"Selamat ulang tahun!" Ucap seseorang padaku dengan semangat menggebu setelah berpapasan denganku.
"Ah ya, makasih!" Jawabku dengan energi yang sama. Kakiku menapaki lantai sekolah dengan riang. Dia, yang barusan mengucapiku adalah temanku yang aku temui saat mendaftar di sekolah ini dan orang ke sekian yang mengucapiku selamat ulang tahun.
"Hbd, Chio!"
"Hey hey, thanks!"
Dan itu temanku juga dari kelas yang lain yang aku kenal saat... makan siang tahun lalu. Ia antre di belakangku.
"Happy birthday, Chio!" Segerombolan laki-laki mengucapiku dengan semangat.
"Thanks guys!" Jawabku sambil mengedipkan mata jahil.
Kalau mereka, gamers yang sering nongkrong di warnet yang sama denganku dan gengku.
Setelah melalui puluhan ucapan selamat, aku nyaris sampai di kelasku. Aku bisa melihat teman baikku yang mengintip dari balik pintu, wajahnya terkejut saat bertatap mata denganku. Suara pintu ditutup dengan gebrakan membuatku curiga dengan gerak gerik ini. Apakah kejutan? Buatku? Kakiku langsung melangkah dengan semangat.
Seorang laki-laki yang berlari begitu kencang menabrak bahuku dan berlari mendahuluiku. Ia melirik sekilas ke arahku dan langsung menoleh ke depan lagi.
Sebenarnya masih ada 20 menit lagi sebelum kelas dimulai, namun karena ini hari pertama setelah libur musim panas yang panjang dan tempat duduk selama 5 bulan ke depan —sebelum libur musim dingin— ditentukan hari ini. Sistem siapa cepat dia dapat.
Begitu lelaki itu, Ian, membuka pintu,
Ptass! Teetetetetetetet!
"Happy birth- eeEHH?"
Ian melongo di depan kelas dengan kepala yang penuh dengan warna warni kertas confetti. Aku menahan tawaku dan segera berdiri di belakangnya.
"Salah orang ya?" Ejekku kepada teman-temanku yang ikut melongo.
"Tuh, kan! Mana sih, tadi katanya Chio! Arga goblok!"
Arga, yang bertatapan denganku dari balik pintu tadi, berakhir diamuk masa oleh teman-teman sekelasku. Aku melipir ke samping Ian yang sibuk menarik kertas confetti dari rambutnya. Ekspresi yang tadinya terkejut, sekarang sudah tenang. Tidak menunjukkan emosi apapun.
Ian adalah anak pendiam yang duduk di depanku. Jadi, wajah tanpa emosi ini cukup sering kulihat. Walaupun tampaknya aku lebih suka ia yang berekspresi kaget seperti tadi.
Melihatnya kesulitan, aku menarim tangannya untuk masuk dan mendorongnya duduk di bangku yang biasa aku duduki. Di pojok, di samping Arga.
"Rambutmu sangat tebal, jadi agak susah membersihkannya. Sorry ya Ian," ucapku yang berdiri di hadapannya, mengambil confetti yang licin dan sulit dibersihkan dari rambutnya. Aku merasa bersalah karena harusnya kepalaku yang dipenuhi confetti ini.
Tangannya segera menepis tanganku, menghentikan kegiatanku membersihkan kepalanya, "Gapapa, aku bisa sendiri." Ia berdiri dan pergi ke tempat duduknya. Sama seperti biasanya, ia selalu duduk di depanku. Walaupun begitu, sulit untuk berbicara dengannya.
Aku melihatnya duduk dan tanpa ambil pusing langsung menelusukkan kepalanya ke lipatan tangannya. Ah, apakah aku membuatnya kesal? Apakah aku terlalu berlebihan memegangi rambutnya?
"Archio! To... long aku..." pinta Arga dari arah pintu karena dicubit oleh anak perempuan di kelasku.
Aku menoleh ke arah Arga dan langsung terkekeh. Kuletakkan tasku dan melerai mereka sambil tertawa. Ucapan selamat dari teman sekelasku pun mulai mengalir sampai kepadaku. Ada beberapa yang memberiku makanan ringan dan juga hadiah kecil lainnya.
Mataku tanpa sadar melirik ke arah Ian yang tampaknya sudah terlelap. Rambutnya masih memiliki confetti di sana sini, tetapi tampaknya ia lebih memilih tidur dibandingkan membersihkan rambutnya.
"Kau harus minta maaf pada Ian," bisik Arga padaku.
Tanganku yang sibuk memasukkan hadiah yang aku terima ke dalam tas langsung berhenti, "Aku? Tapi kau yang salah prediksi?" Debatku tidak terima.
"Ki- kita harus sama-sama."
Aku menyipitkan mataku dan melihatnya cukup lama. Arga tidak berani menatap mataku dan meraup wajahku dengan tangannya, "Aku ga pernah ngobrol dengannya?! Minimal, kau udah pernah!" Bisiknya cukup pelan, seperti sedang melakukan transaksi gelap di keramaian.
Aku berpikir sejenak dan mengangguk setuju. Dia satu-satunya orang ter-hening yang pernah aku temui. Jadi, baru sekali tadi aku berbicara sedikit lama padanya. Tapi, yah patut dicoba.
Aku kembali lagi, dengan cerita baru nan sederhana yang aku tulis di masa kelam perskripsianku. Untuk yang bertanya-tanya cerita 'His Plaything' kemana, tentu saja aku diemin dulu sampe mateng. Anyway, see you!
KAMU SEDANG MEMBACA
I LIKE YOU? [ 15+ ; BL ]
Romance[COMPLETE] [Shounen Ai] Archio tidak menyadari perasaannya pada Ian. Ia tidak tahu, jika debaran di jantungnya, rona merah di pipinya, netranya yang tidak bisa beralih dari bibir merah Ian, adalah tanda-tanda perasaan sukanya. Sebuah cerita pendek...