18. Tempat Persembunyian

5 4 0
                                    

MARCELINE pikir, tidak akan ada lagi gagak yang mengejar dirinya ataupun Aru, ataupun Max yang saat ini sedang tegang. Rupanya dia salah, masih ada beberapa ekor gagak yang terbang ke arahnya, dan mau tidak mau, Marceline pun berbelok ke sebelah kiri, ke arah hutan yang biasa menjadi tempat terlarang bagi siswa-siswi Roroanna. Tidak ada yang berani pergi ke hutan ini, mungkin kecuali Marceline. Tujuannya lari ke hutan ini ialah untuk mencari tempat sembunyi.

Sekarang, dia sudah tidak tahu bagaimana kondisi Mozart saat ini, juga Jasmine dan Rose. Yang dia lakukan saat ini adalah berlari, dan terus berlari. Meski begitu, bukan berarti Marceline tidak mengharapkan kabar baik dari teman-temannya yang lain. Jelas dia teramat mengharap kabar baik itu, meski indera pengelihatannya jelas tidak menunjukkan hal yang dia ingin lihat.

Rerumputan panjang dengan senang hati menjadi teman seperjalanannya. Pepohonan di kanan-kiri seolah menjadi pengawas di setiap langkahnya. Tidak ada penerangan di sini, semuanya gelap. Yang dia lakukan adalah terus berlari, meski terkadang dia harus menabrak ranting atau menginjak lilitan akar yang berpotensi membuatnya jatuh.

"Cari tempat sembunyi, cari tempat sembunyi." Marceline bergumam pada dirinya sendiri—lebih tepatnya, mencoba menenangkan diri.

Rasa bersalah Aru semakin menguar. Aru berpikir, kalau seandainya dia tidak jadi itik, mungkin tidak akan begini jadinya. Marceline tidak perlu sampai berlari dari kejaran Rothbart, Mozart tidak perlu dirasuki, lalu Jasmine dan Rose tidak perlu sampai dilempar ke danau atau dipatuk puluhan gagak.

"Salahku, ini semua salahku," saking merasa bersalahnya, Aru itu pun bergumam sendiri. Air matanya tumpah sedikit demi sedikit. "Salahku, semuanya salahku." Lagi, dia menyalahkan dirinya sendiri.

Dia lantas menutup wajahnya dengan dua sayap mungilnya, menyembunyikan air mata. Namun, dia rasakan sayapnya disentuh sesuatu, dan dia pun melihat siapa gerangan yang menyentuh sayapnya.

Max, dia yang melakukannya. "Jangan menyalahkan dirimu, Aru."

Daripada memanggilnya dengan nama 'Shani', Max malah memanggil Aru dengan nama aslinya. "Ini semua bukan salahmu, jangan menyalahkan diri," katanya, mengingatkan.

Aru mengangguk patah-patah. Ucapan Max tidak serta-merta membuatnya lega, tetapi setidaknya, saat ini bukan waktu yang tepat untuk menyalahkan diri sendiri.

Marceline kemudian berbelok dan  bersembunyi di balik pohon yang lumayan masif, berdaun lebat dengan batang yang amat lebar. Dengan begini, dia yakin Rothbart tidak akan mengejarnya dan Aru—dan juga itik yang satunya.

"Oke, oke, baiklah. Tenang Marceline, tenang. Lakukan seperti yang Nenek ajarkan, lakukan seperti yang Nenek ajarkan." Marceline bergumam sambil terengah-engah. Dia berbicara dengan dirinya sendiri. Aru dan Max menengadah ke arah Marceline, melihat bagaimana takutnya gadis itu.

Marceline kemudian mengeluarkan sesuatu dari balik baju piyama. Sebuah kalung dengan kristal berwarna ungu. Marceline memejamkan matanya. Dia memegang batu kristal itu kuat-kuat. Dia lantas melantunkan sesuatu, sebuah doa pengusir setan. Dia melantunkannya dengan berbisik. "Kepada Dewi Odette, Dewi Cinta yang dicintai semua umatnya, tolong selamatkanlah hamba. Kepada Dewi Odette, Dewi Cinta yang dicintai semua umatnya, tolong selamatkanlah hamba. Kepada Dewi Odette, Dewi Cinta yang dicintai semua umatnya, tolong selamatkanlah hamba."

Tiba-tiba saja, cahaya bulan muncul menembus awan-awan yang semula menutupinya. Ia sekarang menyinari hutan yang menjadi tempat persembunyian Marceline dan dua itik kecil itu. Aru dan Max lega, akhirnya mereka bisa melihat sekeliling meski penerangan lumayan remang. Ya, lebih baik begitu daripada harus berlarian di tengah gulita seperti tadi.

The Dancing Duck [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang