9. Gelombang Dahsyat

33 14 0
                                    

Tanah berguncang begitu dahsyatnya, meruntuhkan apa saja yang ada disana. Bahkan teriakan dari orang-orang yang memanggil anaknya, memanggil orang tuanya, memanggil kakaknya, memanggil adiknya, memanggil tetangganya, tak membuat kelimanya lengah untuk melindungi satu sama lain.

"Mutia! Aysa! Pegang tangan kakak yang erat!"

"Dara! Peluk kakak! Jangan sekalipun kamu lepas!"

Mereka berlima berlari, berusaha menyelamatkan diri.

"Air laut naik! Air laut naik!"

"Gelombang dahsyat datang!"

Bisa kelimanya dengar dengan jelas teriakan dari para warga yang berlarian menuju dataran tinggi. Langkah mereka tidak berhenti sedikitpun, terus berlari menuju dataran tinggi yang sekiranya aman, untuk sementara. Namun ditengah jalan, Mutia tiba-tiba terjatuh karena tersandung sesuatu.

"Awss, sakit..."

"Mutia!!"

Langkah yang lain terhenti dan segera berbalik menghampiri Mutia.

"Pergi! Tinggalkan saja aku disini! Cepat pergi! Selamatkan diri kalian berempat!" Mutia mendorong pelan keempat saudaranya agar segera pergi, kakinya sudah tidak kuat lagi bahkan untuk sekedar berjalan.

"Pergi kak!! Dengerin aku! Kakiku sudah tidak kuat. Tinggalkan aku! Aku ingin kalian tetap hidup! Demi aku! Cepat!!"

"TIDAK!!"

Tanpa sadar Dhien membentak Mutia, sampai gadis itu terkejut bukan main.

"KALAU SATU DARI KITA TIDAK PERGI, SEMUANYA TIDAK AKAN PERGI!!"

"KALAU MEMANG HARUS MATI SEKARANG, KITA MATI SAMA-SAMA!"

Sontak, Mutia mematung setelah mendengar ucapan dari mulut Dhien dan Dayana. Sementara itu, suara air terdengar semakin riuh dan dekat.

"Kak! Airnya!!"

"Tsunami nya mendekat kak!!"

Dhien langsung menyuruh mereka semua untuk saling berpegangan tangan satu sama lain dengan erat begitu gelombang mendekat.

"Pegang tangan kakak erat-erat, kakak akan melindungi kalian, jangan takut."

Walaupun kalut, Dhien berusaha mati-matian melindungi adik-adiknya. Ia sama sekali tak memikirkan dirinya sendiri, yang ia pikirkan hanya bagaimanapun adik-adiknya harus selamat. Dan detik itu juga tubuh mereka terhempas sangat kuat oleh air.

Kejadiannya sangat cepat. Kelimanya tidak lagi bersama, masing-masing hanyut terbawa air ke arah yang berbeda-beda. Dara tidak lagi bisa merasakan genggaman tangan Dhien dan Aysa, ia juga tidak bisa merasakan kehadiran Dayana dan Mutia lagi yang semula masih bersamanya. Dara hanya bisa merasakan air yang terus membawanya entah kemana.

Dara tak mampu membuka mata. Air semakin naik dan naik tanpa bisa Dara cegah dan kira akan sejauh mana ia dibawa.

Sakit. Seluruh tubuhnya sakit. Dara menangis meski rasanya seperti mimpi. Dadanya sangat sesak, oksigen seakan dirampas paksa darinya begitu ia sadar kalau ternyata semua sudah berakhir.

"KAK DHIEN!"

"KAK DAYANA!"

"MUTIA!"

"AYSA!"

Dara terus berteriak, walaupun air terus masuk melalui mulutnya tanpa henti. Dadanya terasa penuh, Dara menelan begitu banyak air saat berusaha mati-matian meraup oksigen, tangannya berkeliaran mencari jalan ke permukaan. Meski lagi-lagi tubuhnya hanya mengapung dan semakin jatuh kebawah. Dara memang bisa berenang, tapi kalau tubuhnya dihempas air tiba-tiba seperti ini, ia juga akan kesulitan menjaga keseimbangan.

Sedangkan begitu tubuh mereka disapu oleh air, genggaman tangan Dhien dan Mutia yang semula masih saling menggenggam erat hingga beberapa meter terbawa air, kini terlepas begitu saja. Keduanya berpisah dengan jarak yang mereka sendiri tidak tahu akan sejauh apa. Mutia sempat berpegangan pada tiang besar, namun itu semua tak berlangsung lama ketika hantaman kayu tajam di kepalanya membuat kesadaran Mutia hilang seketika. Berbeda dengan Dhien, yang sampai sekarang masih terombang-ambing tak tentu arah. Gadis itu terus berteriak memanggil nama adik-adiknya sembari berusaha menyentuh permukaan meski kakinya tanpa sengaja terikat oleh akar yang menyatu dengan sesuatu di dalam air. Tetapi, sekeras apapun Dhien mencoba naik ke permukaan, tubuhnya akan kembali tertarik ke bawah terus menerus. Sampai akhirnya, paru-parunya terasa terbakar, Dhien kehabisan oksigen detik itu juga.

"Maafin kakak, karena tidak bisa melindungi kalian hingga akhir, kakak pamit." Kalimat terakhir yang Dhien ucapkan dengan begitu lirih dan bergetar sebelum akhirnya ia menutup mata, kali ini untuk selamanya.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

HAI GUYS

HAPPY READING

Semoga feel nya sampai dan
bisa kalian rasakan ya✨

Berikan vote dan komentar nya ya!

Jangan lupa follow akun Instagram
@wp.duniafiksi

Masukin juga cerita ini ke perpustakaan kalian supaya
tidak ketinggalan ceritanya.

Laut MenangisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang