32. Perasaan

63 22 127
                                    

"Memilih untuk melupakan segalanya adalah keputusan yang baik."

Sudah hampir tiga hari lamanya Langit dan Petir berada di Australia. Namun, pencarian mereka selalu nihil. Bagaima tidak, Australia termasuk salah satu negara yang besar bukan? Jadi, sangat mustahil mencari keberadaan Juni di negara yang besar ini. Karena lelah, akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke hotel, sebuah penginapan yang sudah di disiapkan oleh Gerry sebelumnya.

Semua keperluan mereka selama mencari Juni di sana, Gerry sudah mempersiapkan segalanya untuk kedua temannya itu. Karena sang ayah yang juga bekerja di sana, jadi tidak terlalu sulit bagi Gerry untuk melakukan itu.

Gerry juga memberikan beberapa nama sekolah yang cukup popular yang ada di Australia. Tapi, tetap saja, Juni tidak ada di salah satu sekolah yang di targetkan oleh Gerry. Tapi, ada satu sekolah yang menurut Langit cukup popular. Mereka berinisiatif untuk kesana besoknya, karena saat ini mereka benar-benar kelelahan.

Sejak keberangkatan mereka berdua, Sifa dan Pio mulai merasa khawati pada kondisi Akel. Sering kali mereka mendapati Akel batuk dan memuntahkan darah, saat ditanya dia akan mengelak dan mengalihkan pembicaraan.

Hanya satu kalimat yang membuat semua semakin jelas. Apapun caranya, gue bakalan berusaha untuk mendapatkan kata maaf dari lo, Juni. Itulah kalimat yang di dengar oleh Sifa dan Pio, kalimat yang di ucapkan oleh Akel saat dia meringis kesakitan.

"Kakak, sepertinya kak Akel benar-benar merasa bersalah pada Juni," tutur Pio pelan dari luar ruangan.

Dengan tatapan sedih dan iba pada Akel, Sifa mengangguk dan membalas perkataan Pio tadi. "Kamu benar Pio, Akel terlihat sangat terpukul dan merasa bersalah sejak kejadian itu,"

"Kak, apa kak Langit dan kak Petir bisa menemukan Juni? Karena sudah hampir tiga hari lamanya. Tapi, mereka masih belum ada kabar tentang keberadaan Juni," tutur Pio pada Sifa dengan tatapan penuh harap, agar temannya Juni itu bisa kembali dan memaafkan Akel.

"Kita berdo'a saja ya Pio, dan berharap agar mereka bisa secepatnya menemukan Juni," balas Sifa sambil menepuk pelan bahu Pio.

Luka itu, bagaikan sebuah kaca. Saat kaca itu pecah maka akan menjadi kepingan kecil dan sulit untuk di satukan kembali. Walaupun itu bisa. Tapi, bekas dari pecahan itu akan selalu ada. Kecewa, kecewa itu seperti sebuah harapan yang tiba-tiba menghilang. Atau seperti lukisan yang susah payah kita buat. Namun, hancur begitu saja seperti gambaran dari dua rasa yang mampu mengubah segalanya.

Gerry yang melihat Sifa dan Pio dari kejauhan, langsung mendekati mereka berdua. "Ngelamun aja, udah pada makan belum?" tanya Gerry yang berusaha menghibur kedua temannya itu.

"Eh, kamu Gerr. Kita emang belum pada makan sih. Tapi-" kalimat Sifa yang langsung terhenti begitu saja.

"Tapi apa? Udah gih, pada makan sana. Biar Akel giliran gue yang jagain," sambung Gerry lagi pada Sifa.

"Ya udah, kita ke kantin dulu, ya?" pamit Sifa pada Gerry yang hanya di angguki oleh pria itu.

"Kak Gerry," panggil Pio yang seketika mengalihkan pandangannya pada gadis imut itu.

"Eum, kenapa Pio?" tanya Gerry lembut, karena Pio adalah orang yang paling sedih dengan semua kejadian ini.

"Kakak, tadi kak Akel muntah darah lagi," cicit gadis itu dengan pandangan yang tidak baik-baik saja.

Gerry yang mendengar kalimat itu panik. Tapi, dia berusah untuk senetral mungkin agar Pio tidak ikutan panik. "Akel muntah darah lagi? Anak itu, baiklah kakak akan bilang ke Dokternya nanti, ya? Sekarang kamu makan dulu, kalau nggak nanti kakak yang bakalan di marahi sama Petir, oke?" jelas Gerry pada Pio.

WE'RE DONE (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang