16. Sebuah Pernyataan

6 4 0
                                    

ARU tidak mendeteksi adanya candaan saat Max mengatakan hal itu. Dia malah menatap Aru serius, dan tidak mengatakan sepatah kata pun setelahnya. Aru jadi gugup sendiri, bingung sendiri, sampai akhirnya dia ingat dengan kesepakatannya dengan Max. Aru akan mengajarinya Swan Lake, dan Max akan mencintainya satu kali. Mencintainya satu kali, mungkin maksudnya ini. Mencintai semua versi Aru.

Obat ketiga dari kutukannya adalah mencintai seekor unggas jantan dengan tulus. Masalahnya adalah, Aru tidak memiliki perasaan apa pun terhadap Max, bagaimana kalau dia menyakiti dirinya sendiri?

"Max, begini-"

"Kau tidak perlu membalas perasaanku." Max berkata, seolah tahu apa yang Aru pikirkan. "Kau pasti paham apa yang kukatakan ada hubungannya dengan kesepakatan kita, 'kan? Sekarang, izinkan aku melakukan kesepakatan itu," kata Max. Dia mendekat ke arah Aru. Masih menatap itik betina itu serius.

"Aku, menyukai semua tentangmu. Bagaimana kau mengejarku, mematukku, berdebat denganku, semuanya. Bagi orang lain, kau berisik, menyebalkan, sok kenal, sok dekat, sok bijak, dan lain-lain, tetapi bagiku, kau sempurna apa adanya." Max menjeda sejenak. Dia menghela napas. Helaan napas yang pendek. "Aku menyukaimu Aru. Sekali lagi, kau tidak perlu membalas rasa sayangku jika kau tidak mau atau jika kau memang tidak menyukaiku. Kau cukup mendengarkannya saja, dan oh ya, ketahuilah, meski ini cuma kesepakatan, sebenarnya rasa sukaku padamu itu nyata. Sangat nyata." Max mengakhiri dialognya dengan menoleh ke arah lain.

Aru mematung. Terkejut dengan apa yang Max katakan, khususnya delapan kata terakhir itu. Saking terkejutnya, Aru bahkan tidak sadar kalau air matanya menetes. Dia baru menyadarinya saat merasakan sesuatu yang basah di kedua pipinya. Aru pun cepat-cepat mengusap air mata itu dengan sayap mungilnya. Dia mengusapnya dengan kasar, sampai lama-kelamaan, akhirnya dia terisak.

Isakannya lumayan bising sampai Max kembali menatapnya. Begitu dia menatap Aru, dia pun terkejut.

"Eh, kenapa kau-"

"DIAAAAAAAMMM!"

Aru berteriak kencang sekali, sampai Max berjengit dan mundur beberapa langkah. Dia menatap Aru takut, sedangkan orang meneriakinya terengah-engah, mencoba mengendalikan diri. "Kenapa kau mencintaiku dengan tulus?" Aru bertanya, lagi-lagi berteriak. Dia kesal. "Dan kenapa pula cintamu itu sangat nyata?"

"Shani-"

"Hatiku tidak di desain untuk mencintaimu, Max." Aru menangis menyayangkan. Dia menatap Max dalam. "Maafkan aku."

Max menggeleng mahfuz. "Aku sudah bilang, tidak apa-apa, Shani."

"Aku ingin membalasmu. Pokoknya, aku ingin membalasmu!" Aru berucap, keras kepala. Max menggeleng, "tidak boleh."

"Ke-kenapa?"

"Karena hatimu tidak setuju," sahut Max. "Jangan memaksakan hatimu kalau ia tidak mau, Shani. Kalau dipaksakan, nanti kau terluka. Kau sendiri yang bilang kalau kata hati tidak pernah menyakitimu, 'kan? Kau jangan menyakiti hatimu sendiri," kata Max.

Max lantas mendekat ke arah Aru, mengingatkannya. "Berjanjilah setelah ini kau harus lebih mencintai dirimu sendiri. Jangan memaksakan diri, baik secara fisik, mental, maupun hati, oke?"

Aru mengangguk patah-patah ke arah Max, tidak mengira itik jantan ini akan mengatakan hal itu padanya. Kemudian, dia rasakan tubuhnya direngkuh Max, membuatnya lagi-lagi mematung karena terkejut. Max sendiri tidak peduli dengan reaksi Aru, yang penting baginya, dia sudah mengeluarkan apa yang ada di pikiran dan juga hatinya. Jika memang Aru tidak suka, dia boleh mendorong Max atau memakinya, terserah. Max akan menerimanya.

Dalam rengkuhan itu, Max berbisik lembut, "aku menyayangimu Aru. Maaf, jika aku mengatakan ini beberapa kali. Aku tidak bosan mengatakannya," katanya.

Lagi-lagi, air mata Aru jatuh dari pelupuknya. Dia pun balas merengkuh Max dan merasakan kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Meski dia tidak bisa membalas perasaan Max, hal yang Aru pahami adalah dia dicintai. Dicintai untuk pertama kalinya.

Tidak pernah ada yang mencintainya setulus ini, bahkan orang yang Aru cintai pun, tidak pernah mencintainya balik. Cinta Max terlalu nyata, terlalu hangat. Aru teramat sangat ingin membalasnya meski hatinya tidak diperuntukkan untuk itik ini. Kalau sudah begini, itu artinya, misi mencintai unggas jantan gagal. Aru tidak bisa memaksakan hatinya, dan dia merasa egois.

Ya, Dewi, jika aku menjadi itik untuk selamanya, tolong cairkan perasaanku untuknya. Aku ingin membalas cintanya.

Baru saja Aru melantunkan doa tersebut dalam hati, tiba-tiba puluhan gagak keluar dari pepohonan, terbang tinggi menuju langit. Angin pun tiba-tiba saja muncul, berhembus kencang, menggoyangkan dahan dan batang pohon willow sampai ia meluruhkan daunnya.

Max dan Aru pun melepaskan pelukan. Keduanya menatap sekitar. Kunang-kunang yang semula berterbangan mengelilingi mereka meredup. Beberapa ada yang terbang ke dalam semak, beberapa ada yang sampai terbawa angin. Selain itu, semuanya tampak gelap dan suram, Aru bahkan sampai merapatkan diri ke arah Max. Takut.

Dalam situasi pelik itu, tiba-tiba lima ekor burung gagak muncul dari berbagai arah. Memakan kunang-kunang yang tersisa. Selain itu, beberapa dari mereka juga ada yang ada bertengger di batang pohon willow, dan beberapa ada yang terbang mengelilingi Aru dan Max. Bersuara dengan nada yang ganjil.

Max pun juga ikut merapat ke arah Aru. Meski tatapan tajam menyertai wajahnya, dia tidak ingin berbohong kalau dia juga takut.

Keadaan pun perlahan menjadi gelap. Tidak ada kunang-kunang, tidak ada cahaya bulan atau bintang-bintang yang menyinari sang malam, maupun lampu-lampu Roroanna. Lampu-lampu Roroanna seolah padam diterpa angin, dan hal itu membuat suasana menjadi seram sekaligus mencengkam.

Lima ekor gagak yang semula terbang dan bertengger sontak turun ke tanah, mengelilingi Aru dan Max.

Aru dan Max diam di tempat. Kondisinya serba-salah. Keduanya ingin kabur, tetapi burung gagak yang mengelilingi mereka membuat mereka tidak bisa berbuat banyak, membuat mereka tidak yakin apakah mereka bisa kabur atau tidak, jadi, yang mereka lakukan hanya diam, tidak memberontak.

Setelah semua gagak turun, tiba-tiba saja di depan mereka muncul seekor gagak yang lebih besar. Ia mendarat dengan mulus di depan Aru dan Max, tanpa bersuara sedikit pun. Ia juga memiliki ukuran sebesar anak remaja dengan paruh panjang dan kaki serta kuku yang amat tajam, persis seperti elang. Matanya merah menyala, dan menatap lurus ke arah Aru.

Max menganga melihatnya, baru pertama kali melihat gagak sebesar ini. Sementara Aru lemas tidak terkira. Dalam benaknya, dia membayangkan bahaya yang lebih besar dari sekadar diterkam gagak. Kematian.

Setelah gagak sebesar anak remaja ini mendarat, ia pun menengadah, menatap ke langit, lalu setelahnya, ia pun membuka mulut. Begitu mulutnya terbuka, muncul satu tangan manusia dari dalam sana.

Kemunculan tangan manusia itu sontak membuat Aru dan Max mundur lagi. Keduanya syok dan merasakan marabahaya yang akan menimpa mereka setelah ini. Belum lagi rasa takut yang masih menjalar membuat keduanya tidak bisa berlega hati.

Tangan yang lain kemudian keluar, memegang dua sudut mulut gagak. Setelahnya, kedua tangan itu pun sontak bergerak cepat ke arah yang berlawanan dan langsung merobek tubuh gagak itu, membuat tubuhnya terbelah dua dengan darah yang bercipratan ke mana-mana.

Aru dan Max terkejut tidak terkira. Tidak mengira akan seperti ini. Manusia itu kemudian membuang tubuh gagaknya, dan mendekat ke arah Max dan Aru.

Aru sampai menutup mulutnya dengan sebelah sayapnya, tidak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Dua kakinya gemetar, dan satu sayapnya yang lain memegang sayap Max, takut. Wajahnya juga pucat, dan dia rasanya ingin lari jauh dari sini.

Mozart, manusia yang keluar dari tubuh gagak itu, kini menatap Aru. Dengan mata merah menyala dan senyum menawan yang memesona.

"Selamat malam, Arunika."

The Dancing Duck [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang