Sudah 2 hari sejak kejadian aku mencium Ian. Ian masih berbicara pada Arga dan yang lainnya. Hanya saja, ia menjauh saat aku ikut nimbrung berbicara. Bahkan, ia tidak menoleh padaku saat memberikan kertas formulir pemilihan Tema pakaian kelas untuk acara kegiatan olahraga yang akan diadakan 2 minggu lagi.
Aku benar-benar dibenci olehnya!
Aku terduduk lemas, sebelah pipiku menempel pada buku dan menatap punggung Ian. Jika diperhatikan, baju seragamnya sedikit lebih besar dibandingkan badannya yang kulihat saat kami berenang. Ah... aku membayangkan badannya lagi.
Tanganku menulis sebuah kata 'ciuman' di atas meja berulang kali. Kejadian itu mungkin hanya terjadi sebentar, tapi bagiku itu terasa cukup lama. Aku mengingat matanya yang membelalak dan punggungnya yang pergi meninggalkanku di atas kolam.
Aku bisa gila karena tingkahku sendiri! Aku tidak pernah melakukan sesuatu secara spontan, biasanya aku memikirkan dulu apa yang akan kukatakan dan kulakukan. Karena hal yang kujaga ini, aku bisa gampang memiliki teman dimanapun.
"Ci-u-man..." eja Arga. Aku menoleh dengan cepat ke arahnya. Kulihat Ian dan Arga bergantian, "kau masih memikirkan tentang ciuman-ciuman itu?" Tanya Arga.
Astaga si mulut bocor ini!
"Sudahlah, kau tahu, ciuman bukan masalah besar di masa sekarang. Itu normal seka-"
Brak!!!
Ian menggebrak mejanya dan berdiri. Seluruh tatapan murid yang sedang menulis cacatan, beralih pada Ian. "Permisi! Saya ingin ke kamar mandi!" Tanpa jawaban dari guru, Ian sudah berjalan keluar kelas.
"Uh oh, silakan!"
Aku menatap Arga dan mengepalkan tinjuku padanya. Ia hanya menatapku bingung dan mengendikkan bahunya. Tentu saja ia bingung Chio dongo, ia tidak tahu apa-apa!
"Pak, permisi saya harus ke kamar mandi!" Izinku dan langsung berlari keluar.
Aku tidak melihat Ian lagi di lorong. Kucari dirinya ke kamar mandi, namun kamar mandi kosong. Dimana, dimana, dimana?
Ah, atap!
Kakiku melangkah dengan panjang, mencoba mencapai atap lebih cepat.
"Ian!" Panggilku saat melihat punggungnya berada di depan pintu atap.
Ia menoleh dan langsung menutup pintu atap secepat kilat. Aku berlari dan mencoba membuka pintu itu, namun sepertinya Ian menahan pintu itu dengan tubuhnya.
"Ian, buka!" Pintaku.
Tidak ada jawaban.
"Ian?" Panggilku lagi.
Masih tidak ada jawaban.
Aku memandang ke bawah. Bayangan kaki Ian terlihat di celah kecil di bawah pintu. Kuturunkan tanganku dan berdiri menghadap pintu.
"Ian, aku tahu kau bisa mendengarku," ucapku akhirnya, "aku ngerti, kau layak marah padaku. Aku minta maaf untuk ciuman itu. Mungkin aku menyakiti hatimu, kau percaya padaku dan kita menjadi teman. Namun, aku malah melakukan hal aneh itu padamu. Aku tidak punya alasan yang layak dibenarkan. Mungkin kau berpikir aku mesum atau... teman yang buruk, aku tidak apa," lanjutku. Sebenarnya apa yang kukatakan.
"Tapi, alasan aku menciummu... astaga aku benar-benar tidak berpikir panjang saat itu. Aku melihatmu sangat bahagia di bawah sinar matahari itu. Aku ingat tawa dan matamu yang ikut tersenyum senang, aku ingat rambut ikalmu saat kau melayang. Saat jatuh ke dalam air dan melihatmu tersenyum lebar padaku, satu yang aku ingin lakukan. Hanya, menciummu. Aku min-"
Kriett...
Pintu terbuka perlahan. Ian hanya menunduk, ia menarik tanganku dan mengajakku duduk di tempat yang sama saat aku menemuinya di atap minggu lalu.
"Kau menceritakannya dengan sangat detail..."keluhnya dengan wajah merona.
TAHAN DIRIMU ARCHIO! KAU JANGAN BERTINGKAH BODOH!
"Aku benar-benar minta maaf. Kau boleh memukulku atau memakiku atas pelecehan yang kubuat padamu," ujarku sambil berlutut.
Ia hanya menatapku dan kemudian mendorongku menjauh.
"Apa kau menyukaiku?" Tanyanya.
Aku diam terpelongo.
Aku? menyukaimu?
KAMU SEDANG MEMBACA
I LIKE YOU? [ 15+ ; BL ]
Romansa[COMPLETE] [Shounen Ai] Archio tidak menyadari perasaannya pada Ian. Ia tidak tahu, jika debaran di jantungnya, rona merah di pipinya, netranya yang tidak bisa beralih dari bibir merah Ian, adalah tanda-tanda perasaan sukanya. Sebuah cerita pendek...