20. Beberapa Perjanjian (Terakhir)

11 4 0
                                    

ROTHBART mengambang di atas air. Netra hitamnya menatap langit malam yang mulai cerah. Bulan purnama dengan bintang gemintang bermunculan, membuat suasana menjadi damai untuk sesaat. Odette mendarat anggun di depannya. Berdiri di atas air dengan kaki yang diruncingkan. Pedang putihnya dia arahnya pada Rothbart, dan mata putihnya tanpa henti mengeluarkan air mata.

Rothbart menghela napas. Perlahan tetapi pasti, dia pun mengubah dirinya menjadi abu yang terbang, mengudara ke langit.

"Aku kalah, Odette," ujarnya. "Tetapi aku tidak akan pernah memaafkanmu atas apa yang kaulakukan dahulu," sambungnya. Sorot matanya menunjukan bahwa dia lelah.

Odette perlahan mulai terisak. Dia menatap Rothbart sendu. "Maafkan aku, Rothbart."

"Tidak, tidak akan kumaafkan," kata Rothbart. Matanya pun tertutup. Odette masih berdiri di depannya, dia menurunkan pedangnya. Pertanda bahwa pertarungannya dengan Rothbart sudah berakhir.

"Sampai jumpa di kutukan seratus tahun berikutnya, Odette." Rothbart berucap selamat tinggal. Sekarang, tinggal kepalanya yang tersisa. "Aku akan mengutuk umatmu yang tidak patuh," lanjutnya, lalu menghilang menjadi abu, dihembus angin.

Hening yang panjang menyerang. Menyisakan hembusan angin dengan gesekan daun yang pelan.

Aru, Orion, dan Marceline berdiri termangu. Menatap Odette yang berada di tengah danau. Tatapannya menunduk, menatap Rothbart yang telah tiada.

Bahu Odette berguncang, gemetar, lagi-lagi terisak. Mulutnya dia tutup dengan sebelah tangan. Menatap sendu air yang memantulkan bayangannya.

"Maafkan aku, Rothbart. Maaf, maaf ...."

Aru, Orion, dan Marceline masih diam di tepi danau, masih termangu.

"Apa yang sedang dia lakukan?" Orion bertanya. Aru menggeleng sebagai jawabannya, tidak tahu. Namun, sesaat setelah Orion mengatakan hal itu, Aru membesarkan matanya. Dilihatnya sang Dewi bergerak ke sini, melangkah dengan anggun, menuju Aru dan kawan-kawannya. Pedang putihnya dia hilangkan, berubah menjadi kepingan kelopak bunga mawar.

Aru, Orion, dan Marceline sontak bersujud atas kedatangannya. Memberi penghormatan suci yang biasa dilakukan di kuil.

Beberapa lama kemudian, Odette berhenti di depan mereka. Kakinya tepat di kepala Aru dan kawan-kawan. Air matanya juga berhenti mengalir, tetapi, pupil matanya yang putih masih menyala, masih tidak menampakan pupilnya.

"Arunika Anakku, bangunlah," perintah Odette, lembut. Aru bangun dari sujudnya, menatap Dewi Odette yang agung. Sejurus kemudian, dia rasakan dirinya direngkuh Odette. Pipi Odette yang baru saja kering tiba-tiba basah lagi. Lagi-lagi, dia menangis, menumpahkan kesedihan yang ganjil.

Aru membalas rengkuhan Odette ragu-ragu. Namun, begitu dia memeluk Odette, dia rasakan sesuatu yang hangat dan harum yang menjalarinya. Wangi bunga lavender, sensasi hangat matahari, dan pelukan seorang ibu. Aru merasakannya. Tanpa sadar, air matanya juga ikut menetes.

"Arunika, aku merindukanmu."

"Ya-Ya Dewi?" Aru bersuara, lebih ke tidak mengerti mengapa Odette tiba-tiba memeluknya begini, dan lagi, tadi dia bilang barusan dia merindukan Aru, apa maksudnya?

Odette meregangkan pelukannya, menatap Aru. "Kau jarang pergi ke kuil, jarang membaca kitab juga. Apa kau tahu karena itu aku jadi sangat merindukan kehadiranmu di sana?" tanyanya. Aru terkekeh, merasa tidak enak. "Sa-saya minta maaf. Sa-saya janji tidak akan berbuat begitu lagi!" Aru berseru histeris, takut. Dua tangannya dia tangkupkan dan mengangkatnya tinggi-tinggi, kepalanya juga ditundukan.

Odette tertawa melihatnya, lalu mengusap pipi Aru lembut. "Nah, sebagai gantinya, apa kau mau membantuku?" tanyanya. Aru mengangguk kuat, dia bertekad memperbaiki kesalahannya. Odette tersenyum melihatnya. "Beberapa tahun lagi, akan muncul seorang gadis sepantaranmu yang masuk ke Akademi. Dia manis, berambut hitam dengan mata hitam cemerlang yang cantik. Pertanyaannya, apa kau mau menjaga gadis itu untukku?" tanyanya. Aru lagi-lagi mengangguk kuat, bersedia.

Senyum Odette terkembang. Dia amat senang mendengar jawabannya. Pandangannya kemudian teralih pada Orion yang masih bersujud. Odette memanggilnya, menyuruhnya bangun. "Orion, Anakku."

"I-iya, Dewi?"

"Apa kau janji akan rajin pergi ke kuil dan membaca kitab?" tanya Odette. Orion mengangguk, persis seperti Aru. "Dan, apa kau berjanji akan terus menjaga gadismu?" tanya Odette lagi, sambil melirik ke arah Aru sesekali.

"A-ah ...." Orion malah menatap Aru, malu-malu. Dia juga sesekali mendesis ngeri. Teringat sebelum Dewi kemari, dia sempat bertengkar dengan Aru. Tentang dirinya yang berbohong, tentang penampilannya, dan tentang Swan Lake. Semuanya dibahas dalam pertengkaran itu. Namun sekarang, Aru menatapnya sambil mengernyit, ada tatapan jijik pada wajah gadis itu. Padahal menurut Orion, dia juga berbohong tentang 'Shani'.

"I-iya. Iya, Dewi." Orion mengangguk patah-patah, patuh. Aru menghela napas. Dia pasrah, lalu menatap ke arah lain. Setelah dipikir-pikir, sebenarnya sedari dulu Orion tidak buruk-buruk amat. Toh, pada akhirnya dia juga ikut membantu, apalagi saat menari Swan Lake tadi.

Odette tersenyum. Tatapannya kemudian mengarah ke Marceline. Dia memanggil gadis itu. "Marceline?"

"I-iya!" Marceline langsung bangun saat itu juga. Entah gugup atau terlalu semangat. Rambut cokelat terangnya bahkan sampai terangkat ke udara. Odette terkekeh, "terima kasih sudah menyenandungkan musik Swan Lake, Sayang. Senandungmu sangat merdu." Odette memuji.

Pipi Marceline memerah, tersipu malu. "Be-be-benarkah?" Odette mengangguk, lalu berdiri. "Benar, Swan Lake adalah tarian yang kusucikan sejak dahulu kala. Aku pertama kali menarikannya bersama Rothbart, sebelum ... dia menjadi seperti itu," kata Odette.

Marceline menatapnya dengan berkilat binar. Begitu juga dengan Orion dan Aru. Keduanya amat terhormat menarikan tarian itu untuk Odette.

Tiba-tiba saja, tubuh Odette berkilau, memancarkan cahaya. Tubuhnya pun perlahan menghilang, menjadi bulir-bulir dandelion yang terbang mengudara ke langit, ke arah bulan. Marceline, Orion, dan Aru, panik melihatnya.

"Dewi!"

"Tidak apa-apa Anak-anakku, ini sudah waktunya aku pergi."

"Eh?" Aru menatapnya tidak mengerti. Pergi dia bilang?

"Tugasku di sini sudah selesai. Sudah lama aku menjadi Jasmine dan menjaga Arunika, kini, sudah waktunya aku kembali."

"Apa?" Ketiganya berseru tidak percaya, apalagi Aru. Kedua bola matanya bahkan berkedut, menatap Odette tidak menyangka. Dalam benaknya, terbayang bagaimana senyuman Jasmine, terbayang bagaimana Jasmine mengingatkannya, dan terbayang bagaimana Jasmine yang supel, ramah pada semua orang. Jadi selama ini, alasan kenapa Jasmine selalu menempel padanya dan menjadi teman sepersaingannya karena ingin melindunginya?

Jasmine adalah Odette, dan Odette adalah Jasmine. Aru tidak akan pernah melupakan itu seumur hidupnya. Makanya, dia pun cepat-cepat bangkit, dan langsung merengkuh Odette sebelum dia menghilang.

Marceline dan Orion terkejut dengan tingkah gadis itu. Menurut mereka, Odette bisa jadi tidak nyaman dengan perlakuan Aru yang seenaknya. Namun, melihat bagaimana Odette merengkuh Aru balik, membuat mereka berhenti. Tampaknya, Odette sudah menerima tingkah laku Aru.

"Terima kasih, terima kasih banyak, terima kasih banyak, terima kasih banyak." Aru mengucapkannya berkali-kali tanpa henti. Air matanya seketika tumpah ruah, membasahi bahu Odette.

Odette mengusap rambut gadis itu dari ujung kepala sampai ujung rambut. Kepalanya menengadah, menatap rembulan. Matanya yang tanpa pupil menatap rembulan penuh tekad, dan dia juga melihat bagaimana bulir-bulir dandelion berterbangan ke langit.

Rothbart ... suatu saat, aku akan membayar semuanya, aku janji. Dalam hatinya, Odette bermonolog begitu. Perlahan, dia menutup matanya, lalu kemudian tubuhnya pun meledak menjadi tumpukan bunga-bunga dandelion.

Aru langsung menangis kencang saat itu juga, merana ditinggalkan Dewi selamanya. Marceline langsung buru-buru memeluknya, mencoba menenangkannya. Sementara Orion memegang bahunya, mencoba menenangkannya juga.

Mata lelaki itu kemudian mengarah ke langit, ke arah rembulan. Poni yang selama ini menutupi kedua matanya pun dia sibak, menunjukan matanya yang berwarna kuning keemasan. Dalam keheningan dan tangisan Aru yang kencang, Orion mulai bertanya-tanya.

Kira-kira, kapan anak perempuan yang Dewi maksud itu datang?

TAMAT

The Dancing Duck [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang