7. Mengurus Diri

6 4 0
                                    

PENDETA Baran keluar dari kuil dengan membawa kitab warna kecokelatan yang lumayan usang. Begitu dia menutup pintu, dia melihat dua ekor itik sedang main kejar-kejaran di tepi danau. Melihat itu, Pendeta Baran jadi gemas sendiri. Dia penasaran, selain berlari saling mengejar, apa yang akan kedua itik itu mainkan setelah ini.

"Itik gila! Unggas gila!"

Sayangnya, apa yang Pendeta Baran bayangkan tidak seperti kelihatannya. Max berlari sekuat tenaga untuk menghindari permintaan Aru yang di luar nalar. Itik jantan itu menolak keras untuk memberi paruh manisnya ciuman atau apalah agar si itik betina bisa berubah kembali jadi manusia. Belum lagi, setelah ditolak, Aru malah marah dan memaksa Max untuk berciuman dengannya. Mengerikan. Wajar kalau Max berlari saat ini.

"Takhayul dari mana yang kau percayai itu, Shani?" Max bertanya, masih tak ingin berhenti kecuali kalau Aru ikut berhenti. "Di buku dongeng yang kubaca saat aku kecil-AAAAKKK!"

Aru langsung terjatuh saat itu juga. Dia tersandung batu sampai terbang dan berguling karena larinya terlalu cepat.

Max berhenti berlari. Dia ingin menghampiri Aru dan menanyakan keadaannya, tetapi rasa takutnya akan dipaksa ciuman mencegahnya melakukan itu. Jadi, yang dia lakukan saat ini adalah berdiri dari kejauhan, sambil menatap itik betina yang itu hendak bangkit secara perlahan.

"Ka-kau baik-baik saja?" tanya Max, merasa kasihan.

Aru meringis. Matanya berair dengan wajah memerah. Antara sedih dan malu karena dia sadar telah memaksa Max. Rasanya, ini untuk pertama kalinya Aru berperilaku memalukan begini. Memaksa orang lain untuk berciuman dengannya. Belum lagi, batu (yang sebenarnya kecil) menghalangi jalannya dan membuatnya terjatuh.

Aru meraung saat juga juga. Air matanya tumpah ruah. "Kenapa, sih!" Itik itu berseru, bertanya-tanya sambil menengadah. "Aku 'kan cuma mau jadi manusia, memangnya apa salahnya, sih?" tanyanya, entah pada siapa. Mungkin pada nasibnya sendiri.

Max mendekat secara perlahan. Sebenarnya, dia masih takut akan dikejar Aru lagi. Namun, karena itik itu sedang menangis, jadi lumayan mustahil untuknya mengejar Max lagi. "Sebegitu inginnya ya, kau jadi manusia?" Max bertanya. Dia sudah lumayan dekat, tetapi tak terlalu dekat.

"Aku ini manusia yang dikutuk jadi itik, Max!" Aru menjawab pertanyaan Max. Lagi-lagi dia meraung, menangis merasa tak adil. "Aku hanya ingin kembali jadi manusia dan menjalani hidup normal seperti remaja kebanyakan! Gara-gara jadi itik, aku jadi tak bisa berkumpul bersama Jasmine dan teman-teman yang lain!" katanya.

Max mendekat lagi, masih hati-hati. "Uh, Aru ... begini." Max mendehem sejenak, hendak memberi nasihat. "Daripada kau mengejarku tak jelas hanya demi sebuah ciuman, bagaimana kalau kau mulai memperbaiki hidupmu dan berserah pada ... siapa? Dewi?"

"Apa?" Aru menatap Max, tak mengerti.

Max melanjutkan. "Sambil mencari cara memecahkan kutukan, bagaimana kalau kau melakukannya sambil memperbaiki hidupmu? Kau pernah cerita padaku, alasan kenapa kau dikutuk karena kau tidak dekat dengan Dewi. Karena tidak dekat, akhirnya kau pun dikutuk 'kan? Karena itu, bagaimana kalau kau mendekatkan diri pada-Nya? Selain itu juga, kau bisa mencoba memperbaiki hubunganmu dengan rekan atau teman-temanmu yang lain. Yah, siapa tahu 'kan? Kau membuat mereka kesal tanpa sadar." Max memberi beberapa saran pada Aru, membuat si betina itu berbinar dan menangis lagi. "Ba-bagaimana kalau aku tak bisa? Ba-bagaimana kalau aku jadi itik untuk selamanya?"

"Kau bilang begitu karena merasa tidak yakin, 'kan?" Max bertanya, berusaha menebak. "Kalau kau memang merasa tidak yakin, setidaknya lakukanlah secara perlahan. Langkah pertama, yang harus kau lakukan adalah mengurus dirimu dan berbuat apa pun demi dirimu sendiri. Hal seperti ini bukan berarti kau egois, ya. Kau hanya sedang mencoba memperbaiki dirimu tanpa harus merepotkan orang lain, mengerti?" tanya Max.

Aru mengangguk. Air mata masih menggenang di pelupuk matanya. Max menghela napas, lalu mendekati Aru tanpa takut dan khawatir. "Ayo berdiri," titahnya, sambil mengulurkan sayapnya yang mungil.

Aru menerima uluran sayap itu, dan dia pun berdiri dengan perlahan. Cahaya mentari yang lembut menerpa Danau Marshincez yang indah, membuatnya memantul dan mengenai bulu kuning dari dua itik menggemaskan.

Aru mengusap pipi dengan sayap mungilnya, dan mencoba untuk berhenti sesegukan. Mulai sekarang, atau besok, dia akan mencoba saran dari Max. Meski saran anak ini tidak ada hubungannya dengan kutukan, tetapi apa yang dia katakan layak untuk dicoba.

Mulai sekarang, Aru akan memperbaikinya hidupnya!

-

Menghela napas sambil memakai sepatu pantofel hitam. Aru bersiap, berangkat ke Akademi.

Setelah memakai sepatu, dia pun berjalan, melangkah keluar dari kamarnya. Saat sampai di ambang pintu, dia menoleh ke belakang sejenak, melihat kondisi kamarnya.

Akhirnya, kamarnya rapi. Selimut putih yang biasanya tak dilipat dan dibiarkan acak-acakan, kini dilipat dengan baik. Lalu, bantal yang terkadang dibiarkan jatuh ke lantai kali ini dia simpan di tempatnya semula. Meja belajar juga dibereskan. Buku-buku sudah dirapihkan, dan bagian dalam lemari yang biasanya acak-acakan sudah dibereskan olehnya tepat setelah dia bangun. Jendela kamarnya juga sudah dia tutup untuk menghindari orang yang mau mengintip.

Sempurna. Aru lagi-lagi menghela napas lega. Rasanya tentram sekali melihat kamar sendiri terlihat rapi.

Aru pun melangkah keluar dan menutup pintunya, lalu setelah itu berjalan beriringan bersama penghuni kamar asrama lain.

Di gedung asrama ini, setiap kamar diisi oleh satu orang siswi. Kebanyakan kamar didesain minimalis karena hanya akan diisi oleh satu orang. Aru kedapatan kamar yang berada di lantai satu. Lantai yang membuatnya tak harus membuang tenaga. Apalagi saat Aru berubah jadi itik, dia tak perlu repot-repot menaiki tangga.

Jasmine tiba-tiba muncul di sampingnya, mengajaknya balapan sampai Akademi. Aru menerima tantangan itu, dan keduanya pun berlari dengan riang gembira.

Pagi ini, Aru tampak seperti anak gadis kebanyakan. Suka mengobrol, bergaul, dan berkompetisi dengan teman sepersaingannya.

Aru harap, apa yang dia alami hari ini berlangsung selamanya.

The Dancing Duck [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang