KUTUKAN itu bekerja setiap pukul setengah lima sore sampai tengah malam. Setiap jam segitu, Aru pasti akan bergegas pergi ke Danau Marshincez, dan langsung mengubah diri menjadi itik. Tidak, ini bukan keinginannya berubah menjadi anak unggas, itu adalah cara kerja kutukan itu sendiri. Selain itu, semenjak dia menginjakan kaki di Akademi, Danau Marshincez menjadi tempat favoritnya setiap kali Aru butuh tempat untuk merenung.
Biasanya, dia akan berdiam diri di bawah pohon willow yang dekat dengan tepian danau. Melamun, sambil memeluk lutut. Namun dengan wujud itik ini, Aru memutuskan untuk menelusuri tepian danau sambil berenang.
Kaki selaputnya yang mungil, mengayuh pelan di dalam air danau. Membawanya tak tentu arah. Helaan napas keluar dari paruh bebeknya yang berwarna oranye. Masih terngiang ucapan Pendeta Baran tentang kutukannya yang tak bisa dipatahkan.
"Bisakah kau berhenti bersikap seperti itu?"
Aru langsung tersadar dari perkataan Pendeta Baran. Indera pendengarannya menangkap suara seseorang yang dia kenal. Suara yang selalu ingin dia dengar, suara yang selalu membuatnya kagum akan kehadiran dan sosoknya yang menyilaukan.
Di kejauhan arah jam sebelas, Aru bisa melihatnya. Dua orang anak manusia dengan seragam Akademi Roroanna yang sedang adu mulut.
Aru langsung berenang cepat, mendekat ke arah dua manusia dengan penasaran. Ekor bebeknya yang mungil bergoyang-goyang lincah, menandakan kalau dia sedang senang dan kenal betul dengan dua anak itu. Khususnya, yang berjenis kelamin laki-laki. Aru mengenalnya dengan baik meski dia jarang mengobrol atau dilirik oleh anak laki-laki itu. Aneh memang, tetapi, Aru menganggap kalau dia sedang jatuh cinta. Makanya, dia bisa menyimpulkan hal yang tak masuk akal begitu.
Setelah mendekat, barulah Aru menyembunyikan diri di balik rerumputan panjang di tepi danau. Dari balik rerumputan ini, dia bisa melihat dan mendengar dengan jelas pembicaraan mereka. Aru bisa saja mendekat dan berdiri di tengah dua anak manusia itu mumpung wujudnya adalah seekor itik. Namun, mengamati dari balik rumput tinggi tampaknya jauh lebih baik.
"Mozart, aku melakukan itu karena ingin melindungimu." Marceline menjelaskan dengan lembut. Mencoba memberi lelaki ini pengertian. Ah, benar juga. Marceline dan Mozart adalah sepasang kekasih. Pasangan Primadona Kelas dan seluruh Akademi.
Sebenarnya, Akademi Roroanna memiliki semacam 'tradisi yang tak disengaja'. Setiap tahun, di Jurusan Balet, pasti akan ada sepasang primadona muda yang tak hanya membuat siswa-siswi kagum, tetapi para staff dan guru yang ada di sana, otomatis akan terhipnotis dengan perfoma mereka, baik saat sedang latihan maupun saat di atas panggung.
Primadona tahun ini adalah Marceline dan Mozart. Pasangan yang sangat serasi. Tak hanya menurut kelasnya. Siswa-siswi di luar kelasnya, Bu Ynaiv selaku pelatih balet, dan guru-guru yang lain juga mengakui kalau Marceline dan Mozart adalah pasangan yang manis. Mereka mesra, saling menyayangi, dan saling mendukung. Namun, entah kenapa hubungan mereka tampak renggang di sini.
"Sedang apa?"
"Quack!" Aru meloncat. Kaget dengan kemunculan Max yang tiba-tiba. "Ke-kenapa kau ada di sini?"
"Apa maksudmu? Aku 'kan sedang jalan-jalan." Max menjawab dengan santai. Kepalanya kemudian menjulur ke atas, melihat anak-anak manusia. "Mereka kenapa?"
Aru menutup paruh Max dengan sayapnya. Menyuruh bebek jantan itu diam. "Tenanglah, aku sedang fokus," kata Aru. Matanya kembali mengarah ke Marceline dan Mozart.
Max jadi ikut menatap mereka. "Kau kenal mereka?"
"Ya, teman sekelasku. Yang betina namanya Marceline dan yang jantan namanya Mozart." Sengaja Aru menyebut 'jantan' dan 'betina' agar Max semakin mengerti. Max mengangguk, sambil ber'oh' paham. "Lalu, kenapa mereka bertengkar?"
"Mereka sedang mempersoalkan tentang cinta."
"Cinta?" Max mengernyit bingung dengan masih menatap ke depan. Aru menjelaskan sok bijak. "Di kelas, mereka terkenal sebagai primadona yang saling mencintai, mendukung, dan juga saling mengasihi, tapi entah kenapa, mereka saat ini bertengkar."
Max menebak, "dan kau saat ini sedang menyelidiki alasan dan sebab kenapa mereka bertengkar?"
"Ya, dan setelah itu, mungkin aku akan mendapat kesempatan berdansa dengan Mozart." Aru terkikik di akhir, membayangkan dirinya menari Pas de Deux dengan anggun bersama Mozart. Kening Max semakin lama semakin mengerut. Dia melompat, menggulung sebelah sayapnya dan membentuk bogem. Setelah itu, menjitak kepala Aru sekuat-kuatnya.
Aru mengaduh, dia langsung menoleh ke arah Max. Sewot. "Kau ini apa-apaan?"
"Kau mau jadi orang ketiga di antara hubungan mereka?" tanya Max, tak kalah sewot. Aru menimpali, "memangnya kenapa? Toh, bukan urusanmu juga 'kan?"
"Meski bukan urusanku pun, aku hanya mengingatkanmu. Sebagai teman seper-bebek-an, aku melaknatmu melakukan ini!"
"Apa?" Aru syok mendengarnya. Menatap Max serius. "Kenapa kau melaknatku hanya karena aku menyukai orang lain?"
"Dia bukan hanya sekadar 'orang lain', dia adalah kekasih orang, Shani!" Max berkata keras, memberi pengertian dengan tegas. "Kau sendiri pernah cerita padaku kalau memasuki kisah cinta orang lain sebagai orang ketiga adalah laknat, dan kau, si pencerita, sekarang malah menjadi laknat!"
"Ih, memangnya kau bisa apa kalau sudah jatuh cinta?" Aru menggerutu tak terima. Max terdiam sejenak setelah mendengar perkataan Aru. Untuk beberapa detik, dia memutuskan untuk diam. Tampaknya, dia tahu akan ke mana obrolan tak menyenangkan ini.
"Lagipula, semenjak aku pertama kali masuk ke Akademi, aku sudah lebih dulu menyukai Mozart. Sayangnya, Mozart jatuh cinta pada Marceline karena kecantikannya. Kalau seandainya aku secantik Marceline, Mozart pasti akan menyukaiku!"
"Shani, percayalah. Meski kau sudah jadi bebek pun, pasti ada pejantan lain yang mau menerimamu apa adanya." Max berkata datar. Sudah dia duga Aru akan berkata begini.
Mendengar Aru menggerutu, dan mengatakan sesuatu tentang cinta membuatnya tahu kalau betina ini adalah bebek yang keras kepala. Tidak mau dinasihati, tidak mau diberitahu. Yang akan membuatnya sadar suatu hari nanti adalah kenyataan. Makanya, Max menjadi datar begini. Dia tidak mau ikut campur. Kalau sekadar mengingatkan, mungkin bisa. Yang jadi taruhannya, tentu adalah tenaganya.
"Kau seekor bebek kecil, mana tahu kerasnya kehidupan manusia!" Aru berseru, lagi-lagi serius. "Di dunia manusia, orang cantik akan disanjung, dipuja-puja, sedangkan orang jelek? Mereka akan diremehkan, dikucilkan, dan yang lebih buruk, tak dianggap."
"Jika aku menjadi manusia dan menjadi orang jelek, aku akan sangat bersyukur. Jadi orang jelek tampaknya tidak terlalu buruk. Malah, mereka punya kehidupan yang menenangkan."
"Ish, aku sudah menduganya kalau kau tidak akan mengerti!" Aru menggerutu kesal. Max menatapnya bingung. Dia bertanya-tanya apa ada yang salah dengan kata-katanya.
"Pergi sana! Jangan ganggu aku!" Aru mengusirnya. Kali dengan menyemburkan air melalui kaki selaputnya yang mungil. Semburannya tidak sampai, membuat Max lagi-lagi menatapnya datar.
Max menghela napas dengan menggelengkan kepala, lalu pergi. Berenang dengan santai. "Baiklah, aku pergi. Jangan curhat padaku kalau cintamu tak terbalas, ya."
"Enak saja! Cintaku pasti terbalas, kok!" Aru berteriak. Tak terima dibilang begitu.
Aru kemudian beralih lagi ke Marceline dan Mozart. Pertengkarannya dengan Max, membuatnya tidak bisa menyimak dengan baik. Aru telah banyak melewatkan konflik dan obrolan antara dua sejoli. Lagi-lagi ini semua karena Max. Gara-gara Max.
"Baiklah, kalau begitu. Kau ingin semuanya berakhir? Oke, mari kita putus." Mozart mengucapkan itu dengan dingin, membuat mata Marceline dan mata Aru terbelalak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dancing Duck [END]
FantasyBIG WARNING! Cerita ini mengandung bab acak tetapi alurnya masih berhubungan. Diri ini udah beberapa kali ngatur bab-nya tapi tetap aja gitu. Entah apa yang terjadi dengan si Wattpad, diri ini tak tahu. So, kalo kamu pengen baca cerita ini silakan^...