12. Meminta Solusi

5 4 0
                                    

ARU menendang batu dengan kaki selaputnya yang mungil, dan setelah itu melangkah di tepi danau dengan wajah cemberut. "Aku ini manusia tahu, masa aku harus mencintai unggas jantan." Aru bergumam sendiri. Bagi manusia yang melihat wujud itiknya, dia saat ini sedang ber-quack sendiri.

"Jangankan mencintai unggas jantan, mencintai manusia saja sudah sangat sulit." Aru melanjutkan gumamannya. Kali ini, dia mengingat dengan jelas bagaimana Mozart palsu menipunya.

Sudah sangat jelas, Mozart yang asli, tidak akan pernah mencintaiku. Aru membatin dengan pedih. Masih peduli dengan masa lalu yang mestinya dia lupakan. Selain itu, tadi pagi, saat dia masih berada di kamar Marceline-dan saat Jasmine dan Rose pergi dengan alasan mencari sarapan-Aru pun iseng bertanya pada Marceline. Apakah gadis ini masih mencintai Mozart atau tidak mengingat lelaki itu sekarang sudah dirasuki oleh Rothbart, dan jawabannya, sukses membuat hati Aru teriris.

"Ya, aku mencintainya. Makanya, sambil menjagamu, aku memutuskan untuk membebaskannya dari Rothbart dengan cara apa pun."

Cinta Marceline terlalu indah, terlalu tulus. Dia mau melakukan apa pun demi Mozart, dan Aru adalah benalu sial yang tiba-tiba nyaris memutuskan untuk menjadi orang ketiga di antara mereka.

"Marceline orang baik, sangat baik." Aru tanpa sadar meneteskan air matanya. Kaki selaputnya masih melangkah di tepi danau, merasakan senja hangat yang mulai mendingin. Sebentar lagi akan malam, dan Aru masih di luar, masih mencari angin. Jasmine, selaku orang yang disuruh Rose untuk menjaganya, pasti saat ini kebingungan mencari Aru.

"Ke-kenapa aku bisa sejahat ini, sih?" Aru berhenti melangkah, tiba-tiba meraung. Dia juga menunduk dalam. Air matanya tumpah ruah, merasa bersalah. "Aku ini orang baik, tapi kenapa aku punya niat sejahat ini, ya Dewi?" Aru terisak, lagi-lagi teringat dengan kesalahannya meski itu hanya berupa keinginan sesaat.

"Lelaki tampan seperti Mozart bukan hanya dia seorang, 'kan?" Aru bertanya kepada Dewi yang dia anut. Dia lantas berdiri dengan lutut itiknya, lalu menengadah, berserah diri. "Dewi, kalau obat ketiganya tidak kutemukan? Bisakah kau mencarikannya untukku? Aku masih mencintai Mozart," ucapnya, pasrah.

"Selain itu, bisakah kau hilangkan rasa cintaku padanya? Rasa cinta ini terlalu sakit untukku yang mencintainya seorang diri."

"Kau ini kenapa, sih?"

"Quack!"

Aru melompat kaget. Dia juga langsung menjauh pada asal suara itu. Ditatapnya Max, yang malah balik menatapnya dengan tatapan melek. Paruh mungilnya juga terangkat sebelah, menatap Aru jijik. "Serius, kau ini kenapa?"

"Kau mengagetkanku!" Aru berseru, tetesan air matanya masih ada di pelupuk matanya. Terlihat amat jelas. Saking jelasnya, Max sampai menunjuk air mata betina itu dengan sayapnya. "Matamu kenapa? Kau menangis?"

Bukannya menjawab, Aru malah memukul Max, dan setelah itu, mematuknya. Max sendiri bingung dengan tingkah Aru yang mulai gila. Untuk menghindari penderitaan yang membingungkannya, dia pun memutuskan untuk berlari. Pikirnya, Aru akan berhenti mematuk kalau dia berlari, tetapi rupanya tidak. Itik betina itu, malah ikut berlari, mengejar Max.

"Kenapa kau mematukku?" Max bertanya dalam lariannya, dia merasa tidak melakukan apa pun. Aru membalas, "aku sedang berdoa pada Dewi, kenapa kau menggangguku?"

"Aku mana tahu, kalau kau sedang berdoa!" Max membalas sebal. Pikirnya, Aru sedang bergumam sendiri seperti itik gila, tetapi rupanya, dia sedang berdoa.

Baik Aru maupun Max masih melakukan aksi kejar-kejaran, sampai akhirnya keduanya lelah dan memutuskan untuk membaringkan diri di bawah pohon willow.

"Larimu cepat sekali. Aku jadi ngeri." Max yang mengucapkan itu. Paru-parunya kembang-kempis karena kelelahan.

"Makanya, jangan macam-macam denganku!" balas Aru. Paru-parunya juga sama kembang-kempisnya seperti Max. "Kalau boleh tahu, kenapa kau tiba-tiba berdoa? Apa kau mengalami kesulitan?" Max bertanya, penasaran.

Aru terdiam sambil mengatur napasnya. Dia menatap ranting dan dedaunan pohon willow yang bergoyang pelan. "Iya."

"Jadi, itu alasannya kenapa kau berdoa?"

"Iya."

Dalam hati, Aru merengut. Rasanya, ini untuk pertama kalinya dia melakukan dialog pendek dengan Max.

"Max, aku mau tanya."

"Tanya apa?"

Aru terdiam sejenak, ada keraguan di dalamnya benaknya. Namun, karena dia tahu kalau Max hanyalah unggas kecil, jadi dia memutuskan untuk bertanya saja.

"Apa kau mau menjadi kekasihku?"

"Ogah."

Aru meringis. Max menolaknya terlalu telak.

"Kau kenapa bertanya begitu, sih? Jadi takut." Max bertanya dengan bulu kuduk meremang. Rasanya, ini untuk pertama kalinya Aru jadi melankolis begini. Ya, biasanya 'kan dia selalu ngereog tidak jelas. "Kau begini gara-gara manusia jantan itu, ya?" tanya Max, mencoba menebak.

Aru mengangguk sambil berdehem. Max meringis mendengarnya. "Kalau kau patah hati, jangan jadikan aku pelampiasan, dong."

"A-aku tidak bermaksud begitu." Aru berkata sambil mendudukkan dirinya, hendak berdiri. "A-aku hanya sedang mencari solusi atas masalahku." Aru melanjutkan, sambil menautkan kedua bulu kuningnya, seolah menautkan kedua jari.

Max mendudukkan dirinya. "Ya, tetap saja, jangan libatkan aku."

"Ma-maaf."

Max kemudian berdiri. Dia menghela napas. "Tapi maaf saja, ya. Tipe betina impianku, adalah seekor angsa yang cantik."

"Eh? Apa? Angsa?" Aru keheranan, dia bahkan mengulang pertanyaan itik jantan itu. "Kau itu bebek, bukan angsa. Sadar diri, dong!"

"Memangnya kenapa? Sudah menjadi hak-ku untuk menemukan kriteria betina impianku. Kau kesal karena sudah kutolak, ya?"

"Ih, siapa yang kesal? Aku tidak kesal." Aru mengernyitkan keningnya sambil melihat ke arah lain. Rasanya kesal sekali digoda oleh itik kecil yang sok tahu tentang cinta. Jangankan tentang cinta, tentang kehidupan pun, dia sok tahu. "Hm, begini saja, Shani, apa kau mau dicintai olehku?"

"Eh? Apa?" Aru beralih ke arah Max, menatapnya tidak mengerti. Max melanjutkan, "kau ini aslinya manusia, 'kan? Dari Akademi ini 'kan? Aku mau tanya, apakah kau bisa mengajariku salah satu tarianmu? Tarianmu nantinya akan kupakai untuk memikat para angsa."

"Yah, jujur saja, aku saat ini sedang mempelajari Pas de Deux baru di kelas, tapi, aku tak yakin apakah tarian ini bakal memikat seekor angsa."

"Tidak apa-apa Shani, kau ajari aku dulu saja."

Aru menatap Max tidak paham. "Kenapa kau tiba-tiba jadi memintaku mengajarimu sebuah tarian? Aneh sekali, memangnya aku akan dapat apa setelah mengajarimu?"

"Dicintai olehku satu kali, bagaimana?"

The Dancing Duck [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang