Aceh, 26 Desember 2004
Sore ini, seharusnya Dara dan yang lain pergi mengaji di Masjid seperti biasa. Tetapi karena siang tadi terjadi gempa bumi, alhasil mengajinya diliburkan. Dhien juga tidak mengizinkan adik-adiknya untuk pergi kemanapun, apalagi Dara yang memang hampir membuat Dhien menyesal karena nyaris saja tertimpa genting rumah saat gempa bumi berlangsung.
Dan kini Dhien, Dayana, dan Mutia sedang memasak bersama di dapur. Banyak sekali yang mereka obrolkan sembari menyiapkan makanan, termasuk membahas tentang akhir-akhir ini yang sering sekali terjadi gempa bumi.
"Kak, kenapa ya akhir-akhir ini sering banget gempa bumi?"
"Kakak tidak tahu Mut, tapi semoga saja bukan hal yang buruk."
"Aamiin."
Dara yang memang baru saja keluar kamar melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Tetapi belum sempat menginjakkan kaki disana, Dara menoleh ke arah Dhien, Dayana, dan Mutia yang ternyata sedang memperhatikannya dari dapur.
"Wihh, masak ayam goreng ya?!" Mata Dara berbinar setelah mencium aroma ayam goreng.
"Iya, kesukaan kamu kan. Mumpung tadi kak Dayana beliin ayam di pasar."
Sedangkan dari teras rumah, Aysa masuk mengintip dapur begitu mendengar teriakan Dara.
"Beneran kak?!"
"Iya adikku sayang."
Dhien dan Dayana tersenyum. Berbeda dengan Mutia yang hanya tersenyum tipis seolah itu adalah senyuman yang penuh rasa sakit. Entah apa yang akan terjadi, tapi Mutia rasa ini adalah senyuman terakhir mereka, firasatnya tidak pernah salah apalagi meleset.
"Iya, makanya cepat siap-siap. Habis selesai makan, kita sholat."
"Sholat di Masjid kak?" Dara menatap bergantian kedua kakaknya, menunggu jawaban.
"Kali ini kita sholat di rumah dulu ya? Biar kakak yang jadi imamnya." Dhien tersenyum tulus sembari mengusap lembut surai Dara.
Dara tersenyum membalas jawaban Dhien.
"Siap!! Dara mandi dulu, 10 menit!" Setelah mengucapkan itu, Dara bergegas masuk ke kamar mandi.
Begitu pula dengan Aysa dan Mutia yang kebetulan sudah siap, mereka hanya tersenyum mendengar ucapan Dhien.
Segera setelah selesai makan, kelimanya melaksanakan sholat Maghrib berjama'ah karena adzan telah berkumandang. Dara, Dayana, Aysa, dan Mutia mulai menempati sajadah masing-masing yang sudah disiapkan sebelumnya, termasuk Dhien yang baru saja meletakkan sajadah yang akan ia gunakan di posisi paling depan.
"Kakak seneng banget sa, sudah lama kita tidak sholat jama'ah bersama seperti ini." Dara sedikit membungkuk dan berbisik tepat ditelinga Aysa.
Mendengarnya pun Aysa tersenyum. Seolah bahagia yang Dara rasakan, turut menjalar sampai ke hatinya.
"Aysa juga kak, biasanya kita kalau sholat berjama'ah selalu di Masjid."
Kemudian bersamaan dengan itu, Dhien bersuara sembari menoleh ke belakang, meminta Dayana untuk mengumandangkan Iqamat sebelum sholat berjama'ah dimulai. Dan tanpa berlama-lama, Dayana langsung mengikuti perintah Dhien.
Selepas itu, sholat Maghrib berjama'ah pun berlangsung lancar. Suara Dhien ketika membaca bacaan sholat membuat hati yang lain menghangat.
Namun, baru saja Dhien mengucapkan salam terakhir, bahkan mereka pun belum sempat bersalaman dan berdoa, guncangan kembali terasa, kini begitu kencang. Lagi-lagi gempa bumi menakuti semua yang ada disana.
Suasana pun seketika ricuh. Mereka berlarian keluar rumah menyelamatkan diri bersama dengan perasaan campur aduk.
Orang-orang berteriak panik. Karena gempa kali ini lebih besar dan kencang dari gempa bumi siang tadi. Bahkan pot bunga, lampu, dan pigura yang menggantung di dinding rumah, serta barang-barang kecil lainnya turut berjatuhan dan ikut terombang-ambing.
Disitu Aysa tanpa sadar sudah memeluk Dhien begitu erat. Gadis itu menangis ketakutan.
"Kakaaakkk! Aysa takut."
Dhien mencoba menenangkan Aysa, ia peluk lebih erat tubuh Aysa. Tanpa bisa mengucapkan apapun selain beristighfar, Dhien memeluk adik-adiknya dengan sangat erat, melindungi mereka sebisanya.
"Kak, kenapa gempanya tidak berhenti-berhenti? Dara takut." Dara semakin mengeratkan pelukannya, sampai bisa yang lain rasakan tangannya bergetar.
Mendengar suara Dara yang bergetar dan sangat ketakutan, Dayana yang ada disebelah Dara langsung menarik tangan gadis itu kedalam pelukannya sendiri. Namun tiba-tiba saja, guncangan nya tidak lagi terasa.
Semua teriakan para tetangga yang semula masih terdengar, kini tidak lagi terdengar. Digantikan dengan suasana hening yang menyelimuti. Mereka semua menghembuskan napas lega setelah guncangan tidak lagi terasa dan meruntuhkan barang-barang.
"Alhamdulillah... Gempa nya sudah berhenti."
Dhien menatap semua adiknya satu persatu.
"Adik-adik kakak tidak apa-apa kan? Apa ada yang terluka?" Dhien bergerak, memeriksa keadaan adik-adiknya, memastikan tidak ada yang terluka sedikitpun.
Dayana mengangguk, begitupun yang lain.
"Kami tidak apa-apa kak. Tidak ada yang luka."
"Syukur alhamdulillah."
"Ayo masuk kedalam, kita selesaikan doa nya."
Seperti ucapan Dhien, mereka kembali masuk kedalam rumah, menyelesaikan doa yang sempat tertunda.
Mereka berharap gempa bumi tidak akan terjadi lagi dan menghancurkan lebih banyak barang. Sudah cukup, mereka tidak ingin merasakan dahsyatnya gempa bumi lagi. Mereka tidak ingin kehilangan satu sama lain. Cukup bapak dan ibu yang pergi, salah satu dari mereka jangan.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
HAI GUYS
HAPPY READING
Semoga feel nya sampai dan
bisa kalian rasakan ya✨Berikan vote dan komentar nya ya!
Jangan lupa follow akun Instagram
@wp.duniafiksiMasukin juga cerita ini ke perpustakaan kalian supaya
tidak ketinggalan ceritanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laut Menangis
Teen Fiction[ FOLLOW SEBELUM BACA ] -------------------------------------------------- ♡ A Story Teen Fiction By D'Maya ♡ -------------------------------------------------- Pada akhirnya semua hanya akan jadi kenangan, kenangan yang akan terukir abadi dalam jiw...