14. Sebuah Imbalan

6 4 0
                                    

"INDAH sekali!"

Rasanya, ini untuk pertama kalinya Aru mendengar pujian itu dari mulut Bu Ynaiv, semenjak dia masuk ke Akademi. Aru tidak berpikir kalau wanita ini adalah seorang yang kasar yang jarang memberi muridnya apresiasi. Justru, dia adalah seorang yang menyenangkan dan juga bijaksana. Semua orang menyukainya, termasuk Aru.

"Kalian menari seperti sepasang angsa yang cantik. Aku seolah bisa merasakan detak jantung kalian dan chemistry di antara kalian berdua. Benar-benar sempurna."

Aru tertawa kecil dengan mimik muka tidak enak, sementara Orion mengusap tengkuknya, malu-malu. Terkadang, pujian yang diberikan Bu Ynaiv bisa berlebihan seperti ini.

"Te-terima kasih." Aru merespons gugup, dan Orion sendiri meresponsnya dengan anggukan. Bu Ynaiv kemudian menepuk tangannya sebanyak dua kali, membuat pandangan semua siswa-siswi mengarah padanya. "Baiklah semuanya, latihannya sudah berakhir, dan selamat beristirahat. Berhati-hatilah saat pulang ke asrama."

"Baik, Bu Ynaiv!"

Wanita itu pun berlalu dari ruang latihan, meninggalkan siswa-siswinya yang langsung membenah tas masing-masing. Beberapa ada yang langsung keluar, beberapa ada yang diam di ruang latihan, mengobrol, atau mengoreksi beberapa gerakan yang dirasa salah.

Aru menoleh ke arah Orion. Dilihatnya lelaki itu, masih tersenyum lebar setelah kepergian Bu Ynaiv. "Kau terlihat senang."

"Haha, iya, rasanya, ini untuk pertama kalinya aku tidak membuat kesalahan saat menari," sahutnya. Senyumannya tidak lepas dari wajahnya. Aru ikut tersenyum mendengarnya, tetapi kemudian, wajahnya berubah datar. "Kau tidak merasa, ya? Tadi kau sempat menginjak kakiku, tahu."

"Eh? Yang benar?" Wajah senang Orion berubah panik. Aru tertawa. "Tidak kok, kau menari dengan sangat baik," ucapnya.

Dia kemudian menghampiri tasnya yang tergeletak di dekat dinding, lantas mengambil sesuatu dari sana. Sebuah botol air. Orion juga melangkah ke arah yang sama, dan mengambil botol air di tasnya yang terletak di samping tas Aru. "Kau jangan membuatku panik, dong," katanya, lalu meminum airnya sambil jongkok, sementara gadis di sampingnya minum dengan posisi duduk.

"Bercanda, bercanda." Aru masih sempatnya cekikikan setelah dia meminum airnya. Sudah beberapa hari Aru memutuskan fokus pada latihan serta duetnya, dan sudah beberapa hari pula, dia mengajari Max si itik kecil penggila angsa betina itu. Alasan mengapa Aru menjulukinya begitu, karena itik itu sudah jelalatan melihat angsa betina yang terbang atau berenang di sekitar danau.

Aru tidak tahu, kapan angsa-angsa cantik itu muncul, tetapi berkat munculnya mereka, Max terkadang jadi tidak fokus pada latihannya.

"Hei, setelah ini, mau pergi ke kantin?"

Baru saja Aru berdiri dan mengaitkan tas selempangnya ke bahu, Orion langsung bertanya, secara tiba-tiba. Aru jadi terkejut. Jarang sekali Orion mengajaknya pergi ke suatu tempat, meski Aru juga begitu.

"Ke kantin? Untuk apa?"

"Untuk menelaktirmu, hehe." Orion nyengir. "Kau sudah mengajariku selama ini, dan kau tidak menyerah meski gerakanku salah. Selain itu, kebetulan sekali, kemarin aku diberi kiriman uang lebih oleh Ayahku, jadi, aku mau menelaktirmu."

Aru tersenyum dengan wajah tidak enak. Dia menghargai usaha Orion, tetapi dia teringat sesuatu hal yang lebih penting. "Aw, astaga. Terima kasih banyak Orion, tapi maaf, lain kali saja, ya."

"Eh? Kenapa? Kau sibuk?" Orion bertanya sambil menggendong tasnya. Aru mendecak dalam hati. Anak ini tidak tahu kalau beberapa menit lagi Aru akan berubah menjadi itik.

"Iya." Itu yang sekiranya Aru jawab. Sebuah jawaban pendek yang masuk akal.

Terus terang, dia ingin menerima telaktiran Orion, karena dia sendiri sedang tidak punya uang. Namun, karena kutukan ini, dia tidak bisa berbuat banyak. Selain itu, ada anak itik yang harus diajari, dan kalau dia tidak mengajarinya hari ini, unggas itu pasti akan ngambek dan tidak mau bicara padanya. Menyebalkan.

"Oh, baiklah. Lain kali saja kalau begitu. Nanti aku akan memberitahu waktunya."

"Oke, aku akan menunggu." Aru menyanggupi keputusan anak itu. Dia berharap, anak itu tidak menelaktirnya di waktu sore atau malam. Akan sangat repot kalau Orion tahu kutukannya. Cukup Marceline, Jasmine, dan Rose saja yang tahu.

"Baiklah, aku duluan, ya, Aru." Orion langsung berlalu dari ruang latihan, sementara Aru mengangguk dan melambaikan tangannya.

Kalau dipikir-pikir, Orion ternyata bukan orang yang buruk-buruk amat. Dia adalah anak yang gigih dan mau berusaha. Meski lumayan merepotkan-setidaknya, menurut sudut pandang Aru-dia tetap mencari cara agar dia tidak merepotkan orang lain. Dia mencari solusi sendiri dan mempraktikkan solusi tersebut. Menakjubkan. Entah kenapa Aru jadi senyum-senyum sendiri memikirkannya. Untuk saat ini, sepertinya Orion sukses menginspirasinya.

"Wah, Marceline, kakimu sudah sembuh?"

Tiba-tiba, sebuah sorak-sorai membangunkan Aru dalam lamunannya. Dia sontak menoleh ke sebelah kanan, dan melihat kerumunan mayoritas anak-anak perempuan sedang mengerumuni Marceline. Aru melangkah ke sana, bergabung ke kerumunan yang sebenarnya tidak ramai, dan dia melihat dengan jelas, bagaimana Marceline berdiri tanpa bantuan tongkat kruk-nya.

Dia berdiri tegak, meruncingkan kakinya, lalu berputar dengan anggun. Semua orang bersorak kagum, termasuk Aru.

Melihat ini, biasanya Aru akan diam-diam iri dan menganggap bahwa Marceline hanya beruntung karena memiliki wajah cantik. Namun, sekarang tidak lagi.

Aru sadar diri bahwa hatinya bukan untuk Mozart, dan dia sadar bahwa Marceline adalah orang baik yang mau menolongnya, orang baik yang mampu meluluhkan hati jahatnya, dan orang baik yang pertama kali melihat kutukannya. Karena itu, Aru memutuskan untuk mendukung penuh atas Marceline dan Mozart. Keduanya adalah pasangan yang manis. Pasangan impian semua orang. Setidaknya, menurut siswa-siswi di Akademi Roroanna.

Aru harap, entah kapan dia bisa bertemu dengan pasangan semanis Mozart. Meski tidak semirip Mozart, setidaknya, dia manis, dan bisa menginspirasinya seperti Orion. Manis dan menginspirasi. Sepertinya, itu akan jadi dua kata kesukaannya.

"Hei, Mozart, Marceline sudah sembuh, loh." Jasmine berseru kepada Mozart yang kala itu baru saja menggendong tasnya. Ah, Aru sadar kalau di dekatnya ada Jasmine. Dia tidak melihat.

Bukannya menghampiri Marceline, lelaki itu malah menatapnya sebentar, kemudian berlalu keluar ruangan. Membuat semua orang bertanya-tanya dengan tingkahnya yang tidak seperti biasanya. Beberapa ada yang menduga kalau Mozart sedang kesal, beberapa ada yang sampai bertanya pada Marceline apakah lelaki itu bertengkar dengannya atau tidak. Semuanya terlalu tiba-tiba.

Jasmine dan Aru saling tatap. Hanya mereka berdua yang tahu kenapa sikap Mozart jadi begitu, dan Marceline, selaku orang yang diwawancarai, juga Rose yang sedari tadi berada di sampingnya juga tahu tentang lelaki itu.

The Dancing Duck [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang