapannya hanya satu, cara mematahkan kutukan Rothbart.

"Karena kekuatan yang bertolak belakang, mereka pun mendapat perlakuan yang berbeda. Odette didekati oleh banyak manusia, dicintai, bahkan manusia pun dengan sukarela mau menjadi pengikutnya. Dia juga disukai oleh kalangan Dewa dan Dewi karena kehangatan dan cinta yang dia miliki. Berkebalikan dengan Rothbart. Dewa dan Dewi menjauhinya karena kekuatan yang dia miliki dianggap berbahaya dan membawa petaka. Manusia juga enggan menjadi pengikutnya karena takut menjadi sesat.

"Rothbart yang kesepian pun akhirnya menjauhi semua orang, dan memutuskan mengurung diri di kediamannya. Odette yang memiliki empati tinggi pun berkunjung ke kediaman saudaranya yang berada di Gunung Kegelapan. Bermaksud menemaninya dan menghiburnya.

"Namun, sesampainya di sana, Rothbart malah menyerang Odette, dan menganggap bahwa Odette adalah sumber petaka dalam hidupnya. Pertarungan sengit pun terjadi kala itu. Efeknya bahkan sampai ke Roroanna yang permai.

"Dewa dan Dewi yang mencintai Odette pun turut serta membantunya, juga pengikut manusia-manusianya yang setia. Rothbart berhasil dikalahkan saat itu. Namun, sebelum di buang ke Dimensi Kegelapan, Rothbart yang kejam malah membuang energi terakhirnya ke langit Roroanna. Sebuah kutukan."

Dua kata terakhir sukses membuat Aru merinding. Dia sedari tadi betul-betul mendengarkan dan membaca cerita Odette.

Di mata pelajaran ini, biasanya Aru akan mengantuk dan tertidur di kelas, dan setelah itu, dia akan dibangunkan oleh temannya yang berada di bangku sebelah kiri atau kalau tidak, dia akan dibangunkan oleh Pendeta Baran. Namun kali ini tidak, Aru betul-betul serius mendengarkan dan membaca. Bahkan teman di sebelahnya juga sesekali meliriknya dengan heran. Tak biasa melihat Aru serius begini, atau mungkin, Aru sudah tobat karena terlalu sering ditegur Pendeta Baran? Bisa jadi.

"Sebelum benar-benar masuk ke dalam Dimensi Kegelapan, Rothbart kemudian berkata pada pada seluruh warga Roroanna, "setiap seratus tahun sekali akan ada satu warga yang menerima kutukanku. Kutukan itu tidak akan bisa dipatahkan, kecuali oleh kematian itu sendiri!" Dan setelahnya, dia pun lenyap."

Lengang sejenak. Semua orang terperangah. Terkejut, bagaimana Marceline memeragakan seruan Rothbart yang terdengar kejam dan mengutuk. Beberapa ada yang kagum, beberapa ada yang merinding. Aru salah satu orang yang merinding itu. Wajahnya pucat pasi.

Kemudian, sorak-sorai pun terdengar. Beberapa ada yang bertepuk tangan, beberapa ada yang memuji dan berseru bahwa akting yang dilakukan Marceline sangat bagus dan sangat menjiwai.

Marceline tersenyum mendengar sorak-sorai itu. Dia sesekali menganggukan kepala dan berterima kasih.

Pendeta Baran tersenyum sambil terkekeh. Dia pun menyuruh Marceline untuk duduk kembali.

The Dancing Duck [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang