5. Fakta

100 18 0
                                        

Sayup-sayup suara garpu yang beradu dengan panci di dapur seolah menjadi sebuah kabar baik. Sudah pukul sebelas lebih tiga puluh menit, tapi Dara masih asik memainkan senar gitar seorang diri tepat di depan jendela kamar ditemani sinar bulan dan bintang. Saudaranya yang lain sudah lebih dulu tidur. Aysa dan Mutia sengaja dipaksa tidur setelah sholat Isya tadi, karena katanya kedua gadis itu besok ada ulangan harian, yang mana kalau tidak cepat-cepat tidur, Aysa dan Mutia tidak bisa bangun shubuh-shubuh untuk menghafal materi.

Kalau Dhien, sejak satu jam yang lalu sudah tidak terdengar lagi suaranya. Dan sudah bisa dipastikan ia sedang tidur dikamarnya.

"Nih."

Dara tersenyum lebar, lantas beranjak dari duduknya dan langsung memeluk penuh cinta dan penekanan pada Dayana yang kini sedang bergerak kesetanan karena Dara tak memberikan celah untuknya bernapas.

"Memang cuma Kak Dayana yang mengerti perasaanku! Aku sayang kakak! Mwah!" Kecupan basah di pipi Dayana membuat gadis itu kaget, tapi detik selanjutnya ia balas pelukan Dara tak kalah erat.

"Aku masih normal loh ya! Jangan sering-sering kecup aku!"

Lantas selepas mendengar itu, Dara terkekeh polos sembari mengikuti Dayana yang ternyata memilih duduk ditepian ranjang.

"Aku sengaja tidak kasih bubuk pedas, takutnya nasibmu semakin perih nanti."

"Ngeledek?" Dara seketika menoleh, matanya menatap nyalang ke arah Dayana.

Sambil mengangkat kedua bahunya, Dayana menuapkan suapan pertama kedalam mulut Dara lalu mulutnya sendiri sebelum membalas ucapan Dara.

"Aku bicara fakta."

"Nasib kita berdua sama ya kak, kalau kakak lupa."

Tidak berniat membalas kalimat dari mulut adiknya itu, Dayana kembali fokus melahap mie rebus miliknya. Begitupun Dara, ia melahap mie rebus buatan kakaknya yang tak pernah Dara sangka rasanya akan sehambar ini. Bukan hambar yang disebabkan oleh bumbu asin bawaan mie, tapi hambar karena setiap suapan yang masuk kedalam mulutnya, seperti senada dengan perasaan tak menentu yang memukul-mukul dinding hatinya.

"Kak."

Lagi, Dara menoleh ke arah Dayana yang kini masih sibuk melahap mie.

"Semakin hari rasanya dadaku semakin sesak, seperti ada suatu hal besar yang akan terjadi."

"Dari kemarin kamu bicara begitu terus. Memang apa yang akan terjadi? Semuanya sudah terjadi, kalaupun ada yang akan terjadi lagi ya tinggal terjadi, tidak usah dipikirkan."

"Mending sekarang kamu tidur, kakak juga mau tidur."

* * *

Sore-sore begini, ditemani angin sepoi-sepoi, Dara mengajak Dayana dan Aysa jalan-jalan keliling kampung. Tadinya Dara ingin mengajak Dhien dan Mutia juga, tapi mereka bilang ingin tetap di rumah, jadi hanya mereka bertiga yang pergi.

"Sebelum Maghrib harus sudah pulang ya dek!"Dhien berteriak dari arah dapur. Tangannya masih sibuk memotong-motong sayuran.

"Jangan jauh-jauh! Nanti Aysa kabur." Tawa Mutia seketika terdengar, berbeda dengan Aysa yang sudah memasang wajah kesalnya.

"Aku tidak akan kabur! Memangnya aku hewan, yang akan kabur kalau diajak keluar?!" Terdengar jelas sekali kekesalan dalam suara Aysa, tapi justru itu membuat keempat kakakya tertawa.

* * *

Habis gelap, terbitlah terang. Itu ungkapan paling cocok untuk mendeskripsikan situasi malam ini di teras rumah.

Sambil memandangi langit gelap penuh bintang, Dara tersenyum, begitupun keempat saudaranya. Seolah Bapak dan Ibu hadir disana dan turut meramaikan obrolan. Walaupun sedari pagi langit tampak sangat gelap, tetapi entah kenapa, malam ini bintang malah bermunculan begitu terang.

"Wah, banyak bintang, ya." Aysa terkesima melihat keindahan langit malam.

Semuanya ikut memandang ke atas, mengikuti arah pandang Aysa.

"Ada Bapak dan Ibu."

Lantas Aysa terkekeh pelan setelah mengucapkan itu. Begitupun yang lainnya.

"Bapak sama Ibu kangen kayaknya, mau ikutan gabung."

"Pak, Bu! Bapak sama Ibu kangen kami tidak?!" Tanpa aba-aba, Aysa berteriak sambil berdiri di halaman rumah.

Sembari memandangi langit, mata Aysa mulai berkaca-kaca. Kemudian tanpa disangka-sangka, Dara dan Mutia ikut turun ke halaman rumah, berdiri di samping Aysa.

"Kalau kami kangen banget sama Bapak dan Ibu! Tunggu kami ya! Kita pasti sama-sama lagi!"

"Cepat atau lambat aku akan menyusul kalian! Jadi, tunggu aku ya!"

Dara dan Mutia tertawa, begitu lega hati mereka setelah berteriak, mengungkapkan rasa rindu yang menjalar selama ini. Berharap dengan berteriak, Bapak dan Ibu bisa mendengar semuanya.

Berbeda dengan Aysa. Mendengar kalimat kedua kakaknya, Aysa langsung merangkul bahu Dara dan Mutia. Jelas mendapati bahunya dirangkul secara tiba-tiba seperti itu, Dara dan Mutia terkejut. Namun setelah melihat senyuman manis yang Aysa berikan, Dara dan Mutia ikut tersenyum sampai rasanya gigi mereka bisa saja kering.

"Jangan dulu! Kalian harus tetap disini sama Aysa, jangan buru-buru mau kumpul lagi sama Bapak dan Ibu." Aysa membawa Dara dan Mutia kembali ke teras rumah

Dhien dan Dayana hanya tersenyum melihat tingkah ketiga adiknya itu.

Mereka lantas kembali duduk, menyesap teh hangat yang baru saja Dayana buat. Karena kalau kumpul tanpa ada teh rasanya kurang nikmat.

Malam itu, adalah malam paling indah sekaligus paling hangat yang pernah mereka rasakan. Malam yang penuh dengan canda dan tawa, yang entah bisa mereka rasakan kembali atau tidak.

Tiba-tiba saja Dayana merampas gitar yang sudah ada sejak awal di samping Dara. Kemudian mulai bernyanyi penuh penekanan.

Yang lain juga ikut menyanyi mengikuti irama gitar yang Dayana mainkan. Kemudian semuanya berteriak.

"-ASIK!!"

Nyanyian berlanjut sampai jam menunjukkan pukul sebelas malam. Mereka berlima menghabiskan waktu untuk saling melempar tawa malam itu.

Malam terindah yang tidak akan pernah kelimanya lupakan sampai kapanpun. Kehangatannya, candanya, tawanya, semuanya akan mereka simpan baik-baik di dalam hati dan pikiran.


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

HAI GUYS

HAPPY READING

Semoga feel nya sampai dan
bisa kalian rasakan ya✨

Berikan vote dan komentar nya ya!

Jangan lupa follow akun Instagram
@wp.duniafiksi

Masukin juga cerita ini ke perpustakaan kalian supaya
tidak ketinggalan ceritanya.

Laut MenangisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang