Arga menusuk pelan bahuku dengan jarinya dan menujuk ke arah bangku Ian yang kosong dengan dagunya. Aku menggeleng dan mengendikkan bahuku. Ian pergi keluar saat jam pelajaran kelima dan tidak kembali sampai sekarang, saat istirahat makan siang.
"Yaudah, tunggu pas pulang sekolah aja nanti," anjur Arga, "kuy makan siang?" Ajaknya.
"Duluan aja, Ga. Nanti aku nyusul," balasku.
Ia mengangguk dan bergabung bersama gerombolan anak kelas. Setelah merasa Arga berjalan cukup jauh, aku mengambil jajan yang tadinya akan kuberikan kepada Ian dan berjalan keluar kelas.
Prinsip hidupku adalah langsung meminta maaf jika aku membuat kesalahan. Aku tidak akan tenang jika tahu seseorang marah padaku karena kesalahanku. Kakiku melangkah menuju kamar mandi, UKS, lapangan belakang, lapangan basket, kamar mandi bawah, gymnasium, dan hampir seluruh sekolah. Aku terduduk di salah satu kursi di pinggir lapangan dan menarik napasku panjang.
"Dimana dia?" Gerutuku sembari mendongakkan kepalaku, menatap langit biru yang terbentang di atasku.
Tanganku sudah kembali dipenuhi hadiah jajanan yang kudapat setelah mengelilingi sekolah. Aku tahu aku cukup ramah dan memiliki banyak teman, tapi aku tidak tahu kalau tahun ini hadiahku akan bertumpuk sebanyak ini.
Tahun lalu, juga banyak sih.
Mataku menatap lapangan sekolah yang sebagian ditutupi oleh bayangan gedung sekolah. Aku juga menangkap bayangan seseorang di atas gedung. Aku menolehkan kepalaku dan melihat Ian berdiri disana. Aku yakin mata kami bertemu, karena ia segera berjongkok dan menghilang di balik tembok setelah aku melihatnya.
Aku lupa mengecek atap sekolah.
Kakiku melangkah cepat dan membawa tentengan jajan dan seluruh hadiah yang ada di tanganku, menuju atap sekolah.
"Ian!" Panggilku segera sampai di atap sekolah.
Aku tidak melihat keberadaannya, apa dia sudah pergi lagi? Sebenarnya kenapa dengan anak itu? Apa aku benar-benar dibenci? Tubuhku mendadak merinding membayangkan itu. Aku melangkah dengan perlahan dan melihat bayangan seseorang berdiri di bagian belakang toren air.
"Ah... apa dia sudah kembali ke kelas? Mending aku kembali kalau begini," sungutku dengan suara sedikit kuat. Aku berpura-pura berjalan dan menutup pintu menuju atap sekolah.
Aku bisa mendengar hela napas Ian yang cukup panjang. Ia berjalan memutari toren air dan,
"Kena kau!" Pekikku spontan.
Ian tampak terkejut dan mematung.
Aku pun ikut mematung, apakah aku mengejutkannya terlalu semangat? Apa aku membuatnya kesal lagi? Dan aku bahkan tidak tahu apa yang harus kukatakan selain maaf. Aku sedikit takut. Bagaimana jika ternyata Ian membenciku karena sesuatu yang lain, yang tanpa aku sadari ternyata menyakitinya.
Aku benci pada diriku sendiri jik aku menyakiti dan membuat orang benci padaku. Apalagi aku melakukannya tanpa sadar.
"A- aku minta maaf soal yang tadi," ucapku akhirnya.
Kuletakkan seluruh hadiah di tanganku, menyisakan tentengan jajan yang kubeli untuk Ian. Aku berjalan menghampirinya dan tanpa ragu, Ian berbalik membelakangiku.
Ah sial! Dia beneran benci padaku!
"I-ni, ini tanda minta maafku," sodorku padanya. Mengenai punggungnya dengan plastik berisi jajanan, "aku beli minuman tadi pas jam istirahat pertama. Jadi, ini mungkin tidak dingin lagi. Tapi, aku beli makanan juga kok. Harusnya sih makanannya enak. Aku gatau kau suka asin atau manis, jadi aku beli keduanya," ujarku cukup panjang dan sedikit tergesa. Aku menarik nafasku, "Maaf ya?"
"Aku beneran tidak apa, tidak perlu meminta maaf," ungkap Ian. Aku bisa mendengar suaranya yang terasa dingin. Atau aku yang paranoid?
Aku berjalan menuju ke hadapannya, "Ian, aku minta maaf kalau ada salahku yang tanpa sengaja a-"
"Tidak!" Jawabnya cepat. Mata kami saling bertatapan.
Tunggu, ini bukan wajah orang yang membenciku setengah mati. Wajahnya... merona.
Ian memalingkan wajahnya dan menatap hal lain selain mataku, "Maksudku... tidak apa, beneran. Aku tidak memiliki masalah apa-apa denganmu," ungkapnya.
"Ah gitu," tanggapku, "tapi kenapa kau menghindariku?" Tanyaku. Aku orang yang cukup sensitif, aku tahu jika seseorang benci atau suka padaku. Tapi, aku masih tidak yakin dengan kasus Ian.
Aku harus memastikannya.
"I- itu. Karna..." Ia merogoh plastik putih yang ia pegang dan mengeluarkan 2 buah mangga yang cukup besar dari dalam sana beserta kotak yang tampaknya merupakan kotak kue, "ini, selamat ulang tahun. Aku tidak tahu harus bagaimana menyerahkannya. Jadi, aku menghindarimu."
Ah... ini diluar dugaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
I LIKE YOU? [ 15+ ; BL ]
Romans[COMPLETE] [Shounen Ai] Archio tidak menyadari perasaannya pada Ian. Ia tidak tahu, jika debaran di jantungnya, rona merah di pipinya, netranya yang tidak bisa beralih dari bibir merah Ian, adalah tanda-tanda perasaan sukanya. Sebuah cerita pendek...