8. Takut Tak Bertemu Lagi

79 17 0
                                    

Keadaan sudah lebih membaik dari tiga puluh menit yang lalu. Bahkan, sekarang Dara dan Mutia sedang asik di teras rumah. Keduanya memandangi langit malam yang penuh bintang, langit yang sangat indah, seindah senyuman Bapak dan Ibu belasan tahun silam. Tidak ada yang berniat membuka suara diantara mereka, keduanya sama-sama hanyut dalam lamunan, memikirkan banyak hal di kepala.

"Mikirin apa sih kalian? Dari tadi ngelamun terus." Aysa mengagetkan Dara dan Mutia yang masih belum sadar dari lamunan.

"Astaghfirullah dek! Kamu ngagetin aja." Dara mengelus dadanya karena terkejut.

"Habis kalian dari tadi aku panggil-panggil tidak dengar."

"Ada apa?"

"Tidak ada, hanya iseng." Terdengar suara tawa renyah dari Aysa, sementara Mutia sudah menatapnya horor.

"Sudah, sudah jangan berantem. Nih camilan." Dayana dan Dhien keluar dengan dua piring berisi camilan.

"Wahh... Makasih kakak." Mata Mutia berbinar dan langsung memakan camilan di depannya.

Lagi-lagi kembali hening. Mereka berlima tidak bersuara, hanya memerhatikan bintang diatas sana. Sementara Dara, tangannya terus memetik senar gitar dengan melodi yang ia buat sendiri sembari melihat bintang-bintang. Terdengar begitu pelan namun dapat dirasakan kesedihan dari melodi yang dimainkannya.

"Kok jadi galau gini sih?" Dhien menatap Dara dengan ekspresi kesal yang dibuat-buat.

Sedangkan Dara hanya tersenyum tanpa berniat membalas tatapan Dhien.

Kemudian tarikan napas berat terdengar sangat jelas, membuat Dara seketika menoleh dan mengarahkan seluruh atensinya pada Mutia.

"Kenapa?"

Mutia menggeleng lemah, "Tidak apa-apa."

"Tapi kok berat gitu napasnya?"

Seketika Mutia tersenyum, lantas menoleh pada dimana Dara duduk dengan ekspresi khawatir begitu menyadari ada yang berbeda darinya.

"Tidak apa-apa kak. Aku Cuma takut."

"Takut apa?"

"Ya takut aja." Mutia membuang pandangan ke sembarang arah, "Takut kalau kita tidak akan bertemu lagi."

Kini giliran Dara yang menghembuskan napas panjang, setelah mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Mutia.

"Kok kamu bisa berpikiran seperti itu? Memangnya kita akan berpisah? Tidak kan. Jadi kamu tenang aja, tidak usah takut."

Mutia mengangguk, walaupun Dara sudah berbicara seperti itu, perasaannya masih saja resah. Perasaan aneh dari beberapa menit yang lalu masih saja memenuhi dadanya. Mutia bahkan kesulitan mengontrol detak jantungnya sendiri semenjak gempa bumi berturut-turut ia rasakan dari siang.

Dara menegakkan tubuhnya, berhenti sejenak dari bermain gitar. Ia memandang lurus kedepan dengan tatapan yang sulit diartikan. Setelah mendengar ucapan Mutia tadi, entah kenapa dadanya tiba-tiba sesak, rasanya ia ingin menangis saat ini juga.

"Tadi Mutia yang galau, sekarang kamu. Kenapa?" Suara Dayana menyadarkan Dara, buru-buru ia mengusap sudut matanya, menghapus air mata yang hendak keluar dari tempatnya.

"Loh, malah nangis."

"Sembarangan! Siapa juga yang nangis kak! Aku tidak nangis! Kakak paling yang nangis."

"Enak aja! Tidak ya!" Tangan Dayana langsung mendarat mulus di bibir Dara.

Sedangkan Aysa malah dibuat tertawa setelah mendengar suara nyaring yang ditimbulkan dari tepukan tangan Dayana pada punggung Dara. Dan di situ, Dara hanya pasrah setelah mendapatkan pukulan di punggungnya, mau marah juga tidak bisa. Walaupun tidak terlalu keras, tapi berhasil membuatnya terkejut.

"Pak, Bu... Lihat nih! Kak Dayana pukul mulut Dara."

Matanya memerah, Dara menatap banyaknya bintang yang bertebaran di langit.

"Kakak tidak bermaksud. Maaf."

"Iya, dimaafin." Gadis itu menoleh pada Dayana dengan tatapan sayu. "Asalkan kakak cium pipiku."

"Kakak pukul lagi aja gimana? Pukulan juga bentuk dari rasa sayang loh." Dayana menjauhkan wajah Dara yang semula sudah disodorkan pada bibirnya

"Tidak-tidak! Tidak mau! Aku maunya dicium kalian semua, bukan dipukul!"

Mendapat reaksi Dayana yang seperti itu, Dara semakin merajuk. Malahan gadis itu sampai menangis tanpa dibuat-buat. Air matanya jatuh sangat banyak, seolah yang baru saja ia minta bukanlah candaan semata. Dara betul-betul menginginkannya.

"Eh eh, kok malah nangis?"

"Ya masa aku cuma minta cium pipi saja tidak boleh? Kakak tidak sayang aku ya?"

Melihat itu Dayana keheranan, begitupun Dhien yang hanya bisa memandangi keduanya dengan tatapan bertanya-tanya. Sebenarnya ada apa?

Sedangkan Mutia dan Aysa, ternyata diam-diam mereka juga menginginkan hal yang sama.

"Ya sayanglah... Sayang sekali kakak sama kamu."

Tidak ada jawaban. Dara kembali menyandarkan punggungnya pada tembok sembari menatap kosong ke depan. Sedangkan Dhien yang melihat itu, langsung menyikut tangan Dayana, meminta agar gadis itu mengikuti kemauan Dara, lewat tatapan matanya.

Dayana mengangguk. Akhirnya ia mengikuti ucapan Dhien dan mengabulkan keinginan Dara. Ia juga merasa bersalah sebenarnya, karena tadi sudah sempat menolak keinginan Dara.

"Maaf. Sini kakak cium." Dayana mendekatkan wajahnya pada Dara

Dara langsung menoleh kala mendengar ucapan Dayana yang setuju untuk mencium pipinya.

"Beneran kak?!"

"Iya, sini."

Dua ciuman mendarat mulus dikedua pipi Dara, setelahnya Dara bergantian mencium pipi Dayana.

"Kak Dhien juga, disini." Dara menunjuk pipinya sendiri pada Dhien, menyuruh kakaknya juga ikut menciumnya

"Kita juga mau kak." Mutia dan Aysa akhirnya bersuara, mengutarakan isi hati mereka

"Sini."

Kemudian setelah mereka selesai mencium pipi satu sama lain, lagi-lagi mereka merasakan guncangan dahsyat bersamaan dengan dentuman keras yang tak tahu dari mana asalnya.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

HAI GUYS

HAPPY READING

Semoga feel nya sampai dan
bisa kalian rasakan ya✨

Berikan vote dan komentar nya ya!

Jangan lupa follow akun Instagram
@wp.duniafiksi

Masukin juga cerita ini ke perpustakaan kalian supaya
tidak ketinggalan ceritanya.

Laut MenangisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang