INILAH kesibukan yang Aru maksud. Lagi-lagi, dia memiliki janji dengan Max untuk mengajarinya Swan Lake. Max seperti biasa, berdiri di bawah pohon willow, menunggunya sambil melambaikan sebelah sayapnya yang mungil.
"Idih, kau senyum-senyum sendiri, mirip orang gila," ejek Max. Begitu Aru baru sampai di dekatnya. Aru langsung kesal, dan seketika mematuk itik ini. "Aw, aw, aw! Maaf, maaf, aku bercanda! Aku bercanda!"
"Aku tidak mau mengajarimu lagi, kalau kau mengejekku terus!"
"Waduh, jangan begitu, dong. Kalau kau tidak mengajariku, nanti jodohmu lama datangnya, loh."
"Kau mendoakanku lajang selamanya, ya?"
"Eh, ti-tidak, bukan begitu!"
Bukannya langsung latihan, keduanya malah kejar-kejaran. Aru berlari mengejarnya, mematuk itik itu sampai Max berseru minta ampun. Keduanya terus melakukan itu, sampai cahaya mentari mulai menghilangkan dirinya secara perlahan.
Setelah keduanya merasa lelah dan sadar telah membuang waktu, akhirnya keduanya pun memutuskan untuk latihan. Max memegang pinggang Aru-meski secara harfiah, rata-rata tubuh anak itik berbentuk bulat-dan Aru selaku itik yang dipegang pinggangnya berputar. Sebelah kaki selaputnya kemudian diruncingkan, dan satu kakinya yang lain terangkat. Paruh mungilnya juga berbunyi, menyenandungkan musik Swan Lake.
"Hei, ini aneh, mana angsa betina yang kita lihat beberapa waktu lalu?" Aru tiba-tiba bertanya, menghentikan senandungnya sejenak sambil melihat ke arah danau-kemudian bersenandung lagi. Max lantas mengangkat tubuh itik ini dengan kedua sayapnya, lalu menerbangkan Aru ke arah kanan. Kedua sayap Aru terangkat lembut nan anggun, menghayati tarian dengan masih bersenandung. "Pergi, bersama pejantan lain."
Aru berhenti bersenandung atas jawaban Max. Dilihat dari ekspresi pejantan itu, dia tampak murung. "Oh, sayang sekali. Kau tidak sakit hati?" Aru bertanya sembarangan. Dalam sedetik, Aru terdiam. Dia langsung menyesali pertanyaannya.
"Lumayan, tapi salahku sendiri tidak memikatnya atau tidak berbicara dengannya secara langsung. Aku bodoh karena terus menyukainya dalam diam."
"Kau tidak bodoh, kau hanya mengikuti kata hatimu," kata Aru, lagi-lagi setelahnya dia bersenandung. Tubuhnya berputar, tetapi kemudian wajahnya bertemu dengan wajah Max. "Tapi, kenapa kata hatiku menyakitiku?"
"Kata hatimu tidak pernah menyakitimu, Max. Kau sendiri yang berekspektasi terlalu tinggi."
Max mengernyitkan keningnya, lagi-lagi itik betina yang ada di depannya memutar tubuhnya, lalu berlari menjauhinya. Aksi ini termasuk dalam koreo yang telah diajar Aru, dan Max, selaku balerino abal-abal langsung mengejarnya, dan memegang sayap itik betina itu dengan lembut.
"Aku? Berekspektasi?" tanyanya, keheranan, Aru menjawab, "iya, saat kita menyukai seseorang, terkadang kita membayangkan sesuatu yang tidak nyata. Seperti membayangkan kebersamaan kita dengan orang itu, hal-hal romantis dengan orang itu, dan waktu yang kita habiskan bersama orang itu. Namun, sayangnya, kenyataan seketika membanting kita seolah memberitahu kita bahwa kita tidak pantas bersanding dengan orang tersebut."
"Kenyataan sangat jahat, ya."
"Kenyataannya yang jahat, atau kitanya yang terlalu berharap?" tanya Aru, dia tertawa kecil di akhir. Lagi-lagi membahas tentang ekspektasi. "Yah, meski kenyataan memberi kita pil pahit, setidaknya ia mencoba memberitahu bahwa orang yang bersama kita, belum tentu baik untuk kita. Kemarin, aku mendengar Pendeta Baran berucap, "bahwasannya, semuanya terjadi karena kehendak Dewi". Dewi menjauhkanmu dari angsa itu karena Dia mengira bahwa angsa itu tidak baik untukmu. Karena itu, sebagai gantinya, Dia akan memberimu bebek betina yang baik suatu hari nanti," kata Aru, panjang lebar. Dia kembali bersenandung, lagi-lagi berputar di depan Max.
Aru menyembunyikan senyumnya. Dalam hati, terkikik geli. Astaga, aku bijak sekali!
Terus terang, Aru tidak pernah mengatakan hal sebijak ini sebelumnya. Mungkin mengajari Orion, bergaul dengan Jasmine, dan mengobrol dengan Max, membawa dampak positif baginya. Selain itu, mengatakan hal barusan juga membuatnya merasa menjadi sangat keren dan penuh wibawa.
Entah kapan, Aru akan mengatakan hal-hal bijak lagi, dan semoga Max mau mendengarkan kata-kata bijaknya.
"Hei, Shani." Max memanggil. Sayapnya mungilnya memegang sayap Aru. Aru mengangkat sebelah kakinya. "Hm?"
"Kau ingin dicintai sebagai apa?"
"Eh?" Aru terdiam, bingung. Tubuhnya kembali fokus pada tarian. "Ma-maksudnya?"
"Saat ini, kau punya dua versi, versi manusia, dan versi itik. Jika kau dicintai oleh seseorang, kau ingin dicintai sebagai apa?" tanya Max. Aru lagi-lagi terdiam, berpikir. Kakinya meruncing, bergerak lincah dengan sayap yang dikepak pelan. "Aku harap orang yang mencintaiku bisa mencintai semua versiku."
"Semua versimu?" tanya Max, dia malah mengangkat sebelah alisnya. Aru mengangguk, "iya, aku memiliki dua versi, manusia dan itik. Jika orang yang kucintai tahu kalau aku dikutuk, aku harap dia bisa menerimaku apa adanya seperti aku menerima hidupku. Sekarang ini, aku memutuskan untuk menerima diriku meski aku menjadi jadi itik sekalipun. Aku tidak ingin terus-menerus mengeluh dan diam di tempat seolah menunggu keajaiban. Aku ingin membuat keajaiban itu sendiri, dan jika aku membuatnya, siapa tahu Dewi Odette bersedia membantuku, 'kan?"
"Oh, begitu. Pantas, aku jarang mendengarmu mengeluh akhir-akhir ini."
"Oh, ya? Ahahaha. Syukurlah."
Langit secara perlahan mulai menggelapkan diri. Rumah-rumah dari kejauhan, Akademi, kuil, satu-persatu mulai bercahaya. Bermandikan lampu bohlam aneka warna-teknologi Roroanna yang telah ditemukan ratusan tahun lalu. Langit pun tidak mau kalah dengan manusia. Ia juga perlahan menunjukkan ratusan lampu alami dari atas sana, berbintang, menyinari bumi dengan dibantu oleh sang bulan.
Kunang-kunang yang bersembunyi di dalam semak-semak pun terbang keluar, menyinari Aru dan Max yang masih menari. Terbang mengelilingi keduanya, tanpa takut dua itik itu akan mematuk mereka sebagai makanan. Aru sendiri aslinya adalah manusia, dia tidak memakan kunang-kunang, entah Max selaku unggas, apakah dia betulan suka makan kunang-kunang atau tidak.
Pohon willow tempat mereka latihan, perlahan dipenuhi cahaya yang berterbangan. Kunang-kunang. Beberapa ada yang terbang tidak tentu arah, beberapa ada yang bertengger di sela-sela daun, berkumpul.
Aru dan Max sontak berhenti menari. Kepala mereka menengadah, menatap kunang-kunang yang berterbangan.
"Cantik sekali ...." Aru memuji, menatap serangga-serangga itu dengan mata berbinar. Max tiba-tiba menginterupsi, bertanya, "Shani, aku mau tanya lagi."
"Kau mau tanya apa?"
"Boleh, aku menyukai semua versimu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dancing Duck [END]
FantasyBIG WARNING! Cerita ini mengandung bab acak tetapi alurnya masih berhubungan. Diri ini udah beberapa kali ngatur bab-nya tapi tetap aja gitu. Entah apa yang terjadi dengan si Wattpad, diri ini tak tahu. So, kalo kamu pengen baca cerita ini silakan^...