7

155 17 8
                                    

Kami berjalan pulang bersama setelah karaoke. Aku baru sekali pulang bersama Ian yang ternyata rumah kami searah. Ini kali kedua aku pulang bersamanya. Biasanya aku pulang sendiri karena rumahku dan teman-temanku lainnya beda arah dariku. Jadi, aku merasa senang karena aku mendapat teman pulang.

Hanya saja rumah Ian lebih jauh sedikit, sekitar 4 persimpangan lagi.

"Chio, apakah tawaranmu untuk jalan berdua masih berlaku?" Tanya Ian padaku.

Aku berdehem pelan. Sedikit terkejut karena dari tadi, aku menyusun kalimat yang pas untuk mengajaknya jalan. Sebenarnya banyak, 'Jadi jalan berdua?', 'Mau jalan berdua ga?', atau 'Kau setuju kalau kita jalan berdua?'. Entah mengapa, kata berdua membuatku ingin tersenyum lebar dari telinga ke telinga.

"Chio?" Panggil Ian padaku yang membuatku tersadar dari pikiranku.

"Iya. Ada tempat yang ingin kau kunjungi?" Tanyaku langsung.

"Aku... ingin bermain air," jawabnya ragu.

Bermain air? Berenang? Di kolam? Di pantai? Dengan baju terbuka? Astaga, lagi-lagi pipiku memanas. Apa yang aku bayangkan mengenai Ian?

"Kalau begitu, pantai terdengar terlalu jauh. Kalau Sekaike? Sudah lama aku tidak mengunjungi tempat itu. Kau pernah kesana?" Pertanyaan bodoh itu meluncur begitu saja. Sekaike merupakan satu-satunya wahana air yang ada di kota ini, siapa yang belum pernah kesana?

"Belum... makanya aku ingin kesana."

Aku tercengang. Aku tahu dia expresionless, tapi tidak tahu kalau dia experienceless juga

"Oh uh, kalau gitu, besok kita kesana, kau bisa kan?"

"Bisa!" Jawabnya cepat.

Iris mata gelapnya lagi-lagi berbinar. Ia seperti boba berjalan. Rambut hitamnya yang lebat pun tampak melompat-lompat riang akibat langkah kakinya yang berjinjit-jinjit riang. Seperti anak rusa.

"Chio," panggilnya.

Aku mengerjap, "ya?"

"Bukannya rumahmu, arah sana?" Tunjuknya pada simpang di belakang kami.

"Aku ingin mengantarmu, aku yang mengajakmu keluar hari ini. Lagian kita teman, aku harus tahu rumahmu dimana, ya kan?" jawabku asal.

Sebenarnya aku baru kepikiran untuk melihat dimana rumahnya. Tapi, itu alasan yang bagus agar bisa berjalan lebih lama dengan Ian. Aku merasa penasaran dengan apa yang ada pada dirinya. Perasaanku yang ingin menghabiskan waktu dengannya meskipun aku yang lebih banyak berbicara dibanding dirinya, membuatku penasaran.

Mungkin, ini karena... aku terbiasa berkumpul dengan orang-orang yang banyak bicara juga? Jadi, dengan Ian adalah perasaan yang baru.

Aku menggelengkan kepalaku pelan dan mulai berceloteh panjang lebar. Dan benar, aku suka tanggapan Ian terhadap ceritaku. Ia akan sesekali terkekeh geli dan menutup mulutnya. Matanya ikut menyipit dan melengkung indah saat ia tertawa. Seperti pelangi. Tingkahnya membuatku nyaman di dekatnya.

"Dan kita sampai!" Ujarnya, "ini rumahku. Oya ini sudah jam makan malam, apa kau mau mampir?" Tanyanya, "e... mamaku masak hari ini."

Aku menggeleng, "Aku tidak bisa, ibuku juga masak hari ini setelah sekian purnama sering lembur." Melihatnya berdiri disana, aku mengelus lembut kepalanya.

"E... Chio?"

Aku terkesiap dan langsung menarik tanganku dan menyembunyikannya di balik punggungku, "Maaf. Kau tahu,... em kau seperti... seorang adik. Aku anak tunggal, jadi ya gitu. Kayak aku kakak yang sayang ke adiknya...?" Jelasku tergagap dan rancu.

Ian mengangguk kecil. Ia menggigit bibir ranumnya kecil-kecil membuatku hampir kehilangan akal.

"Oke. Makasih sudah mengantarku, hati-hati!" Badannya dengan cepat berbalik dan menutup gerbangnya. Belum beberapa detik berlalu, gerbang rumahnya kembali terbuka, "besok, jam 9 aku ke rumahmu." Pintu gerbangnya kembali tertutup.

Aku memandang pintu gerbang berwarna biru tua di hadapanku. Perlahan aku duduk di anak tangga yang ada di depan rumahnya dan memegangi wajahku yang memanas. Tanganku yang memegang rambutnya pun turut memerah.

Sudah berapa kali kurasakan jantungku berdebar dan mataku tidak berhenti melihat ke arahnya. Untung saja, Ian bukan orang yang senang menatap orang lain. Kami jarang bertemu tatap, karena ia selalu mengalihkan pandangannya dengan segera. Namun, melihat tingkahnya tadi, aku bergerak sesuai isi kepalaku.

Kulangkahkan kakiku menjauh, kembali ke rumah. Selama di perjalanan, pikiranku hanya tertuju pada iris mata gelapnya, rambut ikal hitamnya yang lembut dan sering menutupi sebagian wajahnya, dan juga bibir merahnya yang senantiasa tertutup rapat namun sangat menggemaskan setiap ia berbicara.

Ia nyaris setinggi diriku, namun bagaimana bisa ia memiliki wajah semenggemaskan itu? Lagi-lagi, aku merasakan perasaan aneh ini padanya.

Ia nyaris setinggi diriku, namun bagaimana bisa ia memiliki wajah semenggemaskan itu? Lagi-lagi, aku merasakan perasaan aneh ini padanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
I LIKE YOU? [ 15+ ; BL ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang