Keluarga Sekar

26 10 0
                                    

Bibir tipis gadis keturunan kejawen itu melahap makna kalimat suci. Tangan kanannya memegang lima tangkai lidi berwarna merah, sedangkan tangan kirinya memegang korek dengan api kecil. Nuansa merah ruangan yang dipijak perlahan lenyap, beriringan dengan mata yang mulai terpejam.

"Niat ingsun ngobong dupo, kukuse dumugi angkoso, kang anggondo arum pinongko tali rasaningsun manembah Gusti Kang Akaryo Jagad."

Sepuluh detik berlalu, kepulan asap membumbung bersama aroma khas dupa miliknya.

"Sekar, jangan lupa nyalakan dupanya!"

Suara wanita paruh baya itu menembus pintu kamar Sekar, membuat kepalanya refleks memutar sembilan puluh derajat ke arah kanan. Kemudian, Sekar menghampiri dengan mengayunkan kakinya.

"Iya, Bu. Sudah," jawab Sekar sambil membuka pintu. Ia bermanis muka dengan melemparkan senyum ke arah Ibu Ayuningtyas yang merupakan ibu kandungnya.

"Setelah ini jangan lupa sarapan. Ibu tunggu di bawah," perintah sang ibu dengan nada lembutnya.

"Iya, Bu. Sebentar lagi Sekar ke bawah," sahut Sekar dengan senyuman tipis.

Sabtu pagi yang cerah membuat Sekar melirik gorden jendela kamar yang sedikit terbuka. Gadis kejawen itu ingin menikmati udara pagi di rumah lama ayahnya. Letaknya di kota yang terkenal dengan Paris Van Java pada zaman penjajahan dulu.

Sekar Jati Candraningtyas. Itu adalah nama pemberian ibu yang mudah sekali ditebak bahwa pemiliknya berasal dari keturunan Jawa tulen. Bagi ibu dan ayahnya, Sekar dianggap sebagai anak emas.

Anggapan itu bukan karena Sekar terlahir sebagai anak bungsu, melainkan karena Sekar lahir di hari Selasa Kliwon. Adalah hari yang menurut Ibu Ayuningtyas sangat special.

Itulah sebab mengapa ibunya memilih nama Sekar Jati, yang berarti bunga pilihan. Sedangkan Candraningtyas hanya sekadar menegaskan bahwa dia seorang keturunan sang ibu yang Jawa Tulen.

***

Krriieerrrttt ....

Suara pintu kamar Sekar berderit pelan dengan sendirinya, membuyarkan segala lamunan Sekar yang sedari tadi berdiri mematung di depan jendela.

"Ya ampun, gue belum turun ke bawah! Jangan sampai Ibu mencubit pipiku lagi karena kesal," gumam Sekar. Dia sadar dari lamunan kosongnya.

Setengah berlari, dia melewati pintu kamar yang tadi berderit. Tidak peduli apa penyebabnya, dia hanya memikirkan bagaimana cara agar tidak terkena cubitan kesal ibunya.

Ketika menapaki tangga, ia melambatkan langkah. Berhati-hati agar tidak jatuh seperti saat kecil dulu.

BRAK !!!

Pintu yang tadi berderit tiba-tiba menghentak keras. Dengan keringat dingin di dahinya, Sekar memberanikan diri untuk menoleh ke belakang.

"Aah," lenguh Sekar. Rupanya Bi Imah yang menjatuhkan keranjang pakaian kotor, bukan karena angin puting beliung apalagi makhluk astral seperti di film Danur.

"Bi Imah? Kirain apaan, Bi. Ngagetin Sekar aja deh," ucap Sekar sembari mengembuskan napas lega.

"Maaf, Non. Bibi lemes belum sarapan," keluh Bi Imah, wanita itu tertawa geli.

"Ya sudah, Bi, sarapan yuk!" ajak Sekar.

Asisten rumah tangga itu menolak, kemudian Sekar berlalu meninggalkan Bi Imah yang sedang memunguti seprai.

***

"Ibu, maaf Sekar lama," ucap Sekar, dia memasang raut memelas.

"Nggak apa-apa, yuk makan! Nanti keburu dingin makanannya."

Mata Sekar tampak berbinar saat melihay pemandangan di depannya. Iya, masakan Bi Imah yang terjejer rapi menambah nafsu makan si gadis.

Meja makan besar itu hanya dipakai Sekar dan Ibu Ayuningtyas saja. Ayahnya sudah pergi ke luar kota. Memang, keluarga Sekar berasal dari orang berada dan disegani banyak orang. Apapun usaha yang digeluti, pasti berujung berkembang pesat dan maju.

Ayah Sekar sendiri berasal dari daerah Sunda. Beliau bernama Brama Hendri Laksandi. Mitosnya, orang Jawa pantang menikah dengan orang Sunda. Hal itu karena adanya kisah gagalnya pernikahan Hayam Wuruk dan Putri Dyah Pitaloka dari Sunda, yang akhirnya berujung pada perang bubat.

Oleh sebab itu, muncul mitos yang telah dipercayai masyarakat luas bahwa pernikahan orang Jawa dan Sunda akan berujung perceraian. Dan itu hanyalah mitos, yang ditangkis oleh kakek dan nenek Sekar. Sebabnya adalah mereka memiliki satu mustika ghaib berwarna merah.

***

Gelegak matahari yang hampir tepat berada di atas ubun-ubun dengan kisaran jarak begitu jauh, tidak menyurutkan niat Sekar untuk mengunjungi rumah Felicya. Sekar terlihat lucu dengan kaus putih bergambar kucing, bercelana levis dan flatshoes-nya. Ditambah dengan totebag yang membuat penampilannya casual.

"Bu, Sekar berangkat ke rumah Felicya dulu, ya!" pamit Sekar dengan volume suara yang ditinggikan.

"Jangan pergi di hari Sabtu begini, pamali! Kalau nanti kenapa-kenapa, gimana?"

Ibu Ayuningtyas melarang, matanya sedikit melotot.

"Ah, bentar doang kok. Lagian juga dekat tempatnya," tukas Sekar, bersikeras.

Sekar pun berlalu dengan bibir monyong, dia tidak suka pamali-pamali yang dipercayai keluarga karena mengambat aktifitasnya sebagai anak muda.

Kamu Bisa Melihat Hantu? [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang