2. Kebahagiaan Yang Direnggut

50 15 0
                                    

Sudah sebulan setelah kepergian Ibu, tapi kerinduan akan sosoknya tidak akan pernah habis bagi kelimanya. Dulu saat sedang dihadapkan dengan kematian Bapak, Ibu selalu ada untuk menghibur dan menyemangati mereka, tapi sekarang mereka berlima benar-benar sendiri, tidak ada lagi satupun orang tua yang menemani mereka.

Hari-hari mereka lalui dengan tegar, mencoba bangkit dari semua keterpurukan, karena mereka tahu ini bukan akhir dari segalanya. Walaupun terkadang bayang-bayang Ibu dan Bapak masih sering terlintas di pikiran kelimanya.

* * *

4 Tahun Setelah Kematian Ibu

"Sudah 4 tahun kak suasana rumah ini sepi tanpa Ibu. Kira-kira sekarang Ibu lagi ngapain ya disana?" Aysa menatap lurus kedepan dengan pandangan kosong.

"Kakak juga tidak tahu Sa, tapi pasti Ibu bahagia disana." Dara tahu betul apa yang dirasakan Aysa, tapi dia juga tidak dapat berbuat apapun.

"Nanti kita ziarah ya ke makam Ibu, sudah lama tidak kesana." Dayana datang menghampiri keduanya, sepertinya dia mendengar apa yang Aysa dan Dayana bicarakan.

"Iya, nanti kita kesana. Lain kali kalau ada waktu kita ziarah juga ke makam Bapak di Surabaya."

Sore ini seperti perkataan Dayana tadi Pagi, mereka berlima pergi ke makam Ibu untuk sekedar berkunjung dan meletakkan bunga mawar putih kesukaan Ibu tepat didepan nisan nya.

"Bu, aku sama adik-adik dateng, kita juga bawain mawar putih kesukaan Ibu. Maaf baru kesini lagi sekarang." Dhien mengusap lembut nisan bertulis Sekar Ajeng Lesmini tanpa melunturkan senyuman yang terukir di wajahnya.

"Bu, kita kangen sama Ibu, Ibu tidak kangen sama kita?" Lagi-lagi Dara tak bisa menahan air mata nya saat berbicara di makam sang Ibu.

"Ibu lagi ngapain disana? Rumah sepi bu tanpa Ibu."

"Bu, Minggu lalu Aysa menang lomba, Aysa sudah penuhi janji Aysa ke Ibu, sekarang giliran Ibu yang penuhi janji ke Aysa. Ibu dulu bilang mau peluk dan cium Aysa selama yang Aysa mau kalau suatu saat Aysa menang lomba. Ayo Bu bangun, peluk Aysa seerat-eratnya." Aysa menangis sembari memeluk nisan Ibu dengan erat.

"Ayo pulang, sudah mau gelap." Dayana berdiri lebih dulu diikuti yang lain.

"Bu, kita pergi dulu. Kapan-kapan kita kesini lagi lihat Ibu."

Malam ini cuaca lebih cerah dari hari-hari sebelumnya. Malam yang biasanya selalu gelap tanpa cahaya bintang kini terang dipenuhi gemerlapnya bintang-bintang di langit, terlebih sekarang adalah malam bulan purnama.

Kelimanya sedang berada di teras rumah dengan Dara memainkan gitarnya. Mereka mengobrol diselingi candaan yang sesekali terlontar ditemani suara-suara hewan malam, bagai alunan musik indah ditelinga.

"Ya Allah, tolong jangan rebut kebahagiaan ini dari kami." Walaupun pelan dan nyaris tidak terdengar, tapi lirihan Dhien masih dapat didengar Dayana yang berada tepat disebelahnya.

"Tidak akan kak. Kebahagiaan ini milik kita dan selamanya akan jadi milik kita."

"Kakak harap juga begitu."

"Entah kenapa aku merasa ada yang berbeda malam ini." Tiba-tiba Mutia Yang sedari tadi diam bersuara.

"Maksud kamu?"

"Aku juga tidak tahu."

"Mungkin perasaanmu saja."

"Iya, mungkin." Mutia berusaha menepis perasaan buruknya, mungkin yang dibilang Dara benar.

* * *

Pagi telah tiba, kicauan burung memenuhi indra pendengaran. Dara, Mutia, dan Aysa sudah berada di sekolah, menjalani hari seperti biasanya.

"Kak, nanti pulang sekolah kita ke laut yuk."

"Iya, nanti kita kesana. Ajak kak Dhien dan kak Dayana juga."

"Memang kenapa? Tumben sekali kamu ingin ke laut?"

"Aku hanya ingin saja kesana, lagian sudah lama kita tidak ke laut."

Sepulang sekolah mereka berlima benar-benar pergi ke laut sesuai keinginan Aysa. Mereka berdiri ditepi laut, memandang jauh kedepan, menikmati hembusan angin yang menerpa wajah. Suasana yang sudah lama tidak mereka rasakan, laut benar-benar memberi ketenangan sendiri untuk mereka. Kelimanya hanyut dalam lamunan masing-masing. Semua memori di lautan ini seolah berputar kembali di kepala. Entah sudah berapa banyak kenangan yang laut ciptakan untuk mereka berlima, sampai-sampai setiap melihat laut kelimanya selalu dibuat tersenyum dan juga meneteskan air mata.

Tidak ada yang mengeluarkan suara, mereka masih menikmati laut yang telah menjadi saksi suka dan duka kehidupan mereka. Hingga matahari mulai terbenam diujung laut memberikan keindahan yang selalu dinantikan.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

HAI GUYS

HAPPY READING

Semoga feel nya sampai dan
bisa kalian rasakan ya✨

Berikan vote dan komentar nya ya!

Jangan lupa follow akun Instagram
@wp.duniafiksi

Masukin juga cerita ini ke perpustakaan kalian supaya
tidak ketinggalan ceritanya.

Laut MenangisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang