MENGEPALKAN kedua tangan di atas pangkuan adalah tindakan yang baik untuk saat ini. Setelah Insiden itu, Jasmine dengan baik hati langsung membawanya ke asrama secara diam-diam. Alasan kenapa dia berbuat begitu karena Jasmine tidak ingin ketahuan karena telah membawa hewan ke asrama. Membawa hewan ke asrama adalah tindakan terlarang, makanya dia membawanya secara sembunyi-sembunyi.
Aru kira, Jasmine akan langsung membawanya ke kamar, tetapi ternyata, gadis ini malah membawanya ke kamar lain yang ada di lantai dua. Kamar Marceline.
Aru terkejut bukan main saat itu, juga bertanya-tanya. Kenapa Jasmine malah membawanya ke kamar Marceline? Apalagi di kamar Marceline bukan hanya ada dirinya, tetapi Rose juga ada di sana!
Jasmine melepaskan Aru di atas nakas setelah keduanya masuk ke dalam kamar. Semuanya memutuskan untuk bungkam setelahnya, dan akan melontarkan berbagai macam pertanyaan pada Aru esok paginya.
Esok pagi yang dimaksud adalah hari ini. Dengan balutan seragam latihan-kaos hitam tanpa lengan dengan rok tutu. Aru menatap ketiga gadis ini. Tiga gadis yang memakai pakaian yang teramat berbeda dengannya. Piyama.
Aru meneguk ludahnya sejenak. Tak mengira kalau wujud itiknya diketahui oleh ketiga gadis ini. "Pe-pertama-tama, a-aku mau berterima kasih pada kalian yang sudah mau menampungku dalam wujud itik. Ma-maaf kalau wujud itikku merepotkan kalian." Aru menunduk sangat dalam pada Marceline selaku tuan kamar, dan Rose selaku asistennya.
Marceline mengibaskan tangannya, menganggap apa yang terjadi semalam bukan masalah besar. Sementara Rose, dia melipat kedua tangannya di dada dan mengangguk. Merasa bahwa Aru pantas mengatakan itu pada Marceline.
Setelah menunduk dalam pada kedua gadis ini, barulah setelah itu Aru menunduk dalam pada Jasmine. "Aku juga ingin berterima kasih padamu, Jasmine. Tanpamu, mungkin aku sudah tamat."
Jasmine mengibaskan tangannya di wajah dengan cepat. Merasa tak enak dengan tingkah Aru yang menurutnya tak perlu. "Sudahlah, itulah gunanya teman 'kan?"
"Tapi tetap saja, terima kasih banyak." Aru lagi-lagi menunduk. Rose mendecak, sorot matanya tajam ke arah Aru. "Sudah-sudah, mumpung masih pagi, kita langsung bahas saja."
"Ta-tapi Rose, ini 'kan hari libur." Marceline menyela. Sikap Rose yang buru-buru, bisa membuat orang lain tidak nyaman. "Tetap saja, lebih cepat lebih baik 'kan?" balas Rose, matanya langsung menyalang pada Aru.
"Kau pasti bingung kenapa kami semua tahu, 'kan?" tanya Rose, kemudian. Aru terdiam sejenak, lalu mengangguk patah-patah. Bohong kalau dia tidak ingin tahu dan bohong kalau dia tidak penasaran. Tiga gadis ini sudah tahu tentang kutukannya dan itu membuat dirinya syok. Jika tiga gadis ini sudah tahu, maka Aru pun harus tahu!
Rose lagi-lagi menyilangkan kedua tangan di dada, lantas mengangkat dagu. Dia seolah bangga akan sesuatu. "Nah, kalau begitu, berterima kasihlah pada Marceline, karena dia sudah mengetahui kutukanmu duluan." Kedua tangan Rose mengarah ke gadis yang sudah dia sebutkan. Posisi Marceline, ada di dekatnya.
"Iya, Marceline sendiri yang cerita padaku kalau kau dikutuk. Aku awalnya tidak percaya, sih, tapi karena aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, akhirnya aku percaya." Jasmine seolah melengkapi apa yang Rose katakan, dan posisinya juga ada di sisi lain Marceline.
Aru berkedip, terkejut. "Eh? Marceline? Kau ... kau sudah tahu sedari awal kalau aku dikutuk?" tanya Aru. Marceline selaku narasumber mengangguk. "Benar."
"Ba-bagaimana bisa?"
"Itu karena keluarganya Marceline memiliki mukjizat." Malah Rose yang menjawab, dan Marceline tidak masalah dengan itu. "Keluarga Marceline adalah salah satu dari sekian banyaknya manusia atau keluarga yang setia pada Dewi Odette. Karena kesetiannya, Dewi Odette pun memberikan semacam anugrah atau mukjizat pada salah satu anggota keluarga Marceline, yaitu kemampuan untuk melihat kutukan."
Marceline mengangguk pada Rose, membenarkan ucapannya. "Iya, Nenekku sendiri yang cerita padaku, bahwa ribuan tahun lalu, Dewi Odette telah memberikan anugrah ini pada keluargaku. Meski kekuatan melihat kutukan terdengar keren, nyatanya, kekuatan ini hanya akan aktif setiap seratus tahun sekali, dan aku, salah satu keluarga Lewis akhirnya menerima anugrah ini, dan ditugaskan untuk melindungi orang yang terkena kutukan."
"Dan orang yang terkena kutukan itu adalah kau!" Jasmine tiba-tiba melengkapi, membuat Aru jadi menyalang ke arahnya. "Jujur, aku syok sekali setelah mengetahuinya. Maksudku, tak mungkin seorang Arunika terkena kutukan Rothbart."
"Jasmine, alasan kenapa dia terkena kutukan, karena dia jarang pergi ke kuil. Kutukan Rothbart akan bekerja pada orang yang malas beribadah." Ucapan Rose membuat Aru merengut kesal. Meski harus dia akui, Rose memang benar.
"Tapi meskipun begitu, bukan berarti kutukan ini tak ada obatnya, Rose. Kutukan ini-"
"Benarkah?" Aru melotot. Berusaha mencerna ucapan Marceline barusan. "Kutukan ini ada obatnya? Maksudnya bisa menghilang?" tanya Aru. Matanya berbinar antusias. Saking antusiasnya, gadis ini langsung menyeret lututnya, dan mendekati Marceline.
"Kumohon, katakan apa obatnya Marceline, kumohon! Aku tidak ingin jadi itik lagi, aku tidak mau dikutuk lagi." Aru memohon dengan sangat. Dia menunduk seperti tadi, hanya saja dengan lebih dalam. Rose dan Marceline saling tatap. Setelah beberapa saat, Marceline pun menjawab. "Akan kuberitahu. Obat sebenarnya tergantung bagaimana perilaku dan perbuatanmu selama kau masih hidup. Apa kau mau mendengarkan detailnya?" tanya Marceline.
Aru mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Dia bersedia mendengar apa yang Marceline katakan asalkan ucapannya masih nyambung dengan kutukan yang menimpanya. Marceline tersenyum tipis, lalu menjelaskan. "Baiklah, obat pertama adalah kau harus rajin pergi ke kuil seminggu sekali, tidak boleh bolos kecuali kalau kau sakit. Obat kedua adalah kau harus menerima dirimu apa adanya, entah kau dalam wujud manusia ataupun itik, dan obat yang ketiga ...."
"Yang ketiga, apa obat yang ketiga?" Aru bertanya tak sabaran.
Baiklah, Aru sudah mengetahui obat pertama dan obat kedua. Sulit untuk dilakukan, tetapi Aru akan tetap melakukannya sampai dia terbiasa. Obat yang ketiga bisa jadi masih berhubungan dengan perilakunya. Makanya, Aru pun mempersiapkan indera pendengarannya dengan baik.
Bukannya langsung menjawab, Marceline malah menatap Rose. Minta diwakilkan.
Rose yang tahu tatapan itu pun malah mengendikkan bahu dan melirik ke arah Aru dengan cepat. Rose memberi isyarat, akan lebih baik kalau Marceline saja yang menjelaskan. Rose sudah tahu tiga obat kutukan, mengingat Marceline sendiri yang pernah cerita padanya. Karena Marceline yang lebih tahu, jadi akan lebih baik kalau Marceline sendiri yang memberitahu.
Marceline menghela napas, dan terkekeh tak enak. Meski tidak dekat dengan Aru, rasanya Marceline tahu akan seperti apa reaksi gadis ini.
Aru adalah gadis yang aktif, ceria, dan senang bergaul. Karena watak inilah, Marceline jadi takut dengan reaksi Aru yang tampaknya bakal bising dan penuh dengan protes.
"Obat ketiganya ...." Marceline berkata ragu-ragu, sementara orang yang dikutuk terus menatapnya dengan tak sabar, dengan pandangan yang berbinar-binar pula. "O-obat ketiganya ... obat ketiganya, kau harus mencintai unggas jantan dengan tulus."
"APA?" Aru berseru kaget. Matanya melotot tak percaya dan dia bahkan berdiri dengan lututnya karena saking tak percaya.
Rose memutarkan bola matanya sambil menghela napas. Jasmine menganga, syok dengan obat ketiga yang sudah disebutkan Marceline, dan Marceline sendiri menatap gadis itu pasrah.
Dia sudah menduga kalau Aru akan bereaksi begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dancing Duck [END]
FantasyBIG WARNING! Cerita ini mengandung bab acak tetapi alurnya masih berhubungan. Diri ini udah beberapa kali ngatur bab-nya tapi tetap aja gitu. Entah apa yang terjadi dengan si Wattpad, diri ini tak tahu. So, kalo kamu pengen baca cerita ini silakan^...