6. As The Walls Close In

98 10 106
                                    

Tema: Asrama Berhantu
Tokoh Utama: Qila

Di malam ketiga bulan keempat, ketika semua orang sudah terlelap, memasuki lubang mimpi untuk memutar adegan-adegan fiktif, gadis itu masih membolak-balikkan tubuhnya di atas ranjang. Agaknya, alam mimpi tidak ingin menerima jiwa setengah sadar sang gadis. Hal ini sudah terjadi selama beberapa malam. Padahal, dahulu, dia mudah untuk tertidur.

Apa yang berubah?

Keningnya terasa nyeri akibat terlalu lama berusaha memejamkan mata, menyebabkan otot yang ada di wajahnya lama berkontraksi tanpa henti.

Walau sudah menunjukkan pukul 00:03 pagi, gadis itu merasa kepanasan. Keringat yang keluar dari pori-pori kulitnya mengalir membasahi pipi dan dahi. Padahal, udara di kamar ini dingin. Bahkan, baju yang dikenakannya begitu tipis.

Apa yang berubah?

Dengkusan terdengar menusuk keheningan malam yang menggema. Gadis itu terduduk di ranjangnya, dengan mata lelah dan kepala yang sedikit pening akibat beranjak terlalu tiba-tiba. Pandangannya menyapu sekitar, berusaha untuk membiasakan diri di dalam gelap.

Apakah aku secara tidak sadar tidak betah di sini?

Gadis itu menatap lemari yang berdiri kokoh tepat di ujung ranjangnya, terbuat dari kayu mahoni yang kelihatannya sudah lama tidak dicat. Ranjang itu asing, tidak sama seperti ranjang yang ia kenali saat ia tumbuh besar di rumah.

Tidak, bukan karena aku tidak betah. Satu minggu lalu, aku bisa tertidur seperti biasa.

Kini, pandangannya tertuju pada lemari yang berseberangan dengan lemari miliknya, tepat di ujung ranjang yang berseberangan pula dengan ranjangnya. Di atas ranjang itu, tertidurlah seorang mahasiswi dengan pulas.

Teman sekamarku bisa tidur, tuh. Lebih cepat dibanding aku, malah.

Dia menghela napas pelan, menyalakan lampu yang berada di atas nakas di samping ranjang mereka. Ketika cahayanya menepis kegelapan walau dalam jarak yang dekat, teman sekamar gadis itu mengerjapkan mata akibat silau dari cahaya lampu.

"Ah, maaf," gadis itu buru-buru berucap, menyadari bahwa tindakannya ternyata mengganggu, "aku membangunkanmu, ya?"

Lawan bicaranya tersenyum tipis, kemudian menggelengkan kepala pelan seraya mengusap-usap matanya dengan punggung tangan. "Biasa saja, aku bangun karena haus."

"Bohong," elak sang gadis. "Kamu selalu seperti itu. Kalau aku mengganggumu, tolong katakan saja. Aku tidak tahu aku mengganggu kalau tidak ditegur."

"Tidak kok, Qila. Kamu tidak mengganggu, serius. Lagipula lampu itu terlalu temaram untuk menggangguku. Aku betulan haus."

"... Iya, sih," Qila memandangi cahaya temaram lampu yang berdiri tegak di atas nakas, "memang terlalu redup. Apakah kamu mau kutemani, Niina?"

Niina menggelengkan kepalanya pelan seraya beranjak dari ranjang, berjalan lesu menuju pintu keluar kamar mereka. "Tidak perlu, dapur, 'kan, dekat dari sini."

"Tapi, biasanya lampu di luar redup juga. Kamu tahu, 'kan, asrama ini sememprihatinkan apa kalau soal listrik dan air." Qila tertawa kecil. Gurauan yang hampir seolah sindiran itu membuat Niina ikut tertawa walau sedikit tidak bersuara.

"Jangan begitu, ah. Rektor kita sudah berjuang dengan baik. Aku ke dapur dulu, ya, Qila."

"Oke. Nanti, tolong bawakan aku segelas air hangat, boleh? Aku kesulitan untuk tidur."

Niina menoleh sejenak setelah membuka pintu kamarnya. "Lagi? Aneh sekali, padahal dulu kamu mudah terlelap."

Qila menampilkan senyuman kikuknya. "Iya, 'kan?"

FLC MultiverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang